c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

OPINI

18 Agustus 2023

17:38 WIB

Produksi Beras Stagnan, Diversifikasi Pangan Jadi Tantangan

Bagaimanapun juga, ketergantungan impor yang berlebihan untuk sektor pangan pada akhirnya hanya akan menyulitkan neraca pembayaran.

Penulis: Nugroho Pratomo

Produksi Beras Stagnan, Diversifikasi Pangan Jadi Tantangan
Produksi Beras Stagnan, Diversifikasi Pangan Jadi Tantangan
Pembeli memilih beras di Pasar Induk Beras, Cipinang, Jakarta, Kamis (27/7/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

Setelah melewati masa swasembada beras hampir dari 40 tahun lalu, Indonesia kini kembali dihadapkan pada persoalan ancaman meningkatnya harga-harga kebutuhan pangan. Terlebih dengan adanya ancaman perubahan iklim global dan persoalan politik global seperti perang.

Sekilas refleksi ke belakang, semenjak pertengahan hingga akhir dekade 1970-an, di mana Indonesia menjadi importir beras terbesar di dunia, pemerintah Orde Baru secara konsisten mencoba melakukan kebijakan pengendalian inflasi. Salah satu kebijakan yang ditempuh pemerintah ketika itu adalah dengan berusaha memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.  

Pemerintahan orde baru saat itu, selalu berusaha untuk menciptakan stabilitas harga beras di dalam negeri. Bahkan, pemerintah memberikan subsidi untuk impor beras. Hal ini dilakukan untuk menghadapi dinamika harga beras di pasar dunia. 

Kebijakan ini dapat terlaksana, karena besarnya dana dari kenaikan harga minyak mentah. Catatan saja, saat itu Indonesia masih menjadi nett eksportir minyak.

Namun, seiring dengan jatuhnya harga minyak mentah di akhir dekade 1970-an, pemerintah mulai menghadapi kesulitan. Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah semakin berupaya untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan peningkatan produksi di dalam negeri. 

Kondisi ini sejatinya sudah diproyeksikan jauh-jauh hari. Konon, karena inilah pemerintah membentuk Badan Usaha Logistik (Bulog) pada 1974 (Jones, 1995).   

Satu catatan menarik adalah, pada era 1980-an, harga rerata beras di tingkat produsen domestik justru lebih mahal dibandingkan harga internasional. Efeknya, harga di tingkat konsumen, makin lebih mahal dibandingkan harga internasional. 

Kondisi ini terjadi selama hampir 13 tahun. Selisih harga beras domestik, rata-rata mencapai Rp14,6 per kg dibandingkan rata-rata harga internasional (Jones, 1995).    

Tentu, catatan ini bukanlah sesuatu yang bisa diklaim sebagai prestasi. Sebaliknya, hal ini merupakan dampak negatif dari berbagai kebijakan subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah ketika itu. 

Subsidi yang diberikan mulai dari perbenihan, pupuk, infrastruktur irigasi serta adanya jaminan pembelian oleh Bulog, memang menjadi beberapa hal yang menyebabkan meningkatnya produksi beras nasional. Tapi di sisi lain, justru menimbulkan berbagai kegiatan spekulasi harga beras.

Lonjakan Inflasi
Perlu pula dicatat, akibat buruknya hasil panen di tahun 1977/78, impor beras Indonesia mencapai 2,5 juta ton atau 30% dari total perdagangan beras dunia saat itu (Timmer & Alderman, 1980). 

Tidak mengherankan apabila kondisi ini memicu lonjakan inflasi, menyusul dikeluarkannya kebijakan devaluasi rupiah pada 15 November 1978 atau yang kemudian dikenal dengan Kebijakan Nopember (Kenop 15).

Sebenarnya pemerintah ketika itu juga telah mengeluarkan program diversifikasi pangan. Program diversifikasi konsumsi pangan yang dicanangkan sejak tahun 1974 dimaksudkan dapat mengurangi ketergantungan penduduk pada beras. 

Singkatnya, penduduk diminta tak hanya mengonsumsi beras, tapi juga sumber pangan lain seperti jagung dan umbi-umbian. Namun, tampaknya kebijakan tersebut berjalan kurang efektif. 

Seiring dengan perubahan situasi dan kondisi ekonomi, politik, teknologi hingga iklim global, terulangnya persoalan pangan seperti ini tentu menjadi hal yang menarik untuk kembali dicermati. Dari sisi ekonomi dan politik, misalnya, setelah krisis ekonomi di tahun 1998 beberapa kebijakan mendasar terkait dengan persoalan pangan telah mengalami perubahan. 

Berkurangnya peranan Bulog, penghapusan sejumlah subsidi, serta pembukaan pasar domestik yang lebih luas untuk sejumlah besar komoditas pangan, menjadi aspek-aspek penting yang mengikuti perubahan kebijakan di bidang pertanian maupun pangan di Indonesia. 

Di sisi lain, untuk beberapa komoditas seperti kedelai dan gandum, tingkat ketergantungan Indonesia atas produk-produk impor masih sangat tinggi. Peningkatan ketergantungan yang tinggi pada impor kedelai mulai terjadi sejak tahun 1999. Jumlah impor kedelai Indonesia naik hampir empat kali lipat menjadi lebih dari 1,3 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya. 

Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan impor kedelai terbesar yang pernah terjadi pada masa sebelum krisis, yaitu tahun 1994 yang mencapai 800 ribu ton. Pertumbuhan yang pesat untuk impor kedelai tersebut terus terjadi seiring dengan penurunan produksi kedelai domestik.

Dari sisi teknologi, seiring dengan perubahan yang pesat dibidang pertanian, lingkungan, energi dan kesehatan, berbagai kritikan mengenai dampak revolusi hijau yang sebelumnya juga mendukung Indonesia mencapai swasembada beras, juga telah membawa perubahan pada kebijakan yang diambil oleh banyak negara, termasuk Indonesia. 

Di banyak negara, termasuk Indonesia, akhirnya kembali mulai mengembangkan produk-produk pertanian berbasis pada produk organik. 

Belanja Pangan
Apapun alasannya, produk pangan dasar memang masih menjadi kebutuhan primer dan menjadi persoalan yang sangat krusial. Perhatikan saja, dalam perkembangannya, hingga 2010 tercatat, kelompok konsumen di perkotaan, membelanjakan 16% untuk beras dalam anggaran belanja makanan mereka. Sementara itu, untuk kelompok makanan lainnya, kelompok konsumen perkotaan membelanjakan kebutuhan pangan terbesar pada kelompok protein, yaitu sebesar 22%. 

Kemudian, kelompok konsumen di pedesaan, bahkan bisa membelanjakan hingga 24% dari anggaran belanja makanannya untuk membeli beras. Sisanya adalah pada kelompok makanan buah dan sayur sebesar 17% dan protein mencapai 20% (Reardon, Stringer, Timmer, & Daryanto 2015).

Baca Juga: Mentan Dorong Konsumsi Enam Sumber Karbohidrat Selain Nasi

Laporan hasil Susenas September 2022 menyebutkan, secara nasional, rata-rata pengeluaran per kapita sebulan untuk kelompok makanan sebesar Rp700.966  dengan perbedaan yang cukup tinggi antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Pada kelompok perkotaan besarnya pengeluaran per kapita per bulan untuk kelompok makanan sebesar Rp756.260 rupiah, sementara untuk pedesaan Rp625.343 (Badan Pusat Statistik, 2023). 

Lebih khusus dalam melihat pengeluaran untuk makanan, secara keseluruhan, pengeluaran terbesar masyarakat Indonesia adalah pada makanan dan minuman, sebesar 32% atau senilai RP224.3 ribu. 

Lalu, untuk kelompok padi-padian sebesar 11,1% atau Rp77,7 ribu. Persentase atau nilai ini, lebih rendah dibandingkan untuk pengeluaran rokok yang mencapai 12,5% atau senilai Rp87,6 ribu (Badan Pusat Statistik, 2023).  

Proyeksi Beras
Mencermati soal pangan khususnya beras, maka salah satu aspek yang patut menjadi perhatian adalah produksi serta konsumsi dunia. Data USDA menunjukkan, produksi beras dunia tahun 2022 mencapai 505 juta ton. Jumlah ini turun 2% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 515,3 juta ton. 

Hasil proyeksi CEIC menunjukkan, tahun 2023 produksi beras dunia akan meningkat menjadi 512,5 juta ton atau naik 1,5% dibandingkan tahun 2022. Pada 2032, diproyeksikan produksi beras dunia akan mencapai 542,53 juta ton.  

Dari sisi konsumsi, data yang sama menunjukkan, konsumsi beras dunia di tahun 2022 mencapai 518,1 juta ton. Jumlah ini turun 0,2% dibanding tahun 2021 yang mencapai 519,2 juta ton. 

Kemudian, untuk tahun 2023, diproyeksikan konsumsi beras dunia sebesar 518,9 juta ton. Jumlah ini naik 0,2% dibandingkan tahun 2022. Ke depan, konsumsi beras dunia diproyeksikan akan mencapai 543,16 juta ton di tahun 2032 atau naik 4,8% dibandingkan tahun 2022.  

Lantas, dengan besaran proyeksi tersebut, bagaimana dengan Indonesia? Sumber data yang sama menyebutkan, produksi beras Indonesia di tahun 2022 mencapai 34,6 juta ton. Jumlah ini sedikit meningkat dibandingkan tahun 2021 yang tercatat sebesar 34,4 juta ton. 

Kemudian, tahun 2023 produksi beras Indonesia diproyeksikan stagnan menjadi sebesar 34,61 juta ton. Sementara itu, pada 2032, kurang dari satu dekade ke depan, diproyeksikan produksi beras Indonesia hanya mampu meningkat kurang dari 0,5% menjadi 34,8 juta ton. 

Tingkat produksi tersebut sebenarnya masih lebih tinggi dibandingkan laporan BPS yang menyebutkan, produksi beras nasional di tahun 2022 hanya sebesar 31,5 juta ton. Laporan BPS tersebut juga menyebutkan, produksi beras di tahun 2021 hanya mencapai 31,4 juta ton. Di sisi lain, untuk tahun 2023 ini, data sementara laporan BPS juga menyebutkan produksi beras selama Januari–April 2023 hanya sebesar 13,8 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2023). 

Untungnya, proyeksi konsumsi beras Indonesia ternyata juga tidak akan meningkat signifikan. Pada tahun 2022, konsumsi beras Indonesia tercatat sebesar 35 juta ton. Jumlah ini turun dibandingkan tahu 2021 yang mencapai 35,15 juta ton. kemudin, di tahun 2023, konsumsi beras Indonesia diproyeksikan hanya naik sedikit dibanding 2022, yaitu mencapai 35,1 juta ton. Tahun 2032, proyeksi konsumsi beras Indonesia pun hanya sedikit naik mencapai 35,32 juta ton.   

Baca Juga: Centang Perenang Mengupayakan Ketahanan Pangan

Kelanjutan Diversifikasi Pangan
Lalu, dari data-data dan proyeksi tersebut, pelajaran apa yang bisa ditarik? Persiapan apa yang perlu dilakukan?

Berangkat dari berbagai data serta hasil proyeksi tersebut, terlihat, pada dasarnya program diversifikasi pangan terutama untuk mengurangi konsumsi beras memiliki peluang yang semakin terbuka. 

Stagnasi produksi yang bahkan tak menutup kemungkinan punya potensi menurun, serta melihat pola konsumsi beras dalam 10 tahun mendatang, kampanye konsumsi pangan non beras, punya peluang untuk terus digaungkan

Seperti diketahui, dalam konteks kesehatan, sumber karbohidrat memang tidak hanya berasal dari beras atau nasi. Harus pula diakui, kebiasaan konsumsi beras di sebagian besar masyarakat Indonesia hingga saat ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah di masa lalu yang menjadikan Bulog sebagai instrumen pengamanan dalam soal pangan. 

Celakanya, indikator utama yang selama ini digunakan dalam lembaga tersebut adalah stok beras. Gudang-gudang hanya dipenuhi oleh beras, tanpa ragam jenis pangan lainnya. Secara tak langsung, kondisi inilah yang membentuk pola makan orang Indonesia yang merasa belum makan, jika belum memakan nasi. 

Harus disadari, mengubah pola tersebut bukanlah perkara mudah. Diperlukan sebuah terobosan kebijakan yang secara perlahan dan pasti mampu mengubah pola konsumsi pangan masyarakat terutama dalam soal makanan pokok. Semakin meningkatnya kesadaran kesehatan belakangan, seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengampanyekan diversifikasi pangan. 

Catatan saja, makin ke sini, beras yang juga jadi makanan pokok sejumlah negara, menjadi komoditas yang makin terbatas di pasar internasional. Tak heran, harga beras internasional sangat sensitif terhadap berbagai perubahan. 

Sayangnya, sejauh ini, berbagai program diversifikasi pangan tidak diikuti dengan kebijakan pengembangan budidaya tanaman substitusi. Sudah bisa ditebak, hal ini ke depan berpotensi menimbulkan persoalan baru. Padahal, bisa dibilang, program pengembangan tanaman pangan sebagai bagian dari kebijakan pangan nasional, adalah salah satu bagian yang sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap pangan impor.

Kesimpulannya, diversifikasi pangan yang disertai dengan pengembangan budidaya tanaman substitusi, sudah harus dilakukan secara kongkret oleh pemerintah. Meski begitu, pengalaman yang pernah terjadi di tahun 1970-1980-an harus dijadikan pelajaran. Khususnya, soal pembatasan impor dengan gelontoran subsidi besar-besaran untuk produksi pangan, sebaiknya tak lagi dilakukan. Sebaliknya diperlukan keseimbangan di antara keduanya. 

Sebab, bagaimanapun juga, ketergantungan impor yang berlebihan untuk sektor pangan pada akhirnya hanya akan menyulitkan neraca pembayaran. Alangkah lebih baik, jika devisa yang ada digunakan untuk mengimpor barang modal, tak hanya habis digunakan untuk mengimpor pangan pokok yang habis dikonsumsi.  

Referensi
Badan Pusat Statistik. (2023, Maret 1). Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2022 (Angka Tetap). Berita Resmi Statistik.

Badan Pusat Statistik. (2023). Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, September 2022 . Jakarta, DKI: Badan Pusat Statistik.

Chris Jones (1995) Rice Price Stabilisation in Indonesia: An Economic Assessment of the Changes in Risk Bearing, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 31:1, 109-128 

Harold C. Alderman & C. Peter Timmer (1980) Food Policy and Food Demand in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 16:3, 83-93

https://insights.ceicdata.com/Untitled-insight/views

Thomas Reardon, Randy Stringer, C. Peter Timmer, Nicholas Minot & Arief Daryanto (2015) Transformation of the Indonesian Agrifood System and the Future beyond Rice: A Special Issue, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 51:3, 369-373

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar