15 Juli 2025
16:00 WIB
Musik Jazz: Sebuah Apologetika
Musik jazz merupakan salah satu warisan perlawanan dan ruang emansipasi yang terus bermutasi. Lantas, bagaimana ketika festival jazz dipenuhi genre lain?
Penulis: Sri Hanuraga
Editor: Rikando Somba
Salah satu penampilan artis di perhelatan musik jazz dunia, North Sea Jazz Festival 2019, di Ahoy Rotterdam, Belanda. Ben Houdijk / Shutterstock.com
Banyak pelaku dan penggemar musik menganggap bahwa genre adalah sekat-sekat yang dipaksakan oleh industri musik untuk memfasilitasi komersialisasi musik. Namun, seperti yang diungkapkan Musikolog, Harris M. Berger dan Giovanna P. Del Negro, genre sesungguhnya adalah suatu semesta moral, yang merangkum segenap paradigma dan horizon simbol.
Berangkat dari pengertian itu, maka jazz bukan sekadar gaya bermusik dan suatu pendirian estetis. Ia adalah suatu semesta simbol. Ia adalah suatu komunitas yang di dalamnya terkandung performance practice (laku pertunjukan), tata cara pergaulan, bahkan laku hidup. Lebih dari itu, jazz adalah sebuah organ eksosomatis yang memiliki daya emansipatif bagi budak Afrika-Amerika yang tertindas. Jazz memberikan suara bagi mereka yang tak dihitung.
Dalam History of Jazz, Ted Gioia memaparkan bagaimana budak-budak Afrika—yang dibawa ke Amerika, tercerabut dari tanah kelahirannya, kehilangan kebebasan dan tradisi—berpegang teguh pada unsur-unsur budaya yang masih dapat mereka bawa, yaitu musik dan cerita rakyat.
Kita patut bersyukur bahwa upaya untuk menekan unsur Afrika dalam musik budak dan mengarahkan mereka pada musik Barat yang dianggap adiluhung tidak membuahkan hasil yang signifikan. Yang terjadi justru sebaliknya, idiom-idiom Eropa diadaptasi dan dipersonalisasi oleh para budak tersebut.
Kemampuan musisi Afrika untuk mengubah tradisi musik Eropa dan mengasimilasi unsur-unsurnya merupakan kekuatan evolusioner yang dahsyat dalam sejarah musik modern. Praktik tersebut kemudian berlanjut di musik jazz.
Improvisasi, menurut Pengkaji Black Studies, Fumi Okiji, adalah adalah sarana untuk melakukan defamiliarisasi terhadap melodi yang populer. Namun, kosabunyi yang familiar kian kehilangan daya pengasingannya. Oleh karena itulah, laku pengasingan ini kemudian seolah menuntut musisi jazz untuk selalu berdialog dan mengasimilasi kosabunyi di luar dirinya.
Baca juga: Kisah Perkembangan Musik Jazz Di Tanah Air
Sepanjang sejarah jazz, kita dapat menemukan banyak contoh praktik semacam ini. Misalnya, bagaimana Art Tatum merombak kosabunyi piano jazz dengan menyisipkan unsur-unsur musik klasik Eropa. Kemudian, bagaimana musisi bebop, seperti Charlie Parker dan Bud Powell, mengasimilasi Bach ke dalam bahasa jazz. Juga, bagaimana Herbie Hancock memadukan pengaruh Stravinsky dan Messiaen ke dalam idiom jazz.
John Coltrane menyerap inspirasi dari Nicholas Slonimsky. Miles Davis mengintegrasikan elemen-elemen rock, sedangkan Brad Mehldau menginternalisasi bahasa musik dari alternative rock, Brahms, Bach, hingga Wagner.
Sementara itu, Steve Lehman memperkaya jazz dengan nuansa hip-hop dan musik spektral, Mark Giuliana mengadaptasi ritme elektronik drum ke dalam karyanya, dan masih banyak lagi.
Tradisi inilah yang menyebabkan musik jazz terlihat sangat cair. Namun, meski cair, jazz tetap memiliki batasan-batasan yang jelas. Dengan mengacu pada kesejarahan dan praktik pertunjukan, kita selalu bisa menelusuri jejak-jejak tradisi bebop pada tiap mutasi musik jazz.
Bebop adalah mutasi jazz yang muncul tahun 1940-an. Di dalamnya, terangkum semesta bunyi dan logika bahasa jazz. Bahkan, ketika kita bertatapan dengan mutasi jazz yang sangat dekat dengan musik pop sekalipun, seperti pada album Herbie Hancock, River: The Joni Letters, kita bisa melacak jejak bebop baik dari aspek pengorganisasian nada, timbre, sensibilitas ritme, maupun moda komunikasi antarpemain.
Oleh sebab itu, sesungguhnya kita memiliki ukuran-ukuran taksonomi yang jelas. Namun, pertanyaannya sekarang; untuk apa?
Penampilan musisi jazz yang tergabung dalam kelompok musik Ambon Jazz Plus Festival yang dimotori Benny Likumahuwa, di Bintang Theater, kompleks Tong Tong Fair, Denhaag, (2/6/2012). Antara Foto/Zeynita Gibbons
Ini bukan sekadar masalah penegakan kemurnian estetika. Toh, pada dasarnya jazz adalah makhluk hibrida, chimera, sehingga sudah menjadi hakikatnya untuk terus bermutasi.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, jazz bukanlah sekadar gaya bermusik. Ia adalah semesta moral dan alat perjuangan budak Afrika-Amerika. Di samping itu, ia juga merupakan komunitas.
Mengacu pada pemikiran Filsuf, Judith Butler mengenai performativitas, yaitu wahana efek ontologis dibangun, sangat tidak etis jika ada penyelenggara acara yang menggunakan label jazz, tapi justru menampilkan musik genre lain.
Sesuai pemikiran Butler, segala sesuatu yang dilakukan berulang, apalagi dengan skala besar, akan membentuk suatu efek ontologis. Ia akan mengubah persepsi publik atas jazz. Kemudian, lama-kelamaan menghapus jejak keafrikaan pada musik jazz. Menghapus jejak perjuangan kaum tertindas.
Rusaknya persepsi masyarakat akan musik jazz kemudian akan berdampak bagi musisi jazz setempat. Mereka akan dituntut untuk bermain dengan gaya tertentu untuk bisa tampil dalam sebuah acara.
Penyanyi Kunto Aji tampil pada Prambanan Jazz Festival (PJF) 2025 Sebelas Selaras di Kawasan Candi Prambanan, Sleman, D.I Yogyakarta, Sabtu (5/7/2025). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Maka, alangkah rongsoknya penyelenggara acara yang menggunakan narasi korban; mengatasnamakan perlawanan terhadap kemapanan; pemberdayaan masyarakat; dan pembaruan, demi membenarkan agenda kapitalistiknya yang justru turut andil menghapus jejak perjuangan kaum tertindas.
Dalam sejarah, pembaruan sejati selalu memunculkan estetika baru, makna baru, pengetahuan, nilai, moda relasi dan subjektifitas baru yang mengandung daya anti-entropi. Jika kebaruan mengekang, maka ia hanyalah iterasi lain dari hasrat yang ditunggangi oleh pasar.
Mari kita pikirkan, memangnya apa yang baru dari menampilkan musik pop dan saksofonis dengan estetika tahun 1980-an di festival jazz? Bagaimana mungkin estetika retro menghasilkan sesuatu yang baru? Bukan kebaruan, tetapi keharuan yang hadir. Alih-alih menyambut masa depan, ia justru membatalkan masa depan!
Baca juga: Hari Jazz Internasional, Warisan Perlawanan Yang Menyatukan Dunia
Yang menjadi isu bukanlah kehadiran genre lain di festival jazz. Di belahan dunia manapun, festival jazz berkompromi dengan menghadirkan genre lain. Namun demikian, yang menjadi masalah adalah bagaimana mengedukasi dan mengkomunikasikannya kepada publik.
Mari kita ambil festival North Sea Jazz sebagai contoh. Meski menghadirkan Alicia Keys dan John Legend, pada berbagai publikasinya, festival tersebut memberikan sorotan lebih bagi musisi jazz yang ada di garda depan, seperti Wayne Shorter dan Brad Mehldau.
Belum lagi dengan strategi penjadwalan yang memastikan musisi jazz tersebut mendapatkan jam tayang utama dan tidak bertabrakan dengan musisi pop. Bahkan, ada alur pemanggungan yang memungkinkan penggemar musik pop yang selesai menonton musisi idolanya terpapar oleh musisi jazz yang tampil di panggung sekitar.
Jika memang penyelenggara festival jazz di Indonesia peduli akan kebaruan, maka mereka perlu menyadari. Bahwa seperti yang kita lihat pada kelahiran bebop, kebaruan justru selalu memantik resistensi dari publik karena ia menggugat nilai-nilai lama.
Penyelenggara perlu belajar membuka diri, mengambil risiko, dan menjadi ruang bagi tumbuhnya estetika baru. Hanya dengan itu, jazz dapat memenuhi hakikatnya untuk terus bermutasi dan menghadirkan pengasingan yang menyegarkan. Segala yang kini mengklaim diri sebagai jazz adalah anak kandung dari denyut sejarah yang mendahuluinya. Kita perlu sadari bahwa kita berdiri di atas bahu para perintis.
Maka, sudah sepatutnya kita melanjutkan langkah mereka, bukan menghapuskan jejak mereka, tentu dengan segala kemungkinan yang lebih liar.
Penulis merupakan dosen di Universitas Pelita Harapan dan musisi jazz Indonesia.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili institusi tempat penulis bekerja.
Referensi
Gioia, T. (1998). The History of Jazz. Oxford University Press.
Okiji, F. (2018). Jazz as Critique: Adorno and Black Expression Revisited. Stanford University Press.
Butler, J. (1994). "Gender as performance: An interview with Judith Butler". Radical Philosophy, 67(Summer), 32–39.
Clinton, E., & Wallach, J. (2022). "Facing the musical other: Alfred Schutz, Emmanuel Levinas, and the ethnography of musical experience". In The Oxford Handbook (Published August 18, 2022).