c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

30 Mei 2022

18:54 WIB

Kisah Perkembangan Musik Jazz Di Tanah Air

Jauh sebelum Java Jazz menggelar pentas pertamanya, sejumlah pesta jazz sempat menghiasi Indonesia.

Editor: Rikando Somba

<p>Kisah Perkembangan Musik Jazz Di Tanah Air</p>
<p>Kisah Perkembangan Musik Jazz Di Tanah Air</p>

Grup musik pop Kahitna tampil pada hari terakhir BNI Java Jazz Festival 2022 di JIExpo, Jakarta, Minggu (29/5/2022). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Tanggal 27-29 Mei 2022 kemarin, menjadi salah satu tonggak euforia musik tanah air. Pasalnya, setelah beberapa lama digempur pandemi, akhirnya Indonesia kembali menggelar salah satu perhelatan akbar yang biasa digelar tahunan, yakni Java Jazz. 

Java Jazz yang kali ini menggaet Bank Nasional Indonesia (BNI) sebagai sponsor utama, kembali hadir setelah vakum pada tahun 2021 karena mesti bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya menekan penularan virus Covid-19.

Sebagai event musik tahunan berskala besar yang selalu turut mengundang seniman mancanegara, Java Jazz berkembang menjadi budaya. Kehadirannya tak hanya ditunggu oleh para penggemar yang hanya mencintai genre Jazz, namun juga penikmat musik secara umum. Tapi, ahukah Kamu kalau Java Jazz bukanlah satu-satunya sarana perkenalan musik yang konon dinilai bergengsi ini ke telinga para pribumi?

Paparan Jazz Di Indonesia
Dilansir dari tesis Agatha Prahesty (2010), jazz mulai dikenal sekitar tahun 1914 di Chicago. Genre ini dilahirkan oleh kelompok Amerika kulit hitam di New Orleans. Musik genre ini umumnya khas dengan improvisasi dan sinkopasi, atau perubahan aksen pada nada, serta diiringi instrumen khusus.

Berawal dari musik tradisional, jazz kemudian dikembangkan oleh masyarakat Afrika-Amerika di Amerika Selatan. Budaya Afrika bahkan punya peran lebih dalam perkembangan musik ini, yakni lewat ritme yang terus menerus dan pergerakan emosi yang kental. Tak hanya itu, teriakan budak Afrika di Amerika juga jadi kombinasi dalam genre ini hingga menjadi gaya para musisi New Orleans.

Perlahan popularitas jazz mulai menjelajah. Beragam aliran pun berdampak terhadap perkembangan musik ini dengan berbagai karakteristik. Misalnya saja, aliran Dixieland yang memengaruhi musik jazz dunia pada 1917. Selain itu ada juga aliran jazz fusion, yakni kombinasi jazz dalam genre rock yang sempat coba dilakukan beberapa band rock dan populer pada era 1960-an. Kemudian, kita juga mengenal Herbie Hancock yang merupakan percampuran jazz dengan unsur rock, aliran funk, disko, sampai musik elektronik.

Di Indonesia sendiri, musik jazz diperkirakan masuk pada tahun 1930-an setelah dibawa oleh seorang musisi pendatang asal Filipina yang tengah mencari pekerjaan. Sayang, nama musisi ini kurang tergali dari referensi yang didapat Validnews.

Musik jazz pun kemudian mulai dimainkan di beberapa hotel di Jakarta, Hotel Des Indes dan Hotel De Nederlander. Di luar ibu kota, alunan musik ini juga kerap terdengar, misalnya di Hotel Homann Bandung atau Hotel Oranje (Yamato) Surabaya (Prahesty, 2010).

Di era 1970-an, tak hanya di hotel-hotel, genre musik ini pun mulai menjamah berbagai bar. Sayangnya, kelompok yang menikmatinya masih terbatas pada musisi dan kelompok tertentu. Pada perkembangannya, ada masa sub-genre bossa nova yang berasal dari Brazil, sebagai padu padan jazz dan samba, kondang di tanah air.

Dari Acara Kampus Hingga Perhelatan Akbar
Meski konsumennya masih terbilang terbatas, tren menikmati jazz tak meredup. Perkembangan musisi di genre ini pun akhirnya menginsprasi Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menggelar fesival musik bertajuk Pro Jazz pada 1975. Ide mendatangkan irama jazz ke kampus yang diwujudkan perguruan tinggi ternama di kota kembang tersebut kemudian diikuti oleh kampus-kampus lainnya. Salah satunya adalah Universitas Indonesia.

Diprakarsai oleh Candra Darusman, Jazz Goes to Campus (JGTC) pertama kali digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BEM FE UI) pada tahun 1976. Meski digarap oleh panitia yang masih berstatus mahasiswa, semarak festival ini mampu mendatangkan berbagai musisi dari dalam maupun luar negeri. Tak ayal, JGTC kemudian menjelma sebagai acara rutin yang jadi salah satu kebanggaan universitas berlambang makara kuning tersebut.

Di ranah profesional, nama genre jazz kembali bangkit di era 1980-an. Pada masa itu, sekelompok musisi di genre ini mulai berani tampil di luar komunitas. 

Nama-nama musisi muda seperti Elfa Secoria, Indra Lesmana, dan Idang Rasjidi mulai terdengar di panggung hiburan publik, tak lagi sekadar bermain eksklusif untuk komunitasnya. Kebangkitan tersebut berhilir pada didirikannya Jakarta International Jazz Festival alias Jak Jazz pada tahun 1988 oleh Ireng Maulana, yang dalam perjalanannya terhubung dengan kelahiran Java Jazz di Indonesia.

Kehadiran Jak Jazz mendapat perhatian dari Peter F. Gontha, seorang penikmat jazz Indonesia yang mengagumi sejumlah festival genre tersebut di mancanegara. Pada masa awal berkibarnya Jak Jazz, Gontha sebenarnya ingin membeli seluruh produksi festival ini. Kala itu, pengusaha media ini bermimpi untuk menggelar festival sekelas North Sea Jazz di Den Haag, Belanda. Akan tetapi, keinginan tersebut mendapat penolakan dari pihak Jak Jazz yang merasa masih mampu memproduksi festivalnya sendiri.

Sayangnya, produksi JakJazz yang tetap berjalan sebagai proyek Ireng dan para krunya mulai tersendat sejak krisis moneter 1998. Setiap tahunnya, acara yang digelar dapat dikatakan tidak pernah sebesar tahun sebelumnya. Bagaimanapun, pagelaran musik ini tetap mengadakan acara meski dengan dana terbatas dan waktu yang tak rutin.

Di lain sisi, Peter Gontha mulai serius menggarap Java Jazz sebagai ganti penolakan membeli JakJazz. Sejak pertama kali diadakan pada tahun 2005, hanya sekali saja, karena pandemi di tahun 2021 saja, perhelatan musik ini vakum. Selebihnya, perhelatan musik ini rutin digelar setiap tahun dengan berbagai brand yang mengantre untuk jadi sponsor.

Antara Jazz Murni dan Budaya Populer
Meski membawa-bawa kata jazz dalam nama besarnya, tak dimungkiri bahwa selalu ada musisi non-jazz yang turut menjadi line-up artist dalam Java Jazz. Pada musim 2022 ini misalnya, kamu mungkin bakal mengernyitkan dahi ketika membaca nama grup band d’Masiv sebagai salah satu penampil. 

Ini bukan hal yang tiba-tiba. Strategi mengundang musisi di luar jazz ini memang sudah dianut sejak Java Jazz sejak awal gelarannya. Pada Java Jazz perdana tahun 2005, grup Padi menjadi satu-satunya band penampil yang tidak bernafaskan jazz. Kali itu adalah untuk pertama kalinya sebuah festival jazz menghadirkan musisi non-jazz. Karenanya, kehadiran Padi pada pagelaran jazz itu bukan hanya jadi pertanyaan. Sempat pula, kehadiran Padi menjadi candaan di kalangan sesama musisi, yakni dengan mengatakan bahwa grup itu bakal mengubah nama menjadi Padi Jazz Band.

Keunikan strategi Java Jazz ini nyatanya terus dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya dengan mendatangkan berbagai musisi pop atau genre lain dari tanah air.  Kahitna, KLA Project, Maliq and the Essentials, Iwa K, dan Ecoutez adalah beberapa yang sempat hadir di perhelatan itu.

Berbeda dengan sejumlah pagelaran jazz yang awalnya lebih bersifat apresiatif dan tidak dirancang untuk mencari keuntungan, Java Jazz tak memungkiri rasa cemas atas kerugian. Pasalnya, jika hanya mengundang musisi dari genrenya, sebuah festival jazz akan minim publisitas dan sponsor, sehingga terancam tak mendatangkan untung, atau bahkan sekadar untuk balik modal.  

Taktik JavaJazz yang mendatangkan musisi di luar genrenya tentu menjadi perdebatan. Di satu sisi, terdapat basis penikmat jazz yang kecewa dan merasa genre kesukaannya tak lagi eksklusif. Tapi di sisi lain, pagelaran ini justru jadi ajang agar jazz tak lagi asing di telinga masyarakat umum, selain tentu saja untuk menjaga perputaran roda bisnis promotor. Kalau kamu, lebih setuju yang mana nih, Sobat Valid?

 

Referensi

JGTC. (n.d.). About Us. Retrieved from Jazz Goes to Campus: https://www.jgtc-festival.com/

Prahesty, A. (2010). Kontestasi Pemaknaan bagi Produksi Konsumsi, Sponsor dan Media dalam AXIS Jakarta International Java Jazz 2010. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Indonesia.

Purwanti, A. A. (2022, Mei 27). Sejarah Musik Jazz yang Kawula Muda Perlu Tahu! Retrieved from Prambors: https://www.pramborsfm.com/lifestyle/sejarah-musik-jazz-yang-kawula-muda-perlu-tahu/all

 



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar