c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

23 Oktober 2025

18:37 WIB

Temuan Baru Kasus TB Di Jakarta Capai Lebih Dari 46 Ribu

Sebagian besar kasus TB itu ditemukan melalui rumah sakit. Kini, Pemprov DKI telah berjejaring dengan 118 rumah sakit di seluruh Jakarta.  

Editor: Rikando Somba

<p>Temuan Baru Kasus TB Di Jakarta Capai Lebih Dari 46 Ribu</p>
<p>Temuan Baru Kasus TB Di Jakarta Capai Lebih Dari 46 Ribu</p>
Ilustrasi petugas kesehatan menunjukkan hasil rongtsen toraks paru saat pelaksanaan layanan keliling deteksi tuberkulosis (TBC). Antara Foto/Yudi

JAKARTA – Perkembangan kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia masih mengkhawatirkan, Di Jakarta saja, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menemukan sebanyak 46.308 kasus tuberkulosis (TB) baru hingga 22 Oktober 2025. Jumlahnya lebih dari separuh target penemuan kasus tahun ini, yakni 70.258 kasus.

"TB ini pertama diskrining yang terduga. Yang terskrining 68.000. Dari jumlah itu, diperiksa laboratorium, karena penegakan TB harus lewat laboratorium. Setelah diperiksa laboratorium, ternyata yang positif ada 46.308 orang, kasus TB baru yang ditemukan," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati di kawasan Balekambang, Jakarta Timur, Kamis (23/10).

Sebagian besar kasus TB itu ditemukan melalui rumah sakit. Kini, Pemprov DKI telah berjejaring dengan 118 rumah sakit di seluruh Jakarta. Dari 46.308 pasien TB baru tersebut, sebanyak 90%,  atau 41.628 orang sudah memulai pengobatan, sementara sisanya masih terus diupayakan agar mau berobat sampai sembuh.

Saat ini, pengobatan TB dapat dilakukan di 832 fasilitas kesehatan yang terdiri dari 330 Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM/Puskesma)s, 118 rumah sakit swasta, 53 rumah sakit pemerintah, 265 klinik swasta, 46 klinik pemerintah, dan 20 tempat mandiri dokter.

Untuk pengobatan TB membutuhkan waktu yang relatif lama, yakni enam bulan tanpa putus agar pasien dapat pulih dan tidak menjadi resistan atau kebal obat (Tuberkulosis Resistan Obat/TB RO).

"Karena begitu putus obat, menjadi resisten terhadap obatnya. Kalau resisten, susah. Pengobatannya harus beda. Kalau resisten obat ini biasanya pengobatannya di rumah sakit," terang Ani.


Butuh Kolaborasi Erat
Sedang Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian di kesempatan berbeda, menekankan penanggulangan tuberkulosis (TBC) di Indonesia membutuhkan kolaborasi yang solid antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Tito mengatakan Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembentukan Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2 TB) yang dipimpin oleh Kepala Daerah, dengan Surat Keputusan (SK) yang sah. SK dari Kepala Daerah akan memberikan kekuatan lebih besar untuk mendorong aksi nyata di lapangan.

"Selanjutnya, setiap daerah harus menyusun Rencana Aksi Daerah (RAD) yang jelas dan terukur. RAD ini akan menjadi panduan bagi daerah untuk melaksanakan program-program penanggulangan TBC secara efektif, dengan langkah-langkah yang terintegrasi di semua level pemerintahan." kata Tito dalam Forum 8 Gubernur Penuntasan Tuberkolosis (TBC) pada 8 provinsi dengan beban tinggi, Rabu.

Baca juga: Edukasi Bahaya TBC Tekan Stigma Negatif Penderita

                   Tak Hanya DBD, Ini 7 Penyakit Endemi Di Indonesia


Tito juga menegaskan kesuksesan penanggulangan TBC bergantung pada koordinasi yang baik antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Tanpa adanya tim dan RAD yang solid, upaya penanggulangan TBC di tingkat daerah akan terhambat dan kurang optimal.

Dikutiup dari Antara, Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengapresiasi langkah Kementerian Dalam Negeri yang fokus pada penanggulangan TBC dan distribusi dokter spesialis melalui PPDS di RSUD.

Menurut Windhu, penanggulangan TBC memerlukan pendekatan yang desentralisasi, di mana pemerintah daerah diberi peran yang lebih besar dalam implementasi program.

Windhu menilai, meskipun Kementerian Kesehatan telah berupaya, masalah kesehatan sering terhenti di tingkat pemerintah daerah. Kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat diperlukan, khususnya dalam pemberantasan TBC yang mana Indonesia menduduki peringkat kedua setelah India.

"TBC adalah masalah kesehatan yang sangat besar di negara kita. Dengan Mendagri yang terlibat aktif, mendorong pemda untuk turun tangan, kita bisa mulai melihat solusi yang lebih terdesentralisasi. Tanpa pengawasan langsung dari pusat, banyak pemda yang tidak terlalu bersemangat untuk menangani masalah ini. Ini adalah kesempatan untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih merata dan efektif," kata Windhu.

Tetapi, Windhu juga mengkritik pendekatan PPDS di RSUD yang meskipun menawarkan solusi untuk distribusi dokter spesialis, masih memiliki tantangan. Menurutnya, pendidikan berbasis magang rumah sakit cenderung menghasilkan dokter terampil tetapi mungkin kurang mendalam dalam dasar keilmuan medis.

Meski demikian, Windhu juga menekankan bahwa meskipun ada tantangan, langkah Mendagri untuk menginisiasi PPDS di RSUD adalah sebuah langkah yang perlu dicoba dan dievaluasi seiring waktu.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar