c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

NASIONAL

26 Juli 2025

17:09 WIB

Target Pengelolaan Sampah Kawasan Nan Berliku

Pengelolaan sampah kawasan jadi contoh nyata lika-liku pemerintah mencapai target pengelolaan sampah 100% pada 2029.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman, Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Target Pengelolaan Sampah Kawasan Nan Berliku</p>
<p id="isPasted">Target Pengelolaan Sampah Kawasan Nan Berliku</p>

Alat berat memindahkan sampah di kawasan Refuse Derived Fuel (RDF) Plant, TPST Bantar Gebang, Bekasi , Jawa Barat, Rabu (19/3/2025).  ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/YU.

JAKARTA - Sampah bukan lah persoalan mudah. Beragam negara menghadapinya. Beragam pemerintahan juga menyiapkan cara mengeliminir, atau setidaknya meminimalisirnya.

Begitu halnya di Indonesia. Tiap pemerintahan punya program besar untuk persoalan sampah. Di pemerintahan kini  ada target besar di akhir masa Kabinet Merah Putih pada 2029. Komitmen untuk menyelesaikan sampah secara menyeluruh hingga 100% di akhir masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka.

Tak main-main. Target dicanangkan dalam beleid,  tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahu 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2025-2029.

“Pengelolaan sampah menjadi isu global dan lokal yang belum dapat diselesaikan. Tapi, Pemerintah Indonesia komitmen menyelesaikan persoalan sampah secara menyeluruh hingga 100% pada tahun 2029,” pesan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq pada Rakor Nasional Pengelolaan Sampah Menuju Kelola Sampah 100% JICC, Minggu (22/6/2025).

Satu yang dikejar pemerintah adalah pengelolaan sampah secara mandiri di kawasan. Baik itu kawasan perdagangan, pemukiman, kuliner (horeka), dan pusat perbelanjaan, wajib mengelola sampah secara mandiri tanpa membebani tempat pemrosesan akhir (TPA).

Pengelolaan sampah diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2008. Lalu, mengacu Permen LHK Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Pada Bank Sampah, tertulis pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

“Jangan lagi ada pengelolaan sampah yang diserahkan ke pihak ketiga yang malah dibuang ke TPA ilegal yang open dumping,” tegas Hanif, mengutip laman KLH, Rabu (23/7).

Hanif menyebutkan, akhir 2025 pengurangan sampah sebesar 52,21% pada 2025 dan bebas sampah pada 2029.

Di Jakarta, lahir Pergub DKI Jakarta Nomor 102 Tahun 2021, yang mewajibkan setiap kawasan untuk mengurangi, memilah, dan mengelola sampah dari sumbernya secara mandiri. Kawasan di sini mencakup kawasan permukiman, kawasan komersial, dan kawasan industri

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto mewajibkan penanggung jawab kawasan komersial mengelola sampahnya secara mandiri. Menjamin pengelolaan sampah efisien, berkelanjutan dan terkelola sejak dari sumbernya.

"Kawasan komersial wajib membiayai sendiri pengelolaan sampahnya dan tidak lagi membebani APBD,” ungkap Asep, dalam keterangannya, Senin (7/7).

Asep mengatakan, DLH DKI Jakarta menggagas program peningkatan pengelolaan sampah di kawasan secara mandiri. Pengelolaan sampah kawasan boleh kerja sama dengan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) atau pelaku usaha jasa pengelolaan sampah swasta berizin.

Pengelola kawasan dapat memilih menggunakan tiga skema pengelolaan sampah dengan pembiayaan mandiri. Pertama, pengelolaan sampah dilakukan oleh jasa pengelola sampah swasta yang secara resmi memiliki izin.

Namun, Asep menyebutkan baru 21,6% pengelola kawasan komersial dan perusahaan yang sudah bekerja sama dengan jasa pengelolaan sampah swasta maupun BLUD. 

Kepala Satuan Pelaksana Pengembangan Bisnis BLUD UPST DLH DKI Jakarta, Tommy Suryo Arwindo mengungkapkan mengapa partisipasi pengelolakawasan untuk mengelola sampah rendah. Sebagian dari kawasan ini keberatan dengan besaran tarif kerja sama untuk operasional sampahnya dengan BLUD.

“Masih banyak persepsi, pengolahan sampah itu memang tugasnya pemerintah saja,” ujar dia kepada Validnews, Rabu (16/7).

Baca juga: Menjadikan Daur Ulang Sebagai Gaya Hidup Penunjang Ekonomi

Adapun besaran pembiayaan BLUD sudah ditetapkan dalam Perda 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Tarif pengelolaan sampah mencakup pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan sampah.

Tommy tidak menyebut dengan jelas besaran biaya yang diperlukan, namun dia mengatakan perhitungan biaya yang dikeluarkan berdasarkan berat sampah ataupun timbunan sampah yang diangkut BLUD.

Jika pengelola kawasan ingin tarif berkurang, Tommy menyampaikan, volume sampah dikurangi. Lalu, proses sampah sendiri.

Kalau pengolahan sampah mandiri, cara mudah adalah membuat sampah organik dengan metode kompos ataupun dengan lalat BSF. Kalau untuk yang anorganik, bisa bekerja sama ke bank sampah terdekat. Tapi nanti kalau untuk residunya, itu memang harus diangkut sama pelaku usaha swasta berizin atau dengan BLUD,” tuturnya.

Hal lain yang membuat masih adanya kawasan belum menerapkan kerja sama, adalah BLUD baru beroperasi 2024 sesuai dengan Perda 1 Tahun 2024

“Selama setahun kemarin itu, kita sudah melakukan pengolahan sampah ke kawasan dan perusahaan. Cuma karena memang keterbatasan armada maupun SDM yang kami miliki, jadi kami juga belum bisa mencakup wilayah lain-lain. Kami belum bisa mencakup seluruh DKI,” tambah dia.

Sampah dari kawasan, saat ini untuk sementara, dibuang ke TPA Bantar Gebang sampai Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan dibuka. Sementara sampah yang sudah dipilah dari kawasan akan diolah di Pesanggrahan.

Sampai saat ini ada 78 kawasan yang bekerja sama dengan BLUD. Tommy mengatakan akan terus menyosialisasikan skema kerja sama dengan BLUD ke berbagai daerah.

Pengelola Sampah
Mengutip laman UPST DLH, Jumat (25/7), terdapat 65 penyedia jasa bidang kebersihan berizin di Jakarta, satu di antaranya adalah BLUD. Dari 65 ini, sebanyak 36 penyedia jasa sudah melaporkan kawasan yang ditanganinya ke DLH. Sementara itu, sudah 478 kawasan yang sudah bekerja sama dengan BLUD dan swasta berizin.

Dari data tersebut, kawasan yang belum mandiri ini diantaranya adalah Bukit Golf Mediterania, Grand Palace, Kemang Place, dan MES Pertamina. Namun, bila dicermati dari data tersebut, terdapat kawasan yang jika dicari di pencarian Google ternyata sudah tutup permanen, seperti The Gianetti dan Wisma Adi Upaya.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan, meski MES Pertamina masuk dalam daftar belum mengelola sampahnya secara mandiri, namun sebetulnya pengelolaan sampahnya saat ini dikelola oleh DLH DKI Jakarta.

“Sejak 2023, Pertamina sudah menerapkan imbauan untuk tidak menggunakan botol plastik, salah satunya dengan menyiapkan dispenser/teko air dan gelas di ruang rapat. Juga melakukan 4R (reduce, reuse, recycle, replace) untuk mengurangi volume sampah,” tambahnya, Rabu (23/7).

Untuk pengelolaan sampah secara mandiri, kata dia, Pertamina saat ini tengah merencanakan program manajemen sampah. Yakni, memilah sampah maupun menjalin kerja sama dengan pihak ketiga. Seperti, lembaga pengolah sampah maupun UMKM dan komunitas lokal untuk solusi kreatif mengelola sampah menjadi barang yang lebih bernilai.

Dari kalangan pengembang, Wakil Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Bambang Ekajaya menjelaskan kawasan pemukiman terbagi dua. Pertama, kawasan yang sudah lama atau kawasan yang pengelolaannya sudah ditinggal pengembang atau pengelola koordinator. Kedua, kawasan baru atau baru dibangun, yakni kawasan yang masih dikelola pengembang.

Baca juga: Menimbang Kesiapan Olah Sampah Jadi Bahan Baku BBM

Untuk kawasan yang baru, menurutnya, sudah pasti menerapkan pengelolaan lingkungan dengan baik didukung dengan pengelolaan infrastruktur lingkungan yang sudah disiapkan.

Sementara untuk kawasan lama, pengelolaannya tergantung dari RT/RW di kawasan itu. “Pemberdayanya otomatis melalui hierarki di pemerintahan ya, ada RT, RW, lurah, camat, sampai ke wali kota. itu memang membutuhkan koordinasi sama membutuhkan kreativitas,” katanya, Jumat (18/7).

Pekerjaan rumah (PR) pengelolaan sampah ini, menurutnya, terletak pada kawasan lama. Sebab, kawasan baru, mulai dari awal pembangunan pengelolaan sampah sudah menjadi bagian yang dipikirkan, bahkan menjadi kewajiban skema pengelolaan sampahnya untuk mengajukan perizinan pembangunan.

Namun, begitu kawasan baru sudah ditinggal pengembang atau menjadi kawasan lama, infrastruktur yang sudah disiapkan terkadang tidak dikelola dengan baik, sehingga pengelolaan sampahnya menjadi berantakan.

Untuk itu, bagi kawasan lama yang belum mengelola sampahnya secara mandiri, Bambang menyarankan, agar diberikan insentif mulai dari RT hingga lurah tergantung dari kemampuannya mengelola sampah di kawasan.

Kewajiban Produsen
Lead Marketing and Partnership Waste4Change, Pandu Priambodo memaparkan, beberapa kawasan di Jakarta bekerja sama dengan Waste4Change.

“Bekerja sama dengan beberapa kawasan komersial seperti building management, kemudian ada restoran dan kantor-kantor yang memang memiliki gedung sendiri. Apartemen ada beberapa seperti Darmawangsa Residence, itu kami juga yang melakukan pengelolaan,” jelasnya, Kamis (17/7).

Besaran nominal yang dikenakan Waste4Change untuk mengelola sampah sangat bergantung dengan luasan rumah dan berapa banyak yang tinggal di rumah itu. Namun, biaya terkecil mulai dari Rp35 ribu per bulan per Kartu Keluarga.

Pandu menjelaskan, sampah yang didapat Waste4Change dari kawasan itu kemudian akan dibawa ke Rumah Pemulihan Material (RPM) di Bekasi. Di sana, sampah yang sudah dipilah di kawasan akan dilakukan pemilahan lebih detail.

Untuk sampah organik akan diproses menjadi kompos dan pakan ternak untuk maggot. Sementara untuk anorganik yang bernilai akan dilanjutkan ke industri daur ulang terkait.

“Untuk residu atau sampah yang tidak ada nilainya atau yang sulit untuk di daur ulang, itu lah baru jatahnya ke TPA. Atau karena memang kami dari private sector dan memang punya package khusus zero waste landfill, jadi residunya itu tidak ke TPA, tapi kita jadikan atau kita kerja samakan untuk menjadi RDF (Refuse Derived Fuel),” tuturnya.

Mengenai penerapan Pergub Nomor 102 Tahun 2021, menurutnya, agar bisa diimplementasikan tak cukup hanya sekadar sosialisasi, tapi juga diperlukan pengawasan kontinuitas yang ketat dan dibuat regulasi teknis yang jelas mengenai siapa pihak yang sebenarnya bisa mengangkut sampah.

“Kita mulai kawal bareng-bareng, bagaimana caranya supaya operator-operator pengelolaan sampah ini memiliki aturan main yang jelas. Tentu dengan kemampuan dan kapasitas yang bisa diaudit dengan transparan,” ujar dia.

Selain itu bagi masyarakat yang memang keuangannya tak mencukupi membayar iuran untuk mengelola sampah, maka pemerintah disarankan bisa membantu.

Pandu berpandangan, kawasan-kawasan di Jakarta jika memang benar-benar ingin mengelola sampahnya secara mandiri harus melakukan investasi lahan, bangunan, operasional, infrastruktur, dan lain-lainnya. Karenanya, setidaknya untuk saat ini hingga lima tahun ke depan skema kerja sama antara kawasan dengan BLUD atau swasta berizin masih masuk akal untuk diterapkan.

Juru Kampanye WALHI Jakarta, Muhammad Aminullah mengingatkan untuk tidak melupakan kewajiban peran produsen dalam menangani sampah. Pasalnya, dalam UU Nomor 18 tahun 2008 produsen punya tanggung jawab penuh terhadap produknya, termasuk harus mengambil kembali sampahnya.

“Misalnya kita beli mi instan, nah bungkusnya itu kan tanggung jawab si produsen. Sayangnya tanggung jawab tersebut tidak pernah dilakukan oleh produsen,” ujarnya, Jumat (25/7).

Akhirnya, kata Aminullah, sampah-sampah yang dihasilkan berakhir di TPA Bantar Gebang dan dikelola dengan menggunakan uang APBD. Artinya, justru masyarakat yang bertanggung jawab terhadap kelalaian dari produsen. Oleh karena itu, ke depan produsen mesti dilibatkan juga dalam mengatasi masalah di kawasan-kawasan Jakarta.

Pengelolaan sampah di kawasan secara mandiri ini memang masih memiliki PR, namun hal ini tidak berlaku untuk semua kawasan. Pasalnya, ada beberapa kawasan yang telah berhasil.

Seperti di RW 06 Kelurahan Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara, Menteri LH memberikan apresiasi inisiatif bank sampah warga RT 003 yang aktif memilah dan mengelola sampah rumah tangga.

Kemudian, Kampung Samtama di RW 03, Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat. Warganya membentuk sistem pengelolaan sampah berbasis rumah tangga, mulai dari pemilahan sampah, komposting, hingga daur ulang anorganik. Tak hanya itu, 90% rumah tangga kini rutin mengumpulkan minyak jelantah sebagai bahan bakar alternatif.

Langkah-langkah adaptif lainnya juga dijalankan. Sebanyak 11 sumur resapan telah dibangun, 38 titik jalur evakuasi banjir disiapkan, dan ruang retensi air diperluas. Warga bahkan mengelola air limbah domestik secara kolektif.

Lalu, warga RW 05 Sunter Agung, Jakarta Utara menghasilkan hal besar dengan memilah sampah. Menyulap tong bekas menjadi kolam lele, botol plastik menjadi pot sayuran, dan gang sempit menjadi kebun pangan.

Limbah dapur warga diolah melalui komposter organik menjadi pupuk yang kembali ke kebun, menciptakan sirkulasi ekonomi dan ekologi berkelanjutan.

Inovasi lain yang menjadi andalan adalah Bank Sampah Sunter Muara (BSSM), tempat di mana sampah berubah menjadi alat tukar dengan layanan kesehatan gratis, token listrik untuk rumah tangga, kebutuhan pokok, dan sistem tabungan berbasis sampah.



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar