c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

KULTURA

22 Juli 2025

20:58 WIB

Menjadikan Daur Ulang Sebagai Gaya Hidup Penunjang Ekonomi

Jika sampah dipilah sejak dari rumah, proses daur ulang di hilir akan jauh lebih lancar. Lapangan kerja ramah lingkungan atau green jobs pun tercipta, mengikutinya.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Rikando Somba, Novelia,

<p id="isPasted">Menjadikan Daur Ulang Sebagai Gaya Hidup Penunjang Ekonomi</p>
<p id="isPasted">Menjadikan Daur Ulang Sebagai Gaya Hidup Penunjang Ekonomi</p>
Sebuah patung dan topi hasil dari daur ulang yang diproduksi di Kertabumi. Validnews/Hasta Adhistra .


JAKARTA - Permasalahan sampah di Indonesia bukan lah hal mudah tersolusikan. Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa menjadi rujukan bagaimana kompleksitas persoalan ini. Data itu menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, timbunan sampah rumah tangga nasional mencapai 34,2 juta ton.

Dari jumlah itu, sekitar 40% atau 13,7 juta ton tidak terkelola dengan baik. Artinya, sampah itu menumpuk di tempat pembuangan ilegal, hanyut ke sungai dan laut, atau mencemari lingkungan secara diam-diam. 

Angka ini menggambarkan betapa kompleks dan kronisnya masalah pengelolaan sampah di negeri ini.

Namun, di balik fakta muram tersebut, harapan mulai tumbuh. Pemerintah menyebut adanya tren penurunan volume sampah dalam beberapa tahun terakhir. 

Salah satu pendekatan yang kini semakin didorong adalah konsep ekonomi sirkular (circular economy) yakni sebuah strategi pengelolaan yang menekankan pentingnya mengurangi, menggunakan kembali, serta mendaur ulang limbah agar tetap bernilai dan tidak berakhir di TPA. 

Uniknya, konsep ekonomi sirkular yang kini ramai diperbincangkan ternyata sudah lebih dulu dijalani secara alami oleh banyak orang di tingkat rumah tangga. Konsep ini sejatinya bukan hal rumit. Bukan pula berdasar teknologi maju untuk melakukannya. Semuanya bisa dilakukan dengan sederhana dan saban hari bisa dilakukan.

Salah satunya pelakunya adalah Iman Kristianto, yang menyulap sampah rumah tangga menjadi pupuk yang bermanfaat untuk tanaman.

Semuanya bermula dari pemandangan sederhana di dapur rumahnya. Setiap hari, sang istri sibuk membuat kue untuk dijual dan dari proses itulah tumpukan cangkang telur terus bertambah. Awalnya dianggap limbah biasa, namun lama-kelamaan Iman merasa tergelitik.

"Waktu itu saya lihat kok cangkangnya numpuk terus. Sayang kalau cuma dibuang. Saya pikir, bisa nggak ini dimanfaatkan?" ungkap Iman kepada Validnews, Rabu (16/7).

Sebagai pecinta tanaman, nalurinya langsung tertuju pada pot-pot di halaman rumah. Ia pun mulai bereksperimen sejak 2018. Cangkang telur ia cuci bersih, dijemur hingga kering sempurna, lalu ditumbuk menjadi serbuk halus. Serbuk kaya kalsium dan mineral itu kemudian ditaburkan ke media tanam.

Hasilnya mengejutkan. Tanaman hias dan sayuran kecil di rumahnya tumbuh lebih subur, daunnya lebih hijau, dan tidak mudah layu.

"Awalnya cuma coba-coba karena penasaran. Tapi setelah lihat hasilnya, saya jadi yakin kalau ini bisa berguna lebih luas," ungkap pria asal Tangerang itu.

Tak berhenti di situ, Iman mulai mendalami informasi dari berbagai sumber, termasuk tutorial di YouTube. Ia terus menyempurnakan cara mengolah cangkang telur, sekaligus menguji manfaatnya di berbagai jenis tanaman.

Perlahan tapi pasti, percobaan yang semula hanya untuk konsumsi pribadi mulai mencuri perhatian. Tanaman di halaman rumah Iman yang tumbuh subur dan tampak segar itu membuat tetangga dan kerabat mulai bertanya-tanya. Tak sedikit yang penasaran dan ingin mencoba serbuk cangkang telur racikannya sendiri. Dari sanalah, kabar pun menyebar dari mulut ke mulut.

"Setelah lihat hasilnya lumayan, saya mulai sadar kalau ini bisa jadi pupuk organik siap pakai. Memang skalanya masih kecil, baru untuk kerabat dan orang-orang di sekitar rumah. Tapi dari situ saya makin semangat mengembangkannya," terangnya.

Pria berusia 33 tahun itu pun mulai mengemas serbuk cangkang telur dalam kantong-kantong kecil, melengkapinya dengan label sederhana, lalu memasarkannya. Ia menyadari selain menjadi solusi ramah lingkungan, produk buatannya ternyata juga bisa menambah penghasilan.

"Setidaknya, ada pemasukan tambahan dari sesuatu yang dulunya cuma dianggap sampah," tegasnya.

Kisah serupa datang dari Pungging, Mojokerto, Jawa Timur. Devita Devlin, seorang ibu rumah tangga, merasa prihatin melihat botol-botol plastik bekas yang menumpuk di rumahnya sejak 2022.

Ketimbang membuangnya, Devita yang sejak kecil menyukai kerajinan tangan memutuskan untuk menyulapnya menjadi karya seni bernilai jual.

"Saya mencoba jual di e-commerce dan ternyata respon pembeli banyak setiap harinya. Dari situlah saya mulai mengembangkan limbah yang lainnya," ujar Devita kepada Validnews, Sabtu (19/7).

Sejak saat itu, ia mulai merancang pola, mengecat, dan menyulap limbah plastik menjadi barang-barang yang fungsional sekaligus estetis. Beberapa karyanya antara lain pot bunga dari galon bekas, celengan dari botol plastik, bunga hias dari kantong kresek, hingga tempat tisu dari sedotan bekas.

Pemilik akun D5 Krafty di Shopee ini tak menyangka usahanya bisa berkembang jauh. Ia menyebut, pesanan datang hampir setiap hari, bahkan sering kali melebihi kapasitas produksi yang ada.

Melihat potensi tersebut, sang suami yang sebelumnya bekerja kantoran pun memutuskan untuk berhenti dan fokus membantu usaha keluarga ini. Tak hanya itu, keluarga besar juga ikut turun tangan. Ada yang membantu proses pencucian, penjemuran, hingga pengemasan.

Padahal, di awal perjalanan usahanya, wanita 37 tahun itu harus menjemput bola. Ia aktif mencari limbah plastik melalui media sosial demi memenuhi permintaan yang terus meningkat. Semuanya dia lakukan sendiri pada awalnya.

Namun kini, situasinya justru berbalik. Semakin banyak orang yang lebih dulu menghubungi mereka, menawarkan limbah plastik bekas untuk dibelinya. 

"Dulu, kami yang cari-cari. Banyak orang menawarkan limbah, dan kami yang datang ke tempat mereka," kenang Devita.

Kedua kisah ini mencerminkan transformasi cara pandang terhadap sampah. Bukan lagi sebagai masalah yang harus disingkirkan, melainkan sebagai peluang yang bisa dikembangkan. Memilah dan mengolah sampah menjadi aktivitas harian, bahkan bentuk gaya hidup.

Baca juga: Menimbang Kesiapan Olah Sampah Jadi Bahan Baku BBM

Kesadaran Meningkat
Apa yang dilakukan Iman dan Devita bukan lah fenomena yang jarang dilihat. Mahawan Karuniasa, Dosen Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, menilai bahwa meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap daur ulang merupakan bagian dari perubahan sosial yang signifikan dalam sistem pengelolaan sampah nasional, seperti yang dilakukan keduanya.

Ia mengamati, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran pola pikir, khususnya di kota-kota besar. Sampah tak lagi semata dianggap sebagai masalah, melainkan sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan kembali.

"Kalau dari observasi saya di berbagai tempat, termasuk dari pantauan di media sosial dan kajian akademis, memang terlihat ada kecenderungan yang semakin baik. Kesadaran masyarakat untuk memilah dan mendaur ulang sampah terus tumbuh," terang Mahawan kepada Validnews, Senin (21/7).

Menurut Mahawan, pertumbuhan kesadaran ini tak lepas dari peran edukasi dan kampanye yang semakin masif dilakukan oleh berbagai pihak. Isu lingkungan kini makin banyak dibicarakan dan berada di garis depan, baik melalui program pemerintah, inisiatif LSM, maupun kampanye dari sektor swasta. Semuanya mendorong masyarakat untuk lebih peduli terhadap sampah dan lingkungannya. 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa pertumbuhan kesadaran ini belum merata. Di kota-kota besar, edukasi dan akses terhadap informasi lebih terbuka, sehingga masyarakat cenderung lebih sadar dan aktif memilah sampah. Sementara di wilayah pedesaan, praktik pemilahan masih tergolong rendah.

Warga desa justru sudah lama terbiasa dengan praktik daur ulang limbah organik seperti sisa makanan dan dedaunan yang diolah menjadi kompos untuk kebutuhan sehari-hari.

"Jadi memang karakter antara kota dan desa berbeda. Di desa, pemilahan belum terlalu jalan, tapi daur ulang organik sudah menjadi kebiasaan turun-temurun," jelasnya.

Yang menarik, Mahawan melihat bahwa kota-kota kecil justru menyimpan potensi besar dalam membangun gerakan daur ulang. Dengan ikatan sosial yang lebih erat, waktu luang masyarakat yang relatif lebih banyak, dan hubungan yang lebih dekat antara warga dan pemerintah lokal, kota kecil bisa menjadi ladang subur bagi tumbuhnya kesadaran lingkungan.

"Kalau di kota kecil, interaksi sosial lebih kuat, partisipasi masyarakat lebih mudah dibangun. Jadi potensi untuk meningkatkan kesadaran di sana sangat besar," tambahnya.

Ia menegaskan, kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah memang sedang bertumbuh ke arah yang lebih baik. Namun pertumbuhannya memiliki karakteristik berbeda antara kota besar, kota kecil, dan desa. Karenanya, pendekatannya pun tak bisa disamaratakan.


Tantangan Berkelanjutan
Di tengah kesadaran masyarakat terus tumbuh, Mahawan yang juga menjabat sebagai Dewan Pengawas Yayasan Sahabat Peduli Bumi menilai masih banyak tantangan yang harus dihadapi agar gerakan daur ulang bisa berjalan lebih luas dan berkelanjutan.

"Tantangan paling utama tetap kembali ke soal edukasi. Belum semua masyarakat mendapatkan informasi yang cukup dan tepat tentang cara memilah atau mendaur ulang sampah," ucapnya.

Ia menjelaskan, metode edukasi yang digunakan selama ini masih belum merata. Kampanye yang dilancarkan pemerintah terkesan kurang efektif menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Di sisi lain, sosok panutan atau role model juga masih jarang.

Padahal, menurut Mahawan, kehadiran figur teladan sangat penting untuk memberikan contoh nyata dan mendorong perubahan perilaku.

"Panutan ini sebenarnya kunci. Kalau ada orang yang bisa jadi contoh di lingkungan, itu lebih mudah membuat masyarakat ikut berubah," ungkap Mahawan.

Selain edukasi dan panutan, persoalan infrastruktur juga menjadi hambatan besar. Misalnya, ketika warga sudah berusaha memilah sampah dari rumah, tetapi saat diangkut oleh petugas kebersihan justru dicampur kembali, maka semangat masyarakat bisa turun.

"Jadi penting juga memastikan ada sistem pendukung yang berjalan selaras. Kalau tidak, orang jadi malas memilah karena merasa sia-sia," tegasnya.

Mahawan juga menyoroti praktik di masyarakat urban yang masih belum merata mendukung tren daur ulang. Masih banyak orang yang langsung membuang sampah ke tempat sampah lalu diangkut petugas ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tanpa proses pemilahan yang berarti.

"Inilah realita yang masih sering terjadi. Padahal, inovasi daur ulang bisa dimulai dari hal-hal sederhana di keseharian kita," jelasnya.

Ditambah lagi soal bank sampah yang belum efektif dan merata. Fasilitas ini sejatinya membawa manfaat dan menjadi bagian penting dari proses edukasi serta pemberdayaan warga. Namun, secara umum, perannya belum cukup kuat untuk membangun gerakan daur ulang dalam skala massal.

Banyak bank sampah masih dikelola secara sosial dengan pengurus yang bekerja secara sukarela. Karena tidak dikelola secara profesional dan tidak terintegrasi dalam sistem ekonomi yang berkelanjutan, keberlanjutannya pun bergantung pada semangat individu.

"Selama masih berbasis sukarela, kadang jalan, kadang tidak. Sulit menjadikannya sebagai kekuatan ekonomi yang mandiri," ungkap Mahawan.

Jika ingin bank sampah bisa berkontribusi lebih besar, perlu ada dukungan kelembagaan, sistem pembiayaan yang kuat, serta insentif ekonomi yang layak. Dengan begitu, pengelolanya tidak hanya termotivasi oleh semangat sosial, tetapi juga memiliki kepastian ekonomi.

Langkah Sederhana, Dampak Nyata
Sebagai langkah awal yang bisa dilakukan siapa saja, Mahawan pun mengajak masyarakat memulai dari hal yang paling sederhana. Semua warga bisa memilah sampah di rumah. Terlepas apakah nanti sampah itu akan tercampur lagi saat diangkut, setidaknya gerakan positif sudah dimulai di rumah masing-masing.

Ia menjelaskan, pemulung atau tukang sampah biasanya tetap memisahkan plastik dari sampah organik karena plastik memiliki nilai jual. Sepanjang perjalanan dari rumah ke TPA, tetap ada proses pemisahan.

"Jadi, memilah tetap penting. Pisahkan saja plastik dan organik, itu sudah jadi kontribusi besar," tuturnya.

Langkah kedua adalah memanfaatkan ulang kemasan plastik bekas seperti yang dilakukan Devita. Di tengah tren belanja online dan makanan siap saji, setiap orang akhirnya menerima banyak kemasan plastik yang masih layak pakai setiap harinya.

Baca juga: Target Pengelolaan Sampah Kawasan Nan Berliku 

Setelah dibersihkan, kemasan itu bisa digunakan kembali, misalnya untuk menyimpan barang atau makanan. Bahkan, bisa menjadi sebuah nilai jual. Begitu pula dengan kardus bekas. Barang sederhana itu pun bisa dimanfaatkan.

"Kalau kita punya karton besar dari belanja online, letakkan saja di tempat mencolok dekat tong sampah. Biasanya, dalam hitungan satu-dua jam, pemulung akan mengambilnya. Itu sudah membantu proses daur ulang," tambah Mahawan.

Melimpahnya sampah sebenarnya bisa menjadi berkah bagi industri daur ulang. Masalahnya, menurut Mahawan, sistem pemilahan di hulu masih lemah.

"Banyak pelaku industri daur ulang mengeluh karena sampah yang masuk masih tercampur. Ini membuat prosesnya jadi tidak efisien," jelasnya.

Sederhananya, jika sampah dipilah sejak dari rumah, proses daur ulang akan jauh lebih lancar. Ia menyebut, sektor ini menyimpan potensi besar untuk menciptakan green jobs atau lapangan kerja ramah lingkungan.

Dari pengumpulan, pemilahan, hingga produksi barang daur ulang, semuanya membuka peluang ekonomi baru. Meski ada tantangan lain di sisi hilir, di mana produk hasil daur ulang sering kali lebih mahal karena mengandung nilai tambah berupa kepedulian terhadap lingkungan, itu pun bisa dipandang sebagai karakter tersendiri pada sektor hijau ini.

"Ada premium cost, sehingga harganya pun premium price. Tapi ini juga bisa jadi daya tarik tersendiri bagi konsumen yang sadar lingkungan," katanya.

Salah satu tantangan terbesar adalah edukasi yang belum merata. Banyak orang belum tahu bagaimana memilah atau kenapa harus peduli pada sampah. Di sinilah pentingnya panutan. Contohnya seperti Iman dan Devina itu penting, karena mereka bukan hanya bicara, tapi juga memberi contoh langsung. Ini yang menggerakkan orang lain untuk ikut peduli.

"Kita butuh lebih banyak contoh nyata," tegas Mahawan.

Di media massa, belakangan memang juga disebut banyak sosok kondang di dunia seni dan hiburan yang  gemar mengampanyekan kepedulian lingkungan dan ekonomi sirkular. Sebut saja Nicholas Saputra, Hamish Daud, Nadine Chandrawinata, dan Cinta Laura. Jika lebih banyak lagi sosok kondang di beragam bidang ikut menggelorakan hal ini, tentu gemanya berbeda.

Menata Pengelolaan Sampah Secara Menyeluruh
Membayangkan Indonesia bebas tumpukan sampah bukan mimpi, tapi butuh langkah nyata sejak hari ini. Tantangan terbesar ada pada pengelolaan sampah sejak dari hulu yakni dari sumbernya langsung seperti rumah tangga, pasar, dan pusat-pusat perdagangan. Mengubah perilaku di berbagai level, kata Mahawan, itu cukup berat. Butuh investasi, kesadaran masyarakat, dan sistem yang mendukung.

Karena itu, investasi di sektor hilir, khususnya di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), perlu ditingkatkan secara signifikan. Kapasitas pemrosesan di TPA harus seimbang dengan volume sampah yang masuk. Infrastruktur juga harus hadir secara nyata. Misalnya, keberadaan truk pengangkut sampah yang sudah memiliki sekat pemisah antara sampah organik dan anorganik.

Investasi di sektor hulu juga tak kalah penting. Salah satunya melalui penguatan bank sampah. Jika dikelola dengan pendekatan ekonomi, bukan hanya berbasis sukarela, bank sampah bisa menjadi motor penggerak yang efisien dan berkelanjutan.

"Kalau bank sampah sudah menguntungkan, makin banyak yang terlibat. Jumlahnya bertambah, kapasitasnya meningkat, dan masyarakat akan lebih antusias memilah sampah," katanya.

Yang jelas, masyarakat Indonesia, seperti halnya masyarakat dunia, pasti mengenal FOMO alias fear of missing out atau tak ingin ketinggalan. Biasanya, jika dilihat ternyata ekonomi sirkular dengan mengelola sampah jadi punya keuntungan finansial, pasti menarik pihak lainnya.  Semoga saja.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar