c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

EKONOMI

24 Juli 2025

20:30 WIB

Menimbang Kesiapan Olah Sampah Jadi Bahan Baku BBM

Indonesia punya peluang besar mengolah sampah menjadi sumber BBM terbarukan melalui sistem pirolisis. Meski sudah dikenal sejak lama, sistem ini belum dimanfaatkan secara optimal.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p dir="ltr" id="isPasted">Menimbang Kesiapan Olah Sampah Jadi Bahan Baku BBM</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Menimbang Kesiapan Olah Sampah Jadi Bahan Baku BBM</p>

Produk bensin dari pengolahan sampah plastik yang didukung oleh Riset & Inovasi Teknologi Pertamina. Dok Yayasan Get Plastic Indonesia.

JAKARTA - Permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia sudah menjadi pekerjaan rumah (PR) yang tak juga terselesaikan sejak lama. Beragam inovasi dan teknologi silih berganti bermunculan dan dipublikasikan beragam media pada beragam masa, untuk menunjukkan berbagai cara mengolah limbah sampah. 

Ada cara kreatif yang paling sederhana seperti ecobrick, hingga teknologi tingkat lanjut seperti teknologi pirolisis, yang belakangan ini jadi perbincangan.

Lalu, apa itu pirolisis? 

Menyitir laman Kementerian ESDM, pirolisis atau sistem kerja distilasi kering merupakan proses pemanasan limbah organik dan plastik di atas suhu lebur tinggi yang kemudian diubah menjadi uap. Dalam proses pemanasan ini, terjadi perekahan pada molekul-molekul dalam plastik dan berubah menjadi molekul yang lebih pendek. 

Sekumpulan molekul-molekul pendek tersebut didinginkan hingga beralih menjadi cair. Berikutnya, cairan yang dihasilkan menjadi bahan dasar minyak atau minyak mentah yang didistilasi ulang menggunakan temperatur berbeda. Pada proses akhir ini berubah menjadi bahan bakar kendaraan. 

Baca Juga: Manfaatkan Pirolisis, Pemerintah Bakal Sulap Sampah Jadi BBM

Buat yang baru tahu, sedianya metode pirolisis ini bukan hal mutakhir. Di Indonesia, pirolisis sebenarnya sudah dikenal dan banyak diuji coba oleh berbagai kalangan sejak belasan tahun lalu. Metode ini digunakan sebagai usaha untuk mendaur ulang sampah. Maklum, masalah sampah di Indonesia ini memang PR besar yang tak kunjung usai. 

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencatat, sepanjang 2024, setidaknya ada sekitar 34,2 juta ton timbulan sampah selama setahun. Dari jumlah ini, sampah terkelola baru mencapai 20,4 juta ton (59,74%) dan yang tidak terkelola masih di kisaran 13,7 juta ton (40,26%). 

Buat penekanan data di atas, artinya ada hampir separuh dari gunung sampah timbulan se-Indonesia di tahun lalu masih belum diapa-apakan.

Sampah-sampah tersebut mayoritas berasal dari rumah tangga dengan kontribusi hingga 53,74%; disusul pasar sebanyak 14,48%; pasar dari kawasan sebanyak 11,95%; perniagaan 10,49%; perkantoran 3,97%; fasilitas publik 3,76%; dan lainnya 1,61%.

Alat berat mengeruk sampah Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah Talumelito di Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Senin (30/6/2025). Antara FotoAdiwinata Solihin/bar

Melihat keberlimpahan sampah di dalam negeri, Kementerian ESDM pun tengah berupaya memanfaatkan teknologi pirolisis untuk mengolah sampah. Salah satunya di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) DKI Jakarta di Bantar Gebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat.

Niatan tersebut diungkapkan Wakil Menteri ESDM Yuliot  Tanjung beberapa waktu lalu, rencana ini juga tengah diusulkan menjadi lapangan usaha BBM terbarukan. 

“Teknologi pirolisis sudah banyak dimanfaatkan dalam pengolahan sampah plastik di daerah. Saat ini, Kementeriaan ESDM lagi mengusulkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) baru untuk BBM terbarukan,” ungkap Yuliot kepada Validnews secara tertulis, Jakarta, Rabu (23/7). 

Dia membocorkan, pengolahan sampah di Bantar Gebang diyakini bisa menghasilkan BBM terbarukan yang setara dengan Pertamina Dex. 

“Untuk kualitas BBM terbarukan jenis diesel, kualitas setara dengan Pertamina Dex,” jelasnya. 

Pirolisis Maksimal Kurangi Sampah Plastik
Lebih lanjut, Dirjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menyampaikan, rencana pengolahan sampah menjadi BBM terbarukan itu ditaksir potensial mengurangi hingga 40% timbunan sampah, khususnya plastik, yang sudah keterlaluan banyaknya di Indonesia. 

Dia mengungkapkan, hingga saat ini sudah ada beberapa daerah di Indonesia yang bisa mengolah sampah dengan metode pirolisis, seperti Banjarnegara (Jawa Tengah), Cilegon (Banten), Bali, dan Gresik (Jawa Timur). Eniya membeberkan, sampah-sampah di Bantar Gebang juga nantinya dapat diolah ke berbagai bentuk energi terbarukan. 

“Produk dari sampah ini bisa menjadi tiga, sampah menjadi listrik, sampah organik menjadi biogas, biomassa, dan Refuse Derived Fuel (Bahan Bakar dari Sampah/RDF), serta sampah plastik menjadi BBM terbarukan,” tutur Eniya dalam perbincangan via telepon dengan Validnews, Rabu (23/7). 

Baca Juga: ESDM Bidik 30 Kota Besar Miliki PLTSa Pada 2029

Bukan hanya pengolahan sampah di Bantar Gebang yang diolah demikian. Dia menyebutkan bahwa Kementerian ESDM juga tengah menyusun Peraturan Presiden (Perpres) terkait pengolahan sampah ini untuk di seluruh wilayah Indonesia. 

Alat berat memindahkan sampah di kawasan Refuse Derived Fuel (RDF) Plant, TPST Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, Rabu (19/3/2025). Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay/YU

Dalam catatan Validnews, khusus untuk pengelolaan sampah di TPST Bantar Gebang, sebelumnya Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan menyatakan, pihaknya akan menyederhanakan regulasi pengelolaan sampah di kawasan tersebut melalui Instruksi Presiden (Inpres).  Secara implisit, Zulhas menyebut ada sejumlah pihak yang berminat untuk berinvestasi di Bantar Gebang. 

Sayangnya, peluang tersebut masih urung terealisasi karena investor cenderung kesulitan menjalani alur perizinan investasi pengelolaan sampah yang bertele-tele. 

"Bayangkan, (masalah) sampah kok enggak bisa diatasin sih? Saya bilang pada Bapak Presiden 'Pak percayakan saya, kasih saya Instruksi Presiden (Inpres), satu tahun selesai dan dibangun tahun kedua' gitu," klaim Zulhas, Rabu (19/3).

Perkembangan Implementasi Pirolisis di RI
Direktur Eksekutif dan ahli strategi transisi energi Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa di kesempatan berbeda menyampaikan, Indonesia sudah lama juga memanfaatkan teknologi pirolisis. Bahkan, penggunaannya tak ketinggalan dengan negara maju lainnya.

Namun yang jadi pembeda, pirolisis di tanah air masih dominan dimanfaatkan oleh perusahaan skala kecil maupun perorangan yang mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar substitusi di industri masing-masing. 

Di sisi lain, dia mengingatkan, rencana pemanfaatan pirolisis untuk sampah di Bantar Gebang sebetulnya telah digaungkan pemerintah sejak sekitar tahun 2010 silam melalui Pertamina dengan model perusahaan patungan. Sayangnya, proyek ini tak kunjung terealisasi dengan kendala klasik keekonomian, terutama biaya investasi atau Capital Expenditure (Capex) berbanding produk akhir yang belum setimbang. 

Jujur saja, kala itu untuk memproduksi BBM dengan pirolisis masih lebih mahal dibanding bahan bakar konvesional.

“Masalah keekonomian, karena biaya investasi sama harga produknya. Karena menghasilkan bahan bakar dari pirolisis itu memang mungkin lebih mahal ya daripada menghasilkan BBM, apalagi kalau BBM-nya disubsidi,” ujar Fabby saat berbincang dengan Validnews, Rabu (23/7). 

Baca Juga: ESDM Minta PLN Serap Listrik Dari PLTSa

Berselang 15 tahun, pemerintah pun kembali memunculkan niatan tersebut yang menurut Fabby, seharusnya nilai keekonomiannya semakin kompetitif dan makin bisa segera direalisasikan. Apalagi jumlah sampah yang menumpuk di Bantar Gebang terus bertambah setiap harinya. 

Butuh Rancangan Jelas 
Walakin, Fabby tetap mengingatkan, pemerintah perlu secara rinci merancang proses produksi BBM dari teknik pirolisis tersebut untuk bisa menekan nilai investasi dan memperoleh keuntungan yang besar. Misalnya, sampah organik yang dikumpulkan sudah terpilah, seperti biomassa, plastik, ban karet bekas, hingga minyak goreng bekas. 

Pemisahan jenis sampah ini harus masuk dalam rencana yang dihitung matang-matang untuk menerka biaya chamber atau ruangan gasifikasi.

“Saya kurang tau berapa besar biaya investasi yang dibutuhkan. Tapi kalau saya lihat, ini harusnya bisa dilakukan untuk saat sekarang dalam skala produksi kecil, sekitar 10 ton sampah per hari,” sambungnya.

Oh ya, buat yang merasa janggal kenapa sampah plastik bisa diolah dalam teknik pirolisis, Fabby menjelaskan, karena material polimer ini pada dasarnya tersusun dari rantai panjang atom karbon dan berasal dari minyak bumi, menjadikannya bahan baku yang sempurna untuk diolah lagi menjadi sumber 'energi baru'. Selain pemilahan sampah, hasil akhir pengolahan sampah yang diinginkan pemerintah juga harus jelas. Pasalnya, dalam proses pirolisis, sampah diolah menjadi minyak pirolisis mentah dan gas. 

Minyak mentah ini, jika ingin dijadikan BBM yang layak pakai, perlu melalui tahap peningkatan kualitas (upgrading) kompleks, tidak sekadar disaring atau disuling biasa.

Untuk menghasilkan BBM berkualitas yang bisa dipasarkan, minyak pirolisis mentah harus melalui serangkaian proses seperti hydrotreating atau perengkahan katalitik, barulah kemudian distilasi fraksinasi untuk memisahkan fraksinya dan memenuhi standar. Ini memastikan minyak tersebut menjadi BBM yang sudah teruji dan layak secara kualitas.

"Artinya produk minyak yang keluar itu (pirolisis sampah) kemudian didistilasi, disaring, kemudian dinaikkan kualitasnya sehingga sesuai dengan kualitas bahan bakar yang sudah ditetapkan oleh pemerintah untuk bisa dijual di pasar, ini kan memang tidak bisa (langsung) dipakai karena harus diolah," urainya.

Baca Juga: Pemerintah Akan Bangun 33 Pembangkit Listrik Bertenaga Sampah

Saat ini minyak pirolisis memang dominan dimanfaatkan sebagai bahan bakar industri skala kecil maupun individu. Ia mengakui hal tersebut sah-sah saja dilakukan demi menghemat biaya bahan bakar. 

Pekerja memilah sampah plastik di depo sampah, Giwangan, Yogyakarta, Rabu (18/1/2023). Antara Foto/Hendra Nurdiyansyah/tomAkan tetapi, Fabby juga menekankan dan menggarisbawahi bahwa minyak hasil pirolisis ini dilarang untuk dijual bebas ke masyarakat sebagai BBM, jika belum melalui serangkaian uji laboratorium ketat dan ditetapkan layak oleh pemerintah.

Di sisi lain, penerapan sistem pirolisis di Indonesia masih cenderung tertinggal dibanding negara-negara lainnya. Kendala ini selalu berkutat pada mahalnya biaya investasi di awal. Kondisi ini berbeda dari Taiwan dan China yang sudah lebih masif menggunakannya di berbagai  industri skala besar sejak 15 tahun lalu. 

“Sampah di kita memang banyak, tapi kalau pengelolaannya (pirolisis) butuh dana besar dan teknologi mahal, siapa yang mau danai? Teknologinya bukan barang gratis, karena membutuhkan energi yang sangat besar hingga 500-600 derajat untuk memecah molekul,” sebutnya. 

Bisnis Mesin Pirolisis Saat Ini
Usai Validnews menelusuri berbagai platform e-commerce, penjualan mesin pirolisis di pasaran cukup mudah dijumpai dengan sistem penjualan Pre Order (PO) atau pemesanan lebih dahulu. Mayoritas produsen mesin ini berada di Kabupaten Bogor (Jawa Barat), Kabupaten Bandung Barat (Jawa Barat), dan Lampung Tengah (Lampung). 

Harga yang ditawarkan pun variatif, tergantung proses yang dilalui dalam mesin tersebut. Misalnya yang termurah di kisaran Rp1,2 juta per mesin, lalu ada juga di kisaran Rp30 juta sampai Rp60 juta per unit. Bahkan beberapa produsen juga ada yang berani menjual hingga Rp250 jutaan per mesin, karena proses pengolahan limbah yang sangat lengkap. 

Direktur CV Gita Persada Laboratorium Ricard Ferdinand mengungkapkan, perusahaannya saat ini baru memproduksi mesin pirolisis dengan bahan baku sampah yang diolah dari plastik.

Perusahaan di bilangan Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini baru memproduksi mesin pirolisis khusus pengolah sampah plastik. Produksi perdana mesin ini bermula dari permintaan pelanggan yang membawa buku berisi riset pengolahan plastik.

“Awalnya ada permintaaan dari customer (pelanggan) yang membawa buku berisi riset mengenai pengolahan plastik. Jadi kami desain dan produksi mesin pirolisis ini,” cerita Ricard pada Validnews, Selasa (22/7). 

Pihaknya dengan 10 orang pekerja di bengkel produksi pun menggarap mesin pirolisis itu dengan bahan dasar stainless steel selama satu bulan, dengan kapasitas 100 liter per proses, dan dijual senilai Rp55 juta belum termasuk biaya pengiriman. 

Meski tak menjelaskan secara pasti berapa banyak penjualan mesin pirolisis buatannya, Ricard menyampaikan, permintaaan mesin ini masih tergolong sedikit dibandingkan mesin-mesin lainnya yang dibuat, misalnya untuk kebutuhan pertanian. 

“Tidak terlalu banyak permintaan, hanya kisaran belasan. Pembeli rata-rata dari personal dan kelompok bisnis daur ulang dari area Sumatra Utara,” imbuhnya. 

Baca Juga: Pemerintah Evaluasi PLTSa 12 Kota

Adapun dari sisi potensi bisnis, Richard memproyeksikan penjualan mesin pirolisis untuk mengolah sampah belum terlalu menguntungkan ke depannya. Serupa dengan penjelasan Fabby, produk energi dari pirolisis sampah masih terhitung lebih mahal daripada nilai bahan bakar yang dihasilkan. 

“Mesin pirolisis sampah plastik sebenarnya tidak selalu menjadi pilihan bisnis yang menguntungkan, karena beberapa alasan. Meskipun bisa menghasilkan bahan bakar alternatif, kualitas dan nilai jual hasil pirolisis seringkali rendah, dan prosesnya bisa memakan biaya yang besar,” ucapnya. 

Tak hanya itu, Richard juga menilai, ketidakjelasan regulasi dan perbedaan kebijakan antardaerah pada dasarnya menjadi tantangan dalam upaya pengelolaan sampah di Indonesia, termasuk dalam menerapkan metode yang tepat. 

“Setiap daerah memiliki kebijakan pengelolaan sampah yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi geografis, sosial, dan ekonomi masing-masing. Beberapa daerah mungkin lebih fokus pada pembakaran sampah untuk menghasilkan energi, sementara daerah lain lebih menekankan pada daur ulang dan pengurangan sampah,” tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar