c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

01 November 2025

16:52 WIB

Vaksin TBC, Antara Ketakutan dan Harapan

Vaksin M72 menggunakan Mycobacterium tuberculosis yang sudah tidak berbahaya untuk diinjeksikan ke tubuh agar membentuk antibodi, sehingga tubuh mudah mengenali saat bakteri TBC masuk.

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Vaksin TBC, Antara Ketakutan dan Harapan</p>
<p id="isPasted">Vaksin TBC, Antara Ketakutan dan Harapan</p>

Seorang wanita bersama anaknya menjalani skrining Tuberkulosis (TBC) di UPTD Puskesmas Garuda, Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/5/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura (ANTARA FOTO/ABDAN SYAKURA).

JAKARTA - Rina (bukan nama sebenarnya, 30), mungkin jadi salah satu orang yang tidak memenuhi panggilan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) untuk melakukan vaksinasi anaknya yang sudah menginjak usia 2 tahun. Bukan tanpa alasan, dia merasa vaksinasi hanya tindakan sia-sia dan penuh kebohongan. Dia tidak percaya vaksinasi dapat meminimalisir risiko timbulnya suatu penyakit, toh, buktinya penyakit tersebut masih tetap ada di sekitarnya.

"Anak-anak saya nggak ada yang divaksin. Untuk apa? Kalau sakit ya sakit aja, tapi alhamdulillah anak-anak sehat semua," tutur Rina, pada Validnews, beberapa waktu lalu.

Rina juga bercerita, anak-anaknya tidak ada beda dengan anak lain. Tumbuh kembangnya sama saja. Anaknya dapat berjalan dan berbicara dengan lancar. Sekalipun sakit paling hanya batuk pilek, selumrahnya saat musim penghujan tiba.

Rina mungkin bukan satu-satunya orang yang skeptis soal vaksin. Dani (bukan nama sebenarnya, 33) juga tidak percaya vaksin. Pria anak satu itu justru percaya ihwal konspirasi vaksin. Mulai dari narasi vaksin memiliki chip di dalamnya, sampai vaksin berperan sebagai pengontrol populasi dunia. 

Konspirasi-konspirasi liar terhadap vaksin itu dia peroleh dari media sosial. Termasuk misalnya teori konspirasi dari yang turut disebarkan figur publik Dharma Pongrekun tentang Covid-19 yang sempat ramai tahun lalu.

"Jadi kan ada yang bilang kalau vaksin itu untuk mengurangi populasi dunia, termasuk vaksin baru itu, vaksin TBC," ucap Dani.

Ketidakpercayaan akan vaksin memang masih membekas dalam benak sebagian masyarakat. Misinformasi dan disinformasi yang datang bersamaan membuat masyarakat sulit memilih informasi yang tepat dari konten di media sosial.

Saat dunia tengah menantikan vaksin baru untuk tuberkulosis (TBC), ketidakpercayaan itu pun timbul lagi. Banyak yang mempertanyakan, apakah benar vaksin tersebut benar-benar aman dan efektif, dan bukan bagian dari konspirasi?

Perkembangan TBC di Indonesia

Beban penyakit TBC di Indonesia pada 2024 masih sangat tinggi. Berdasarkan Global TB Report 2024, Indonesia berada di peringkat kedua dunia dalam hal beban kasus TBC setelah India, yakni dengan estimasi jumlah kasus mencapai 1 juta lebih per tahun. Sementara data Kementerian Kesehatan pada 2024, penemuan kasus TBC sekitar 889 ribu dengan tingkat kematian akibat TBC mencapai 125 ribu kematian setiap tahunnya.

Diungkapkan oleh dokter paru Prof. Agus Dwi Susanto, angka kasus TBC di Indonesia juga belum sepenuhnya merepresentasikan keadaan yang ada. Angka penemuan kasus masih belum bisa memenuhi target di atas 95% dari estimasi kasus. Artinya, masih banyak kasus-kasus TBC yang belum ditemukan dan belum diobati sehingga menjadi sumber penularan. Selain itu, cakupan terapi pencegahan (TPT) untuk TBC laten pun masih sangat rendah dan berpotensi menjadi kasus TBC aktif dan menular.

"Lalu ada keterbatasan akses ke layanan kesehatan. Di beberapa daerah terpencil, akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai masih terbatas sehingga membuat deteksi dini TBC dan pengobatan tidak dapat dilakukan secara optimal," ujar Prof. Agus pada Validnews, Jumat (31/10).

Baca juga: Bahaya Pengobatan TBC Yang Terputus

Kesadaran masyarakat pun masih rendah terhadap TBC, di mana banyak masyarakat yang tidak mengetahui gejala TBC dan pentingnya pengobatan lengkap yang berujung pada terlambatnya diagnosis dan pengobatan. Ditambah stigma orang dengan TBC sering kali menghambat mereka untuk mencari pengobatan lebih awal.

"Banyak masyarakat percaya bahwa TBC adalah penyakit keturunan, padahal TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menular melalui udara. Ada pula persepsi TBC tidak dapat disembuhkan, padahal dengan pengobatan yang tepat dan teratur, TBC dapat disembuhkan," lanjut Prof. Agus.

Banyak juga orang percaya kalau orang dengan TBC harus diisolasi dari masyarakat, padahal mereka yang sedang menjalani pengobatan yang efektif biasanya tidak lagi menularkan bakteri setelah menjalani beberapa minggu pengobatan. Kesalahpahaman inilah yang menimbulkan stigma orang dengan TBC dan menghambat pencegahan dan pengobatan TBC.

Vaksin TBC Jadi Harapan

Setelah lebih dari satu abad hanya mengandalkan vaksin BCG yang efektif untuk anak-anak, kini dunia medis memiliki harapan baru. Beberapa kandidat vaksin TBC tengah dikembangkan, seperti M72/AS01E yang diklaim memiliki efektivitas lebih tinggi untuk remaja dan orang dewasa, yang merupakan kelompok usia dengan risiko penularan aktif paling tinggi.

Dalam uji klinis tahap dua, vaksin M72 ini telah menunjukkan efikasi hingga 50% dalam mencegah TBC aktif pada oang dengan infeksi laten. Efikasi tersebut berdasarkan regulasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah dapat digunakan guna mempercepat pencapaian target eliminasi TB 2030 seperti yang dicanangkan.

"Vaksin M72 adalah vaksin TBC dengan efikasi 50% pada tahap uji klinis dua. Kalau sudah segitu bisa dipakai, tetapi saat ini masih dicoba fase 3 agar bisa mendapatkan angka efisikasi yang lebih tinggi lagi," kata spesialis paru yang juga menjadi peneliti utama nasional vaksin M72 Prof. Erlina Burhan dalam acara pembekalan TBC Fellowship Journalist Programme 3.0 beberapa waktu lalu.

Baca juga: Pakar Tanggapi Isu Kelinci Percobaan Vaksin TBC M72

Vaksin M72 sendiri bekerja dengan menggunakan Mycobacterium tuberculosis yang sudah tidak berbahaya dan diinjeksikan ke tubuh, sama seperti BCG. Tujuannya, agar tubuh dapat membentuk antibodi dan lebih mudah mengenali saat bakteri TBC masuk ke dalam tubuh dan mencegah infeksi laten berubah menjadi TBC aktif.

"Jadi vaksin ini tidak hanya mencegah infeksi, tetapi juga mencegah mereka yang sudah ada bakteri TBC agar tidak sakit dan kambuh lagi," lanjut Prof. Erlina.

Sayangnya, vaksin ini juga memiliki ragam tantangan. Mulai dari observasi efektivitas vaksin yang memerlukan waktu tidak sebentar, narasi dari para antivaksin, sampai teori konspirasi terkait vaksin TBC yang juga beredar di masyarakat.

Uji klinis yang tengah dilakukan pun masih belum mengetahui sampai kapan vaksin TBC dapat melindungi tubuh sehingga pengembangan dan penelitian terkait ini masih dilakukan. Dengan demikian, target eliminasi TBC 2030 masih merupakan tantangan besar.




KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar