31 Mei 2025
15:35 WIB
Bahaya Pengobatan TBC Yang Terputus
Bukan hanya tidak sembuh, penderita TBC dengan pengobatan yanv terputus juga akan mengalami kondisi kuman yang lebih kebal terhadap obat.
Dokter memeriksa pasien penyakit Tuberkulosis (TBC) di RS Paru Dr. M. Goenawan Partowidigdo, Cisarua , Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (30/11/2022). Antara Foto/Arif Firmansyah
JAKARTA - Pengobatan tuberkulosis atau TBC yang terputus bisa membahayakan. Dalam kondisi yang disebut Tuberkulosis Resisten Obat atau TB RO, obat anti-tuberkulosis atau OAT yang diberikan pertama kali sudah tidak bisa mengatasi kuman Mycobacterium tuberculosis di tubuh pasien.
"Itu ada bahayanya, bukan hanya tidak sembuh, tetapi si kuman yang sedang diobati itu menjadi kebal obat," kata Ketua Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Nastiti Kaswandani.
Dijelaskan, pasien TB RO harus minum lebih banyak obat setiap hari dan menjalani pengobatan dalam jangka yang lebih lama sesuai dengan rekomendasi dari tim ahli klinis agar bisa sembuh.
Pengobatan tuberkulosis resisten obat membutuhkan waktu sembilan bulan sampai 24 bulan dengan tindak lanjut ketat dari tenaga medis untuk menilai perkembangan pengobatan pasien.
Pasien yang mengalami TB RO bisa menularkan kuman yang sudah kebal terhadap obat kepada orang lain dan kondisi ini menyulitkan upaya penanggulangan tuberkulosis.
Supaya tidak sampai mengalami TB RO, pasien tuberkulosis harus minum obat secara teratur sampai tuntas sesuai dengan standar pengobatan penyakit tuberkulosis.
Lebih jauh dijelaskan, putus obat TBC dapat terjadi pada pasien yang lupa minum obat selama beberapa hari berturut-turut atau sering memuntahkan obat yang diminum. Pasien tuberkulosis yang demikian dianjurkan menjalani pemeriksaan untuk mengetahui apakah dia mengalami resistensi obat dan harus mengulang pengobatan.
"Bukan juga berarti sudah minum obat empat bulan teratur, kemudian satu hari lupa atau ketinggalan ketika pergi keluar kota, itu bukan berarti mulai lagi dari awal," kata dr. Nastiti, dikutip dari Antara.
"Dokter akan memperhitungkan berapa persentase obat yang sudah berhasil diminum, berapa yang miss (terlewat), kalau miss-nya sedikit, obat bisa tetap dilanjutkan," lanjut dokter konsultan respirologi anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo itu.
Pengobatan TBC menimbulkan efek samping pada hati dalam beberapa kasus pengobatan tuberkulosis pada pasien anak dan dewasa. Efek kuning, menurut dia, terjadi karena lever sedang beradaptasi dengan obat-obatan yang dikonsumsi.
Dalam kondisi yang demikian, ia menjelaskan, dokter bisa menyarankan pasien untuk menghentikan sementara konsumsi obat sampai gejalanya mereda dan kemudian melanjutkan pengobatan lagi. Dokter umumnya akan melakukan pemantauan intensif pada dua bulan awal pengobatan tuberkulosis.
Orang yang telah menjalani pengobatan tuberkulosis biasanya akan menunjukkan kemajuan klinis seperti penurunan frekuensi demam dan kenaikan berat badan.
"Pada anak, ketika sudah menyelesaikan pengobatan dengan obat anti-tuberkulosis, secara full sudah sembuh, jangka panjangnya tidak akan berefek apa-apa lagi," demikian dokter Nastiti Kaswandani.