14 Agustus 2025
12:06 WIB
Para Musisi Minta LMKN Serius Benahi Tata Kelola Royalti
Para musisi Tanah Air yang tergabung dalam FESMI hingga VISI menyampaikan surat terbuka untuk para kominsioner baru LMKN, agar bekerja serius perbaiki tata kelola royalti musik dan lagu.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi kafe memutar musik. Dok: DJKI.
JAKARTA - Para musisi Tanah Air yang tergabung dalam Federasi Serikat Musik Indonesia (FESMI) dan Vibrasi Suara Indonesia (VISI) melayangkan surat terbuka kepada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Para musisi mengingatkan para komisioner baru lembaga pengumpul dan penyalur royalti ini agar diminta untuk berbenah, menyelesaikan masalah tata kelola royalti musik dan lagu.
Surat terbuka para musisi menjadi kelanjutan dari gelombang kritik terhadap LMKN. Sejak beberapa tahun terakhir, lembaga ini menjadi sasaran kritik karena dinilai tak maksimal dalam pengumpulan dan pendistribusian royalti. Poin utama yang disorot para musisi yaitu soal transparansi.
"Surat terbuka ini kami sampaikan sebagai pengingat untuk kita semua, yaitu betapa pentingnya transparansi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap LMKN dan LMK," tulis FESMI dalam unggahan bersama dengan VISI di Instagram, Rabu (13/8).
Diketahui, LMKN baru saja berganti kepengurusan dengan komisioner-komisioner baru dilantik oleh Kementerian Hukum Republik Indonesia, beberapa waktu lalu. Nama-nama yang menjadi komisioner berasal dari kalangan ahli hukum, pelaku industri hingga musisi atau pencipta lagu. Makki Omar Parikesit dari band Ungu serta Marcel Siahaan termasuk ke dalam jajaran komisioner baru LMKN.
FESMI dan VISI pun mendesak para komisioner baru untuk melakukan langkah pertama untuk mewujudkan transparansi pengelolaan, yaitu dengan melaporkan distribusi royalti dari Mie Gacoan. Diketahui, LMKN belum lama ini menyelesaikan sengketa royalti dengan Mie Gacoan dengan hasil merek bisnis makanan tersebut membayar senilai Rp2 miliar.
"Perbaikan sistem menuju digitalisasi sangat diperlukan, namun kesungguhan juga dapat dilihat dari respon cepat atas salah satu tugas utama LMKN dan LMK, yaitu distribusi royalti," lanjut FESMI.
"Segeralah lakukan distribusi yang adil dengan audit yang baik dan informasikan secara transparan ke publik, sembari secara paralel membenahi sistem pendataan royalti yang fungsinya membenahi sistem royalti yang fungsinya membantu efektivitas dan produktivitas LMKN dan LMK," tekan mereka.
Sorotan terhadap kinerja LMKN dan LMK bukanlah hal yang baru, melainkan sudah kuat sejak beberapa tahun terakhir. Banyak musisi pencipta lagu merasa kecewa dengan kinerja dan transparsi LMKN, sebagiannya lagi menyoroti payung regulasi yang menempatkan LMKN sebagai "pintu" aliran royalti musik dan lagu di Indonesia.
Salah satu kritik terbaru datang dari musisi Ari Lasso, yang menyoroti kesalahan pengiriman e-mail oleh LMK Wahana Musik Indoneisa (WAMI). Ia secara terbuka mendesak WAMI untuk melakukan klarifikasi, terutama terkait perhitungan royalti yang menurutnya tak pernah transparan.
Ari Lasso pun mengambil sikap lebih jauh, dengan menggratiskan royalti atas penggunaann lagunya oleh para musisi maupun kafe-kafe di Indonesia. Langkah itu menjadi kritik yang keras, karena dinyatakan sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap tata kelola royalti oleh LMKN dan LMK.
"Untuk semua teman pemain band, penyanyi wedding, event, cafe, saya membebaskan anda memutar dan memainkan lagu-lagu hit saya. Silakan. Percuma anda membayar tapi pengelolaannya kayak gini," seru Ari Lasso melalui unggahan Instagramnya baru-baru ini.
Baca juga: Ari Lasso Bebaskan Royalti Untuk Kafe Sebagai Kritik Pengelolaan Royalti
Kritik para musisi dan publik terhadap LMKN juga terkait dengan praktik penarikan royalti yang tak maksimal, dan terkadang mengundang polemik. Misalnya terkait kasus royalti Mie Gacoan sebelum ini, di mana LMK menggugat merek tersebut atas dugaan pelanggaran Hak Cipta karena mengabaikan kewajiban pembayaran royalti.
Meski kasus tersebut pada akhirnya selesai dengan damai, namun langkah LMK memberi dampak mengkhawatirkan bagi ekosistem musik nasional. Pasalnya, dari kasus Mie Gacoan, banyak pelaku usaha kafe dan restoran ragu bahkan takut untuk memutarkan lagu di area bisnis mereka.
Baca juga: Kasus Mie Gacoan, DJKI: Streaming Pribadi Tak Sah untuk Ruang Komersial
Semua itu berakar pada soal sosialiasi. Sebagaimana diakui komisioner LMKN, Makki, sosialisasi terkait hak cipta, kewajiban royalti dan lisensi lagu masih terbilang kurang. Ini pun menjadi salah satu fokus perhatian bagi Makki dan komisioner lain dalam rangka perbaikan tata kelola royalti oleh LMKN ke depannya.
"Mungkin sosialisasinya dan kepatuhan mengenai itunya (hak royalti) mungkin harus sedikit lebih ditingkatkan," ungkap Makki sebagaimana diberitakan Antara, Sabtu (9/8).