25 Juli 2025
18:01 WIB
Kasus Mie Gacoan, DJKI: Streaming Pribadi Tak Sah untuk Ruang Komersial
Memutar lagu dari layanan streaming pribadi seperti Spotify atau YouTube untuk diperdengarkan kepada pengunjung pada layanan publik bersifat komersial, wajib membayar royalti.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi kafe memutar musik. Dok: DJKI.
JAKARTA - Keributan royalti musik dan lagu baru-baru ini bergeser dari kalangan musisi ke dunia bisnis. PT Mitra Bali Sukses yang mengelola gerai-gerai Mie Gacoan di Bali kini menjadi tersangka pelanggaran hak cipta, diduga tak menjalankan kewajiban pemenuhan royalti atas penggunaan lagu di ruang komersial.
Pihak Mie Gacoan disebut tak membayar royalti selama beberapa tahun atas penggunaan lagu yang dilakukan melalui platform musik digital.
Terkait kasus itu, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum pun menegaskan perlunya kesadaran pelaku usaha terkait kewajiban royalti. Pemerintah menegaskan bahwa penggunaan musik di ruang publik seperti restoran, kafe, pusat kebugaran, hotel, dan pusat perbelanjaan wajib disertai dengan pembayaran royalti kepada pencipta lagu atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menuturkan bahwa masih banyak pelaku atau pemilik usaha yang keliru memahami batasan antara penggunaan pribadi dan penggunaan untuk komersial dalam pemutaran musik. Ia menekankan bahwa memutar lagu dari layanan streaming pribadi seperti Spotify atau YouTube untuk diperdengarkan kepada pengunjung pada layanan publik bersifat komersial, wajib membayar royalti.
Dia mengatakan, penggunaan dalam konteks begitu termasuk pelanggaran hak cipta jika tidak disertai dengan izin dan pembayaran royalti sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
"Musik yang diputar di restoran atau ruang publik lainnya adalah bentuk komunikasi pertunjukan kepada publik. Itu bukan konsumsi pribadi, dan karenanya wajib membayar royalti sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur," ungkap Agung dalam keterangannya, dikutip Jumat (25/7).
Agung menjelaskan, terdapat ketentuan tarif yang berlaku berdasarkan jenis usaha dan skema penggunaan. Sebagai contoh, restoran non-waralaba dengan 50 kursi dikenai tarif royalti sebesar Rp120 ribu per kursi per tahun, sehingga totalnya menjadi Rp6 juta per tahun. Untuk tempat usaha yang dihitung berdasarkan luas area, tarif yang digunakan adalah sekitar Rp720 per meter persegi per bulan.
Agung pun menghimbau para pelaku usaha untuk segera mendaftarkan dirinya sebagai pengguna musik resmi melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional. Kepatuhan terhadap peraturan ini bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap hak-hak para pencipta lagu atau pemilik hak terkait,” tambah Agung.
Baca juga: Kemenkum Tegaskan Izin dan Royalti Lagu Satu Pintu Lewat LMK
DJKI juga menekankan pentingnya bagi pelaku atau pemilik usaha untuk memahami secara utuh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 sebagai aturan turunan. Untuk memastikan keberlanjutan industri musik, pemerintah juga memberikan keringanan pembayaran royalti musik/lagu bagi pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) sesuai peraturan perundang-undangan, dengan permohonan keringanan dapat diajukan melalui LMKN.
Pelanggaran atas hak cipta dapat merugikan pencipta dan menghambat pertumbuhan ekosistem kreatif nasional. Pemilik usaha yang melanggar dapat dikenai sanksi administratif maupun gugatan atau tuntutan hukum dari pencipta atau pemilik hak terkait.