14 Januari 2023
13:37 WIB
Penulis: Mahareta Iqbal
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA - Apakah Anda termasuk orang yang menganggap klenteng dan vihara adalah sama? Memang, kesukaran awam dalam membedakan antara klenteng dengan vihara sering kali terjadi.
Meski keduanya merupakan bangunan religi dari etnis Tionghoa, tapi sesungguhnya memiliki perbedaan. Vihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan dengan kuil. Sedangkan klenteng, adalah rumah ibadah penganut Taoisme maupun Konfusianisme (Khonghucu).
Tetapi di Indonesia, karena orang yang ke tempat-tempat ibadah tersebut umumnya etnis Tionghoa, maka menjadi sesuatu yang sulit untuk dibedakan.
Dilansir dari berbagai sumber, hal demikian umumnya terjadi karena sinkretisme. Sinkretisme merupakan suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama, contohnya sinkretisme antara Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme.
Banyak awam yang tidak mengerti perbedaan dari klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berlainan dalam arsitektur, umat dan fungsi.
Pengurus Vihara mendandani Rupang setelah dimandikan di Klenteng Hok Lay Kiong, Kota Bekasi. Antara foto/ParamayudaArsitektur dan Fungsi
Klenteng lazimnya berarsitektur tradisional Tionghoa dengan ornamen naga, lampion, simetris dan berwarna merah yang bermakna memperluas kemakmuran dan kebahagian. Klenteng juga berfungsi sebagai tempat sosial masyarakat selain fungsi spiritual.
Sedangkan vihara berarsitektur lokal dan biasanya semata sebagai fungsi spiritual saja. Umumnya, vihara berbentuk seperti bangunan biasa aja, malahan, ada yang bentuknya seperti rumah tingkat atau gedung besar seperti Wihara Mahavira Graha di Ancol dengan patung besar di atas gedungnya ( di lantai 5).
Namun, juga ada vihara yang mempunyai arsitektur tradisional Tionghoa, seperti pada Vihara Buddhis arus Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.
Vihara umumnya tidak memiliki banyak patung. Biasanya hanya ada patung Buddha atau patung Kwan Yin. Sementara, klenteng memiliki banyak patung-patung dewa-dewi dan lilin-lilin besar.
Baca juga: Menyingkap Ragam Kisah Klenteng-Klenteng Tertua di Indonesia
Secara prosesi keagamaan, di vihara biasanya umat beribadah dengan berjemaat, beramai-ramai dan ada jam-jam ibadahnya. Sedangkan klenteng, umat bisa beribadah sendiri-sendiri, bisa pasang dupa sendiri dan umumnya ibadahnya ada flow: dari satu dewa ke dewa lain yang ada di altar yang beda-beda.
Jika ditarik kesimpulan, vihara merupakan tempat ibadah agama Budha dengan bentuk yang lebih umum atau modern, dengan patung yang lebih sedikit dan beribadah secara berjamaat.
Sedangkan, klenteng merupakan tempat ibadah aliran Konghucu dengan berasitektur tradisional China dan didominasi oleh warna merah, serta ornamen-ornamen lainnya, seperti lilin, naga dan lampion. Di klenteng juga ada tempat pembakaran kertas, banyak patung dewa dewi dari ukuran kecil hingga besar, serta umat dapat beribadah secara individu.
Seorang warga keturunan Tionghoa bersembahyang di Klenteng Thian Hou Kiong atau Tempat Ibadah Tridharma (TITD) Tulus Harapan Kita, Kota Gorontalo. Antarafoto/Adiwinata Solihin'Salah Anggap' Klenteng dan Vihara
Pada zaman Orde Baru, sempat terjadi pelarangan atas budaya Tionghoa, termasuk di dalamnya keberadaan klenteng. Karena itu, banyak klenteng yang mengubah nama dan di-Indonesia-kan menjadi wihara.
Seperti halnya Klenteng Jin De Yuan di Petak Sembilan, salah satu klenteng tertua di Jakarta. Namanya kemudian diubah menjadi Wihara Dharma Bhakti.
Mungkin sejak saat itu, perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu. Termasuk juga pada pusaran peristiwa G30S pada tahun 1965.
Rembes peristiwa itu adalah pelarangan kebiasaan istiadat Tionghoa, termasuk keyakinan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru.
Baca juga: Jelajah Dan Jajan Pernak-Pernik Imlek Di Pecinan Glodok
Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi istilah dari bahasa Sansekerta ataupun bahasa Pali, mengubah nama sebagai vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam sulit membedakan antara klenteng dengan vihara.
Memasuki era Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai klenteng daripada vihara.
Itulah perbedaan antara klenteng dan vihara hingga sejarah terjadinya 'salah anggap' dalam menyebutkan klenteng adalah vihara, dan begitupun sebaliknya.
Sejatinya, mengetahui perbedaan yang ada antara klenteng dan vihara dapat menjadi 'titik temu' membicarakan ulang tentang nilai toleransi antar umat beragama, serta menilik kembali ruang aman 'minoritas' dalam memeluk dan menjalankan agama di negara multikultural ini.