22 September 2025
11:39 WIB
Cerita Matcha, Warisan Dinasti Song Yang Bangkit Kembali
Identik dengan Jepang, matcha atau matca sebenarnya berasal dari China, khususnya Provinsi Guizhou. Sejarah teh hijau tertaut jauh ke masa lalu, berkembang sejak Dinasti Song (960 - 1279 M).
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi matca, teh hijau dari China. Sumber foto: Freepik.
JAKARTA - Matcha atau matca kini tengah menjadi tren, baik sebagai minuman maupun olahan makanan. Saat mendengar kata matca, kebanyakan orang langsung teringat pada Jepang.
Negeri Sakura memang sejak lama identik dengan bubuk teh hijau berwarna zamrud ini yang hadir dalam upacara minum teh tradisional, es krim, kue, hingga berbagai minuman kekinian. Namun, siapa sangka, dalam beberapa tahun terakhir, bahan baku matca yang biasa dinikmati ternyata banyak berasal dari Tiongkok, tepatnya dari sebuah kota kecil di Provinsi Guizhou, wilayah barat daya China.
Melansir laman Our China Story, di Tongren berdiri pabrik matca terbesar di dunia yang beroperasi dalam satu lokasi. Dari sana, produk-produk matca diekspor ke lebih dari 40 negara dan wilayah.
Menariknya, mulai tahun ini ekspor dalam skala besar bahkan dilakukan ke Jepang, negeri yang selama ini identik dengan matca. Data Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang mencatat, ekspor teh hijau termasuk matcha pada 2024 mencapai 240 juta dolar AS, naik 25% dibanding tahun sebelumnya.
Permintaan yang melonjak ini sayangnya tidak diimbangi kemampuan produksi Jepang yang semakin terbatas. Penyebabnya beragam mulai dari varietas tanaman teh yang menua, kekurangan tenaga kerja, cuaca yang tidak menentu, hingga fluktuasi rantai pasok.
Semua faktor itu membuat kapasitas produksi matca Jepang mendekati titik jenuh. Sebaliknya, China justru melaju pesat.
Diperkirakan pada 2025, produksi matca China melampaui 5.000 ton, menempatkannya sebagai produsen nomor satu di dunia. Dari jumlah itu, seperempatnya berasal dari Guizhou.
Dalam hal volume ekspor, Guizhou bahkan menjadi nomor satu di China dan ketiga di dunia. Pusat produksinya berlokasi di Kabupaten Jiangkou, Kota Tongren, tepat di kaki Gunung Fanjing yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia UNESCO.
Daerah ini kini dikenal sebagai Ibu Kota Matcha China. Di sana berdiri sebuah pabrik super besar yang dijuluki 'world’s super matcha factory'.
Kapasitas produksinya mencapai 10 ton matca per hari dengan output tahunan lebih dari 4.000 ton. Produk Guizhou ini membanjiri pasar domestik dan bahkan diterima luas di pasar internasional.
Kualitas Matca Guizhou
Bukan hanya soal kuantitas, kualitas matca Guizhou juga diakui. Uji Kementerian Pertanian China menunjukkan, kandungan polifenol pada teh dari wilayah Tongren, Guizhou, mencapai 16,7% hingga 31,5%, sementara kadar asam amino 3,1% hingga 10,6%.
Angka ini jauh melampaui standar nasional dan menghasilkan rasio emas yang sempurna antara senyawa sehat dan cita rasa umami khas matca. Rahasianya terletak pada kondisi alam Guizhou.
Teh memang tumbuh optimal di daerah subtropis lembap dengan sinar matahari terbatas. Guizhou adalah satu-satunya wilayah di China yang memiliki tiga kombinasi istimewa sekaligus dari lintang rendah, ketinggian tinggi, dan intensitas cahaya matahari rendah.
Tongren, yang berada di kaki Gunung Fanjing, sisi timur Guizhou, menjadi zona emas ekologi untuk perkebunan teh. Selain itu, Guizhou juga dikenal sebagai daerah penghasil teh yang bersih dan aman.
Provinsi ini menjadi yang pertama di China melarang penggunaan pestisida dan herbisida larut air di kebun teh. Jumlah bahan kimia yang dilarang penggunaannya pun jauh lebih banyak dibanding ketentuan nasional.
Baca juga: Ini Yang Bakal Terjadi Pada Tubuh Ketika Minum Matcha Setiap Hari
Di luar matca, sudah sejak lama Guizhou sudah dikenal dengan teh berkualitas tinggi. Salah satu yang paling terkenal adalah Duyun Maojian, masuk dalam daftar 10 Teh Terbaik China.
Namun, industri teh di Guizhou maupun Tiongkok secara umum sejak lama menghadapi masalah klasik, yakni rendahnya proporsi pengolahan lanjutan. Akibatnya, teh lebih sering dijual dalam bentuk dasar tanpa nilai tambah yang signifikan.
Sebaliknya, matca hadir sebagai produk olahan bernilai tinggi dengan prospek jauh lebih cerah. Permintaan globalnya pun terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 10% setiap tahun.
Melihat peluang itu, sejak 2015 Guizhou mulai serius mengembangkan industri matca. Pada 2017, Jiangkou yang sebelumnya termasuk daerah miskin berhasil menarik investasi 600 juta yuan dari Guizhou Tea Group untuk membangun Taman Industri Teh Guizhou.
Setahun kemudian, pabrik matca tunggal terbesar di dunia pun berdiri, lengkap dengan teknologi canggih hasil kerja sama ahli Jepang dan lembaga riset internasional.
Baca juga: Intip Kandungan Kafein Dalam Matcha, Si Hijau Yang Sedang Naik Daun
Matcha: Jejak Pertanian Era Dinasti Song
Meski kini identik dengan Jepang, sejarah mencatat matca sebenarnya berasal dari China. Pada masa Dinasti Song (960–1279 M), bubuk teh yang disebut 'mocha' sangat populer. Cara penyajiannya mirip dengan matca sekarang, seperti teh ditumbuk halus lalu diseduh dengan air panas.
Namun, seiring perubahan selera masyarakat yang lebih menyukai seduhan daun teh, tradisi ini perlahan hilang di China. Justru lewat pertukaran budaya, metode itu dibawa ke Jepang dan berkembang pesat hingga menjadi bagian dari budaya mereka.
Kini, dengan kebangkitan industri matca modern di Guizhou, sejarah seakan berputar. China kembali ke panggung matcha dunia, tampil sebagai penghasil teh sekaligus penantang serius dominasi Jepang di pasar dunia.