JAKARTA - Industri mebel dan kerajinan RI berencana melakukan penetrasi ke pasar ekspor non tradisional seperti Timur Tengah. Rencana ini bentuk antisipasi Amerika Serikat yang kemungkinan menerapkan tarif impor tinggi untuk produk mebel RI.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengaku, industri dalam negeri harus mewaspadai manuver perang dagang AS pasca terpilihnya Presiden Donald Trump.
Sampai saat ini, Amerika Serikat memang belum terlihat menyasar negara selain China, Meksiko dan Kanada untuk diterapkan tarif impor tinggi. Namun, Sobur menuturkan, industri mebel RI perlu mengantisipasi dengan penetrasi pasar selain AS.
"Selama ini kita terlalu nyaman dengan (ekspor) pasar Amerika sebesar 53%, Eropa 35%, sisanya baru ke negara lain. Nah ini harus kita ubah," ujarnya kepada awak media di Indonesia International Furniture Expo (IFEX), Jiexpo, Jakarta, Kamis (6/3).
Baca Juga: Adidas Khawatir Manufaktur Produksi Di Indonesia Terdampak Kebijakan Tarif TrumpSobur menuturkan, Amerika Serikat selama ini merupakan pasar terbesar ekspor produk-produk mebel dan furnitur RI. Dia pun menargetkan untuk mengubah porsi perdagangan internasional tersebut.
Ketua HIMKI menyasar ekspor produk furnitur dan mebel
made in Indonesia ke pasar non tradisional menjadi sebesar 50%. Ini berarti pasar ekspor terbesar HIMKI nantinya bukan lagi ke AS.
Dia mengatakan, produsen mebel RI sedang melakukan penetrasi ke beberapa negara dan kota non tradisional. Mencakup Dubai, Abu Dhabi, Kuwait, Arab Saudi, dan Qatar. Sedangkan di Asia, menyasar pasar China dan India.
"
Emerging market-nya kalau bisa 50%, termasuk
Middle East karena banyak negara kaya ya seperti Dubai, Abu Dhabi, Kuwait, Arab Saudi yang lagi tumbuh, terus Qatar itu harus diserbu," tegas Sobur.
Hanya saja, Sobur mengakui, penetrasi mebel ke pasar non tradisional tidak mudah. Oleh karena itu, dia menilai, penting kehadiran pemerintah untuk ikut bermanuver melakukan penetrasi pasar.
Dia mencontohkan, pemerintah bisa meneken kerja sama bilateral melalui perjanjian perdagangan bebas atau
Free Trade Agreement (FTA) dengan negara tujuan ekspor.
Lebih lanjut, Ketua HIMKI mengaku was-was, AS akan menerapkan tarif impor lebih tinggi ke negara lain yang terdeteksi melakukan dumping sehingga dapat membuat neraca perdagangan AS makin defisit.
Dengan begitu, kondisi ini dapat menganggu upaya AS dalam stabilisasi neraca dagangnya yang ditempuh dengan kebijakan 'tarif agresif' saat ini.
"(Tapi) saya agak curiga sebetulnya (bisa dikenakan tarif tinggi) karena Indonesia ini enggak punya FTA (dengan AS) untuk ekspor, jadi itu rawan sebenarnya," imbuh Ketua HIMKI.
Baca Juga: CIPS: Indonesia Perlu Navigasi Ketidakpastian Kebijakan Dagang AS
Dalam konteks perdagangan internasional, dumping mengacu pada praktik penjualan barang di pasar ekspor dengan harga yang lebih rendah daripada harga normal barang tersebut di pasar domestik atau di pasar negara ketiga. Praktik ini sering dianggap sebagai bentuk persaingan tidak sehat karena dapat merugikan produsen domestik di negara pengimpor.
Sejauh ini, sambungnya, Indonesia masih mendapatkan fasilitas GSP (generalized system of preferences). GSP merupakan program yang diberikan AS kepada mitra dagang di negara berkembang atau negara miskin.
Dengan GSP, negara mitra dagang AS, seperti Indonesia, mendapatkan fasilitas bea masuk hingga pembebasan bea masuk untuk impor.
"Tetapi, kalau Amerika menyesal dengan Indonesia yang misalnya beraliansi dengan negara-negara yang dimaksud (perang dagang dengan AS), maka ada risiko atau potensi tarif (tinggi) juga diberikan ke Indonesia," ungkap Sobur.