26 Februari 2025
15:46 WIB
CIPS: Indonesia Perlu Navigasi Ketidakpastian Kebijakan Dagang AS
Indonesia perlu menavigasi hubungan ekonominya dengan AS yang dipimpin Donald Trump. Sebagai mitra dagang utama, kebijakan ekonomi AS berdampak terhadap ekonomi RI.
Editor: Khairul Kahfi
Presiden ke-45 Amerika Serikat Donald J Trump. Instagram/@realdonaldtrump
JAKARTA - Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menekankan, menavigasi hubungan ekonomi Indonesia dengan Amerika Serikat yang sedang berada di kepemimpinan Donald Trump sangat penting. AS merupakan salah satu mitra dagang utama dan kebijakan ekonominya berdampak terhadap ekonomi Indonesia.
Kebijakan AS yang penuh dengan ketidakpastian dan transaksional mengancam hubungan perdagangan Indonesia dengan negara yang memang menjadi salah satu tujuan ekspor terbesar ini.
“Pemerintahan awal Presiden Donald Trump menggoyang status quo, tidak hanya secara ekonomi tapi juga perpolitikan internasional. Kebijakan publik di AS penuh ketidakpastian. Yang jelas, Amerika Serikat menjadi semakin transaksional,” jelasnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (26/2).
Krisna menambahkan, kebijakan Donald Trump yang berencana menerapkan tarif pada komoditas-komoditas yang memasuki pasar AS terancam berdampak kepada Indonesia. Donald Trump juga akan memulai dengan mengancam penerapan tarif untuk kemudian dinegosiasikan oleh negara yang diancam.
Baca Juga: Negara Lain Kena Kebijakan Tarif Impor AS, Mendag Lihat Peluang Tingkatkan Ekspor
Negeri Paman Sam, sebagai negara defisit perdagangan terbesar dunia, akan sulit tergantikan sebagai pasar. Pengalaman di perang dagang sebelumnya menunjukkan, kebijakan tarif AS berhasil menurunkan defisitnya dengan China.
Namun, hal ini diikuti dengan adanya kenaikan defisit dagang dengan Vietnam dan Meksiko.
Selain itu, Donald Trump merupakan sosok yang tampak mengedepankan kebijakan transaksional. Hal ini terbukti dari penundaan penerapan tarif untuk Kanada dan Meksiko, setelah pemimpin kedua negara tersebut datang dan bernegosiasi.
"Artinya, Donald Trump akan responsif dengan tawaran dari tiap negara dan konsesi yang diberikan negara tersebut untuk mendapatkan akses pasar dari Amerika Serikat," lanjutnya.
Sebagai pengingat, kebijakan Donald Trump pada periode pertamanya sebagai presiden cukup agresif dan mengancam terjadinya perang dagang. Tidak hanya dengan China, tapi juga dengan negara lain. Bahkan negara yang memiliki perjanjian perdagangan dengan AS.
Tarif resiprokal yang diumumkan oleh Donald Trump, jika benar terjadi, akan sangat disruptif terhadap pola perdagangan internasional dan integritas hukum internasional seperti GATT. Ditambah dengan ancamannya terhadap negara anggota BRICS+, berpotensi berdampak negatif bagi Indonesia yang baru bergabung dengan BRICS+.
Baca Juga: Tarif Impor Tinggi Trump Untuk Kanada, Meksiko dan China Berlaku Mulai Besok
Karena itu, menurutnya, penting bagi pemerintah Indonesia untuk siap berdiskusi dengan pemerintah Amerika Serikat yang dipimpin Donald Trump yang dikenal dengan kebijakan transaksional.
"(Penting) mencari tau apa yang diinginkan oleh kabinet Donald Trump. Saat ini, Indonesia sepertinya belum masuk radar Donald Trump dibanding negara lain. Tapi jika itu terjadi, Indonesia harus sudah siap melakukan negosiasi dengan Amerikat Serikat,” jelasnya.
Cegah Tarif Dagang AS Buat Indonesia
Untuk itu, Krisna menekankan, Indonesia perlu mencegah tarif AS untuk barang ekspor Indonesia naik lebih tinggi daripada negara lain.
Jika berhasil, Indonesia akan memiliki pasar ekspor yang kuat untuk produksi manufaktur, mendiversifikasi ekspor Indonesia yang utamanya ke Asia Timur yang didominasi produk hulu. Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat didominasi barang manufaktur hilir.
“Namun bisa jadi hal ini berarti Indonesia harus bersiap untuk mengakomodasi keinginan pemerintah Amerika Serikat. Kemampuan negosiator-negosiator Indonesia dalam bertukar konsesi dengan pemerintah negara sebesar Amerika Serikat akan sangat diuji,” ungkapnya.
Dia menggarisbawahi, menilai untung-rugi untuk kebijakan tarif dagang Indonesia-AS bukan hanya keputusan ekonomi, tapi juga politik. Oleh karena itu, setiap posisi dalam negosiasi harus didiskusikan dengan semua pihak sebelum keputusan diambil.
Baca Juga: Komisi Uni Eropa Pasang Ancang-ancang Ladeni Kebijakan Tarif Dagang Trump
Di samping itu, muncul pertanyaan apakah Indonesia harus bernegosiasi sendiri atau melibatkan forum negara yang lebih besar, seperti ASEAN. ASEAN+ merupakan salah satu framework yang baik untuk mempererat hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN.
"Bahkan jika diperlukan, ide tentang trade bloc (blok perdagangan) bisa dipertimbangkan kembali. Hal terpenting adalah peran kepemimpinan Indonesia sebagai ekonomi terbesar di ASEAN akan semakin diperlukan," ucapnya.
Karenanya, memperkuat kerja sama kawasan dan melakukan diversifikasi ekonomi menjadi tak terhindarkan. Untuk itu, sangat perlu ada diversifikasi investasi asing.
“Diversifikasi investasi asing konsentrasi secara umum memang lebih baik karena menunjukkan adanya kompetisi dan menonjolkan kemungkinan bahwa sistem birokrasi investasi Indonesia memang dapat dimanfaatkan semua negara dengan setara,” tegasnya.