03 Juli 2025
10:35 WIB
Waspada! Mendag Sebut Perang Dagang Juga Libatkan Isu Nontarif
Mendag menekankan situasi perang dagang tak melulu soal kebijakan tarif yang ketat. Kebijakan nontarif juga bisa jadi hambatan dagang yang juga tidak mudah diatasi.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
JAKARTA - Menteri Perdagangan Budi Santoso menekankan, perang dagang sejatinya bisa terjadi setiap saat dan tidak selalu berkaitan dengan kebijakan tarif yang ketat. Dirinya bahkan menyebut, lebih banyak negara kerap melakukan hambatan dagang nontarif yang lebih sulit untuk diatasi.
“Menurut saya perang dagang itu tidak hanya tarif, tapi nontarif itu kadang-kadang juga lebih ribet,” jelasnya dalam Seminar Nasional Indef di Jakarta, Rabu (2/7).
Baca Juga: Mendag Pastikan Kesepakatan Tarif Dagang RI-AS Belum Tercapai!
Spesifik, hambatan nontarif (Non-Tariff Barrier/NTB) yang dimaksud oleh Mendag merupakan segala bentuk pembatasan perdagangan selain tarif atau pajak impor. Praktiknya sendiri dapat berupa kuota, lisensi, standar kualitas, persyaratan teknis, embargo, dan subsidi.
Uni Eropa menjadi salah satu negara yang dikenal memiliki aturan nontarif cukup kompleks. Negara-negara di kawasan ini memiliki aturan ketat terhadap standar lingkungan dan produk, untuk melindungi berbagai sektor industri di negaranya.
China dan India juga disebut memiliki banyak kebijakan nontarif untuk melindungi industri dalam negeri di bidang teknologi, manufaktur, dan pertanian.
“Lebih banyak negara-negara yang mengenakan non-tariff barrier yang justru sebenarnya kadang-kadang juga tidak mudah untuk diatasi,” tambah Mendag.
Baca Juga: Trump Tak Berencana Perpanjang Penundaan Tarif
Lebih lanjut, Mendag juga mengatakan, sistem perdagangan negara-negara Uni Eropa dengan Asia (Eurasia) kini mengacu pada rezim tarif. Meski jika dilihat dari segi nontarif, dirinya memastikan, Indonesia tidak memiliki kendala berarti dengan Uni Ekonomi Eurasia (EA-EU).

Strategi Hadapi Perang Dagang
Dalam kesempatan sama, Mendag menuturkan pemerintah telah merumuskan strategi menghadapi perang dagang dengan dua cara utama, yakni memperluas pasar di luar negeri dan mengembangkan pasar di dalam negeri.
Meski tetap mengutamakan pasar Amerika Serikat yang sudah bagus dan sedang dipertahankan dengan proses negosiasi yang terus berjalan, Mendag menyebutkan, saat ini pemerintah juga sedang berupaya melakukan pengalihan dengan menjajaki peluang serta pasar baru dengan negara mitra lain.
Baca Juga: Imbas Perang Dagang, Kemenperin Soroti Potensi Lonjakan Impor Baja-TPT
Potensi mitra pertama adalah Indonesia-EU CEPA yang pada 2024 lalu mencatatkan surplus US$4,4 miliar. Selain itu, ada pula kerja sama Indonesia-Kanada, yang sedang memasuki proses ratifikasi dengan harapan dapat selesai dengan cepat.
“Tahun ini rencana kita tandatangani (Indonesia-Kanada CEPA), Kemudian EAEU-FTA sudah diumumkan kemarin oleh Pak Presiden di Rusia. Kemudian Peru-Jepang, Tunisia juga sudah selesai tinggal tanda tangan, kita mencari waktu yang tepat karena kesibukan masing-masing sehingga belum bisa bertemu. Pasar-pasar yang kita harap ini menjadi pasar alternatif,” beber Mendag Budi.
Sementara untuk pasar dalam negeri, Mendag menekankan, pentingnya mengutamakan produk lokal di tengah semakin banyaknya juga produk impor yang masuk, untuk meningkatkan daya saing dan mendorong agar pasar domestik dapat meningkat.
“Banyak produk impor kan yang masuk, kalau itu bisa diisi oleh produk-produk kita, industri dalam negeri tentu akan menjadi lebih bagus. Jadi pasar kita besar, jangan juga dilupakan,” jelasnya.