JAKARTA - Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira melihat, saat ini Usaha Skala Mikro, Kecil dan Menengah atau UMKM sedang dalam
survival mode alias berjuang bertahan hidup. UMKM di tanah air masih menghadapi berbagai tantangan utama.
Tantangan tersebut, mulai dari keterbatasan lapangan kerja formal, kekhawatiran dibebani pajak yang makin tinggi, hingga kesenjangan (
gap) keterampilan.
"Sampai hari ini, UMKM hadapi beberapa tantangan utama," ujarnya kepada
Validnews, Jakarta, Sabtu (29/11).
Bhima memetakan, sedikitnya ada empat masalah utama yang membayangi pelaku UMKM dalam negeri. Pertama, sebagian besar pelaku usaha UMKM, khususnya skala mikro dan ultra-mikro dalam kondisi
survival mode.
Baca Juga: MenKopUKM: Daya Beli Masyarakat Anjlok, Omzet UMKM Ikut TurunDia menjelaskan, para pelaku usaha tersebut terpaksa membuka usaha karena keterbatasan kesempatan kerja formal. Contohnya, korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) banyak yang terpaksa buka warung makan karena belum dipanggil kerja di tempat lain. Nahasnya, konsumen warung makan sedang cekak.
"Pelemahan daya beli masyarakat membuat UMKM yang berada di level
survival mode makin tertekan. Belum ditambah masyarakat yang makin berhemat mengurangi belanja karena kekhawatiran kenaikan PPN 12%, sampai subsidi BBM berkurang dan iuran BPJS kesehatan naik," jabar Bhima.
Kedua, literasi digital dan pemanfaatan teknologi tepat guna yang masih rendah dilakukan UMKM. Bhima mencontohkan, banyak pelaku usaha yang melakukan pembukuan laporan keuangan, promosi dan pemasaran produk, serta pembayaran pakai cara tradisional, belum digital.
Ketiga,
gap keahlian yang terlalu jomplang, khususnya buat UMKM yang dikelola oleh keluarga. "Ini problem klasik di mana
training maupun kesempatan berkembang SDM yang terbatas," ucapnya.
Keempat, UMKM lokal masih berorientasi pasar domestik. Padahal, meski tingkat konsumsi masyarakat domestik cukup besar, sebaiknya potensi UMKM untuk ekspor perlu terus didorong.
Celios mengidentifikasi, kontribusi UMKM pada total ekspor nasional hanya sebesar 15,7%. Capaian ini pun lebih rendah dari UMKM negara ASEAN lain seperti Thailand dan Malaysia.
Untuk itu, ekonom menyarankan beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah maupun swasta untuk mendukung penguatan UMKM. Di antaranya, perbankan bisa membantu memberikan pendampingan, pelatihan bagi pemilik usaha, dan pekerja UMKM.
Kemudian, memberikan fasilitas kredit tambahan dan fasilitasi UMKM agar bisa masuk dalam rantai pasok industri skala besar. Selain itu, menajamkan potensi ekspor produk-produk UMKM.
"Jadi, memberikan KUR saja tidak cukup, harus didampingi berkala. Bank juga bisa terus dukung informasi
business intelligences seperti peluang produk ekspor potensial, hingga menyelenggarakan expo produk UMKM di tingkat internasional," sebutnya.
Baca Juga: UMKM dan Digitalisasi (Tak) SejatiTerpisah, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengingatkan, UMKM turut menjadi penggerak roda ekonomi RI. Karena itu, pemerintah perlu mendorong UMKM agar bisa naik kelas, bukan justru malah semakin anjlok.
Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid mengatakan, kondisi UMKM saat ini cukup memprihatinkan karena beberapa usaha skala menengah yang turun kelas jadi usaha kecil. Sayangnya, dia belum bisa menyebutkan seberapa banyak usaha yang dimaksud menjadi guram.
"Kita bicara UMKM, nah M-nya itu kan menengah. Fakta yang ada memang, sangat sedih, banyak yang menengah turun (kelas usaha), tidak menjadi menengah lagi, tapi sudah jadi agak kecil," ujar Arsjad dalam Konpers Rapimnas Kadin 2024, Jumat (29/11).
Menurut Arsjad, kondisi suram UMKM itu menjadi tugas besar yang perlu ditangani bersama, baik pemerintah maupun dunia usaha. Tidak hanya memberikan dukungan untuk membuat usaha berdaya tahan, melainkan turut mendorong agar UMKM naik kelas.
"Nah ini yang menjadi PR bersama terutama bagaimana memastikan lebih banyak lagi kita mendorong ke atas," kata Ketum Kadin.