c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

31 Agustus 2024

17:50 WIB

UMKM dan Digitalisasi (Tak) Sejati

Digitalisasi UMKM kebanyakan hanya diartikan sebagai upaya menjangkau pasar yang lebih besar, tanpa arah dan strategi yang jelas. Pemerintah pun baru sekadar mengejar angka tanpa makna.

Penulis: Gemma Fitri Purbaya

Editor: Rendi Widodo

<p id="isPasted">UMKM dan Digitalisasi (Tak) Sejati</p>
<p id="isPasted">UMKM dan Digitalisasi (Tak) Sejati</p>

Pengunjung mengamati aneka produk di salah satu stan pada acara Semasa Piknik di Lapangan Banteng, Jakarta, Jumat (31/5/2024). Antara Foto/ Rivan Awal Lingga

JAKARTA - Peranan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) buat perekonomian nasional, jelas tak bisa dipandang remeh. Pada 2023 saja, kontribusi UMKM, bisa mencapai 61% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia atau setara Rp9.580 triliun, dengan jumlah pelaku aktif yang mencapai 66 juta.

Namun, sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita mengategorikan dengan tepat, apa yang dimaksud UMKM di sini. Bukan apa-apa, sejauh ini, masih banyak masyarakat yang tak bisa mengategorisasi UMKM, bahkan usaha menengah

Merujuk definisi Kamar Industri Dagang (KADIN), UMKM sendiri dikategorikan berdasarkan besarnya modal usaha saat pendirian. Jika modal usahanya mencapai maksimal satu miliar rupiah, masuk ke dalam kelas usaha Mikro.

Jika modal usaha didirikan dengan dana lebih dari satu miliar rupiah sampai dengan lima miliar rupiah, masuk dalam kelas usaha kecil. Sementara itu, modal usaha lebih dari lima miliar sampai dengan 10 miliar rupiah masuk ke dalam kelas usaha Menengah.

Nah jika melirik pada besarnya kontribusi UMKM, sudah tepat rasanya pemerintah menjaga ekosistem yang sehat, agar UMKM bisa terus berkembang dan berkontribusi lebih besar lagi buat perekonomian nasional.

Pemerintah pun akhirnya bercita-cita mulia untuk mendorong pengembangan UMKM lewat skema digitalisasi. Pada 2022, Presiden Jokowi pun memimpin perjalanan cita-cita ini, dengan menargetkan setidaknya ada 30 juta unit UMKM bisa sepenuhnya masuk ke dalam ekosistem digital pada 2024.

Pemerintah saat itu percaya, dengan digitalisasi, UMKM bisa lebih luas menjangkau pasar dan beroperasi lebih efisien. Masuk akal jika melihat perkembangan e-commerce dan tren belanja online beberapa tahun belakangan ini.  

Data teranyar menyebut ada 25,2 juta UMKM telah masuk ke ekosistem digital ini hingga akhir tahun 2023. Artinya, masih ada kurang dari lima juta unit UMKM lagi yang perlu melakukan digitalisasi agar 30 juta UMKM sesuai terget pemerintah bisa tercapai.

Terlepas dari masih melesetnya target, sejatinya ada hal lebih besar yang patut untuk dipertanyakan, yakni seberapa penting melakukan digitalisasi UMKM?

Analis Pemberdayaan UMKM The Reform Initiatives Dwinda Rahman pun berusaha menjawab ini. Menurutnya, potensi ekonomi digital sangat besar, bahkan terus bertumbuh sehingga perlu dioptimalkan. Dia menyebutkan digitalisasi sudah terbukti membuat UMKM mampu bertahan dan tumbuh pada masa pandemi, di mana keadaan kala itu sangat sulit untuk semua jenis usaha.

"Beberapa riset, dari LPEM FEB UI dan Tokopedia di 2022 menunjukkan 7 dari 10 pelaku usaha mengalami peningkatan volume penjualan. Pertumbuhan nilai transaksi produk kesehatan mencapai 154%, makanan dan minuman 106%, dan elektronik hingga 24%. Laporan World Bank (Bank Dunia) juga mengungkapkan 80% UMKM yang terhubung ke dalam ekosistem digital memiliki daya tahan yang lebih baik," kata Dwinda saat dihubungi, Rabu (28/8).

UMKM yang memanfaatkan digitalisasi pun bisa mendapatkan banyak keuntungan. Mulai dari meningkatkan kapasitas produksi, pemasaran, pembiayaan, hingga pembayaran.

Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) juga memaparkan beberapa keuntungan dari UMKM yang melakukan digitalisasi. Seperti peningkatan akses pasar yang lebih luas, peningkatan akses pembiayaan, peningkatan daya saing UMKM, sampai peningkatan efisiensi produksi dan proses bisnis.

Hal serupa pun diamini oleh Data Strategist Patria & Co. Dr. Harry Patria. "Digitalisasi bisa membantu untuk keuntungan bisnis mereka (pelaku UMKM), berapa anggaran yang dibutuhkan, apa material atau produk yang harus dibeli. Data tersebut juga dapat mengetahui tren pergeseran yang dibeli masyarakat pada produk tertentu, berapa persen pengaruhnya, dan lainnya, jadi sangat membantu," ucap Harry via telepon, Kamis (29/8).

Lalu, apakah realita di lapangan seperti itu?

Digitalisasi di mata UMKM
Pempek Cek Lin, mungkin menjadi salah satu pelaku UMKM yang sudah mencoba melakukan digitalisasi. UMKM yang didirikan pada  2006 itu ingin bisa relevan dengan kondisi saat ini, di mana hampir semua toko, mulai beralih ke online.

Tidak hanya menyediakan produk secara online, sang pemilik usaha, Ika (29) juga bercerita memanfaatkan dunia digital untuk mempromosikan produknya agar lebih dikenal oleh masyarakat. Terlebih, mereka baru pindah usaha dari Bekasi ke Bandung, sehingga butuh banyak medium untuk memperkenalkan Pempek Cek Lin.

"Alhamdulillah responsnya baik sih, kami juga menyediakan produk di GoFood dan GrabFood untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Selama di Bandung, kami pernah dapat kesempatan untuk promosi melalui food reviewer gitu di media sosial TikTok," ungkap Ika, Jumat (30/8).

Sejak menjalankan bisnis secara digital, Ika mengaku mendapatkan banyak manfaat. Mulai dari segi omzet yang mengalami kenaikan, produk yang dijual lebih banyak menjangkau masyarakat, aneka pilihan pengiriman, sampai branding produk yang lebih baik karena lebih dikenal oleh para pengguna media sosial, seperti Instagram dan Facebook.

Menariknya, semua pembayaran dan pembukuan pun dilakukan secara digital, meskipun data yang diperoleh belum benar-benar diolah secara optimal. Sayangnya, tak semua merasakan hal yang sama

Dini (31), generasi kedua yang mengelola Warung Pendi mengatakan, keluarganya menghadapi banyak kendala ketika ingin mencoba platform digital.

"Kalau toko kelontong gini, kan, banyak banget ya produk yang dijual dan itu sangat sulit untuk diinput secara digital karena memakan waktu yang banyak. Sementara kami, generasi kedua memiliki banyak aktivitas lain di luar warung, jadi tidak bisa mengurusnya, sedangkan orang tua sendiri yang berkutat sehari-hari di warung, tidak mengerti caranya. Sehingga ya sulit untuk beralih ke digital," ungkap Dini, Kamis (29/8).

Jika memberdayakan orang lain untuk melakukan itu, Dini masih ragu dan belum begitu percaya. Beberapa kali tokonya pernah mengalami kerugian, karena merekrut tenaga kerja dari luar. Karena itu, dia masih menimbang-nimbang untuk terjun ke digital.

Akibatnya, segala praktik berbisnis yang dilakukan di warungnya masih konvensional atau sebatas menggunakan buku catatan. Pengeluaran barang masuk dan keluar belum terekam dengan baik, begitupun cashflow warung.

“Ada keinginan (digitalisasi), tetapi ya itu kendalanya masih banyak. Kami juga ingin memiliki pencatatan yang pantas, mengetahui produk yang dijual untung atau rugi, karena selama ini kan yaudah gitu aja jualannya,” kata Dini.

Tantangan digitalisasi UMKM
Kendala yang dirasakan UMKM sepert Dini bukan sebatas hal-hal di atas. Masih banyak variasi tantangan lain yang dirasakan oleh UMKM untuk melakukan digitalisasi. Misalnya saja, hambatan yang paling kerap ditemui adalah soal literasi digital yang masih rendah dan kapasitas produksi yang masih kecil atau konsistensi dalam berproduksi.

Hal tersebut diamini oleh Harry Patria. Dia mengatakan, predikat digitalisasi UMKM yang melekat di Indonesia masih seremeh memanfaatkan platform untuk marketing atau pemasaran, tanpa menganalisis atau mengolah data digital yang diperoleh tersebut. Tentunya ini sangat disayangkan karena berpengaruh terhadap banyak hal.

"UMKM kita kebanyakan hanya menunggu pesanan, jadi marketing sebanyak-banyaknya. Padahal sebenarnya kalau sudah ada data konsumennya kita bisa tahu siapa saja yang butuh produk kita, termasuk dalam menentukan harga yang sesuai seperti kondisi sekarang di mana ekonomi stagnan dan dan daya beli masyarakat menurun. Sekarang kan UMKM hanya lihat kompetitor aja, masih konvensional, dan parahnya hanya mengandalkan insting," papar Harry.

Dia menjelaskan, digitalisasi sebenarnya juga dapat membantu UMKM untuk memberikan personalisasi layanan pada konsumen. Termasuk dapat meminimalkan terjadinya kelebihan ataupun kekurangan suplai, melalui analisis preferensi konsumen.

Satu hal yang patut dicatat, berbeda dengan perusahaan besar, untuk skala bisnis UMKM, dana yang keluar berapapun jumlahnya sangat berharga dalam perkembangan bisnis. Singkatnya, alih-alih hanya bermodal jiwa marketing yang menggebu dalam menawarkan barang, sejulah strategi pun harus diterapkan. Hal inilah yang membuat UMKM di negara lain, bisa tumbuh optimal.

"Di Inggris, yang saya lihat banyak UMKM-nya sudah banyak yang transisi ke perusahaan medium karena mereka menggunakan digitalisasi dengan baik. Sementara di sini ya UMKM gitu-gitu aja karena masih dikelola secara konvensional. Padahal yang diharapkan adalah UMKM bisa berkembang ke level perusahaan medium atau bahkan besar melalui inovasi digitalisasi," jelas Harry.

Peran Pemerintah
Pemerintah harus diakui, memang tidak tutup mata mengenai hal ini. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki beberapa program untuk mendorong digitalisasi UMKM, seperti bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memastikan UMKM bisa menjadi vendor pengadaan di Indonesia. 

LKPP pun bekerja sama dengan platform e-commerce untuk memberikan edukasi digital dan menyediakan tempat bagi UMKM di dalam platform, mengoptimalkan peran agregator dan reseller, serta melakukan perluasan pasar.

Namun, sinergitas berbagai program itu masih perlu dioptimalkan, terlebh ada target bisa mengajak 30 juta UMKM masuk plaform digital.

"Digitalisasi UMKM harus menjadi agenda kolektif melalui edukasi dan inkubasi bagi UMKM agar terhubung dengan ekosistem digital. Untuk itu, diharapkan UMKM segera bertransformasi ke digital, agar usahanya dapat berkelanjutan. Pemerintah juga perlu lebih aktif mendampingi dan memfasilitasi UMKM agar mampu bertransformasi digital dengan baik," ucap Dwinda.

Di sisi lain, Harry berharap pemerintah dan UMKM dapat mengoptimalkan data yang dimiliki, untuk meningkatkan bisnis mereka dan efisiensi ke depannya. Kehadiran platform seperti e-commerce memang bisa membantu digitalisasi UMKM, tetapi nyatanya, banyak UMKM sendiri tak pernah bertransformasi memiliki digital mindset.

Para pelaku UMKM banyak yang baru sebatas menunggu pesanan, tanpa mau menganalisis data transaksi dan semacamnya.

"Digitalisasi memang penting, tetapi pemerintah harus benar-benar punya aturan main karena UMKM kita memiliki kesiapan yang rendah. Pemerintah harus mendampingi UMKM untuk membangun keseimbangan, sehingga UMKM tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi bisa mengolah data digital. Kebanyakan yang terjadi adalah, mereka tidak memahami analisis, sehingga bisnis tidak optimal," kata Harry.

Jadi, niat baik untuk mendorong UMKM nyemplung ke samudera online agar bisa memperluas akses pasar saja tidaklah cukup. Butuh kemampuan untuk menavigasi arah kapal, hingga memitigasi ancaman dari gelombang, cuaca buruk, ancaman perompakan, hingga persiapan safety dan sekoci.

Singkatnya, butuh sistem yang mumpuni untuk menjaga mereka yang sudah mulai berlayar agar tak tersesat atau bahkan hilang, tenggelam tanpa ada bantuan. Lebih baik, terus saja ada dalam daftar on board, seperti yang kerap dibanggakan pemerintah, daripada nekat berlayar tapi hilang arah.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar