23 Desember 2023
15:12 WIB
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Ekonom Senior dan eks Menteri Keuangan Chatib Basri mengingatkan pemerintah perlu memperhatikan kelompok masyarakat kelas menengah karena pola konsumsinya berubah dan mulai tertekan.
Chatib menjelaskan berdasarkan Mandiri Spending Index (MSI), pola konsumsi mulai defensif. Masyarakat kelas menengah justru membelanjakan uangnya untuk memenuhi kebutuhan primer seperti konsumsi makanan, dibandingkan kebutuhan sekunder dan tersier.
"Itu ciri ekonomi yang mulai melambat, kalau dia (kelas menengah) mengurangi permintaan terhadap secondary dan tertiary goods, jadi porsi terbesar konsumsinya adalah makanan," ujarnya dalam Seminar Nasional di St. Regis, Jakarta, Jumat (23/12).
Chatib juga menyampaikan ada fenomena menarik, masyarakat kelas menengah dengan gaji Rp5 juta masih kuat melakukan belanja atau spending. Namun, tabungan alias savings justru seret karena konsumsi tetap tinggi.
Apabila konsumsi tinggi tapi tabungan menurun, Ekonom Senior mempertanyakan biayanya dari mana. Dia menilai kemungkinan masyarakat kelas menengah ke depannya akan melakukan dissaving atau belanja yang melebihi penghasilan dengan sumber pembiayaan atau tabungan.
Selain itu, lanjut Chatib, Masyarakat bisa memilih penghematan.
"Artinya mungkin konsumsi akan mulai melambat dan ini sejalan dengan data baru Mandiri Spending Index yang menunjukkan pattern konsumsi mulai defensif, di mana porsi terbesar itu orang konsumsi makanan," kata Chatib.
Baca Juga: Wamenkeu: Konsumsi Masyarakat Kunci Ekonomi 2024 Tumbuh 5,2%
Oleh karena itu, dia mewanti-wanti pemerintah agar memperhatikan masyarakat kelas menengah. Saat ini, bantuan pemerintah berupa cash transfer seperti bantuan langsung tunai (BLT) masih mempan untuk mempertahankan konsumsi.
Namun ke depannya, kira-kira 10 tahun lagi, Chatib menilai orang-orang kelas menengah atau middle class tidak bisa hanya disokong bantuan uang tunai. Ada aspek yang lebih penting yang perlu ditanamkan pada sumber daya manusianya (SDM).
"Semakin besar (populasi) middle class kita dalam 10-15 tahun ke depan, perlu dipikirkan instrumennya apa, tidak bisa lagi dengan cash transfer. Mereka butuh kualitas pendidikan yang lebih baik, profesi, public goods, hingga sarana transportasi yang lebih baik," imbaunya.
Menurut Chatib, persoalan middle class akan menjadi isu politik ekonomi di masa mendatang. Ekonom Senior itu bahkan tidak heran jika satu dekade kemudian, presiden yang terpilih justru yang mampu menyelesaikan masalah yang saat ini disepelekan.
"Saya enggak akan kaget kalau 10-15 tahun lagi orang terpilih jadi presiden kalau dia bisa menyelesaikan masalah sampah, parkir, fasilitas umum, karena urbanisasi yang terjadi," tutur eks Menkeu RI.
Baca Juga: Resep Sri Mulyani Untuk 2024: Inflasi dan Harga Pangan Harus Turun
Belajar dari Kesalahan Ekonomi Chile
Chatib menambahkan pemerintah Indonesia bisa belajar dari kasus di Chile yang disebut Chilean Paradox. Pemerintah Chile mengabaikan dan tidak memfasilitasi kepentingan masyarakat kelas menengah.
"Soal middle class, saya kira ini isu sangat besar," kata Chatib.
Pemerintah Chile terlalu fokus menyusun kebijakan untuk masyarakat kelompok terbawah. Saat itu, Chile berhasil menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Angka kemiskinan pun turun dari 53% menjadi 6%. Menurut Chatib, dalam hal ini Chile lebih baik dari Indonesia.
Namun, dengan semua capaian tersebut, ternyata pada Oktober 2019 terjadi pergolakan sosial atau kekacauan sipil (social unrest) di Chile dan nyaris menimbulkan revolusi.
"Ternyata pemerintah Chile itu overlook terhadap middle class, karena sebagian besar kebijakannya fokus pada 10% (masyarakat) terbawah," ucap Chatib.
Dia cukup yakin Indonesia tidak terjerembap seperti Chile, namun pemerintah Indonesia harus berhati-hati saat menyusun kebijakan. Mulai sekarang, kondisi masyarakat kelas menengah memerlukan perhatian lebih.
"Saya yakin ini tidak terjadi di Indonesia segera, tapi kita harus hati-hati," imbau Ekonom Senior itu.