15 Januari 2024
10:33 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan, neraca dagang sepanjang 2023 akan lebih rendah dibanding capaian tahun sebelumnya. Kendati surplus dagang masih terus berlanjut hingga bulan terakhir pada 2023.
Menurutnya, surplus perdagangan akan berlanjut pada Desember 2023, meskipun dengan nilai yang menurun. Adapun neraca perdagangan ini diperkirakan surplus US$2,00 miliar, atau turun dari surplus US$2,41 miliar pada November 2023.
“Dengan demikian, neraca perdagangan sepanjang tahun 2023 diperkirakan berkisar US$35,63 miliar, lebih rendah dari surplus perdagangan tahun 2022 sebesar US$54,46 miliar,” katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin (15/1).
Sementara itu, PMI manufaktur mitra dagang utama Indonesia yang menunjukkan penurunan telah mengindikasikan perlambatan permintaan global. Meskipun harga komoditas relatif stabil selama Desember 2023, terutama komoditas ekspor utama seperti batu bara dan CPO.
Baca Juga: Per November 2023, Neraca Perdagangan RI Masih Surplus US$33,64 M
Ekspor Desember 2023 diperkirakan mengalami kontraksi sebesar -7,61% (yoy), dibandingkan dengan -8,56% (yoy) pada November. Oleh karena itu, kinerja ekspor untuk sepanjang 2023 diperkirakan menyentuh -11,48% (yoy), dibandingkan laju pertumbuhan ekspor 2022 yang tercatat 26,05% (yoy).
Meski ada kenaikan harga batu bara pada Desember 2023 karena peningkatan permintaan musiman selama musim dingin dan harga CPO yang relatif stabil yang dipengaruhi oleh dampak El Nino. Di sisi pasokan, Josua paparkan, secara umum permintaan global cenderung melemah.
“PMI manufaktur di AS dan China terus melemah di bulan Desember 2023, keduanya mencatatkan indeks di bawah 50 (poin atau zona ekspansi),” ungkapnya.
Sementara itu, kinerja impor Desember 2023 diperkirakan akan tumbuh sekitar 0,74% (yoy), atau melambat dari 3,29% (yoy) pada November 2023.
Secara keseluruhan 2023, Josua melanjutkan, impor diperkirakan akan menurun lebih rendah daripada ekspor. Impor selama 2023 diproyeksi mengalami kontraksi sebesar -6,35%, dibandingkan dengan pertumbuhan 21,03% yang terjadi pada 2022.
“Kontraksi laju impor yang lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi ekspor dipengaruhi oleh permintaan domestik yang terus menguat, terindikasi dari PMI Manufaktur Indonesia meningkat dari 51,7 pada November menjadi 52,2 pada Desember 2023,” jelasnya.
Peningkatan PMI Manufaktur pada Desember tersebut merupakan yang tertinggi sejak September 2023. Dengan pertumbuhan produksi mencapai puncak dalam empat bulan dan pesanan baru mengalami kenaikan paling signifikan sejak September 2023.
Pergerakan Komoditas
Terpisah, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memproyeksi, ekspor pada Desember 2023 Indonesia akan diwarnai sejumlah pergerakan komoditas internasional. Seperti volume ekspor batu bara yang naik, meski harganya menurun.
“(Selanjutnya), demand CPO ke Malaysia dan India cenderung turun. (Lainnya), harga nikel juga menunjukkan pelemahan,” urai Andry.
Untuk impor di pengujung tahun, lanjutnya, Pertamina akan kelebihan stok untuk Pertalite pada Desember 2023. Hal ini bisa terjadi lantaran impor minyak mentah cenderung sudah dilakukan sejak Juli 2023 untuk stok akhir tahun.
Dirinya pun memproyeksi, ekspor sepanjang 2023 akan berakhir di level US$258,2 miliar dan impor di kisaran US$222,3 miliar. Dengan torehan ini, neraca perdagangan sepanjang Januari-Desember 2023 akan menorehkan surplus dagang sebesar US$35,46 miliar.
“Untuk tahun 2024, pola ekspor, impor dan neraca perdagangan akan tidak jauh berbeda dengan 2023, karena asumsi harga komoditas yang akan relatif flat,” terangnya.
Baca Juga: Neraca Dagang Merosot, Kemendag Perketat Impor dan Permudah Ekspor
Proyeksi 2024
Pada 2023, Josua memproyeksi, transaksi berjalan mengalami defisit kecil, sekitar -0,14% dari PDB. Jumlah ini sedikit lebih dalam ketimbang dengan capaian surplus transaksi berjalan terhadap PDB pada 2022 yang sebesar 0,98%.
Untuk 2024, transaksi berjalan diperkirakan akan mengalami defisit lebih dalam, sekitar -0,70% terhadap PDB. Pelebaran defisit transaksi berjalan dipengaruhi oleh ekspektasi perlambatan ekonomi global, terutama dari mitra dagang utama Indonesia seperti AS dan Tiongkok.
Meskipun demikian, Josua menggarisbawahi, pelebaran defisit transaksi berjalan masih di bawah 1% terhadap PDB. Mengingat, upaya pemerintah yang mendorong percepatan hilirisasi.
“Sehingga diharapkan dapat membatasi risiko penurunan surplus perdagangan di tengah permintaan global yang sedang berlangsung dan penurunan harga komoditas, serta harga minyak dunia yang lebih rendah dari antisipasi sebelumnya,” kata Josua.
Selain itu, peningkatan aktivitas ekonomi khususnya pada semester II/2024 yang ditopang oleh ekspektasi bahwa investor beralih dari pendekatan wait and see pasca pemilu 2024.
Selanjutnya, terbukanya peluang penurunan suku bunga kebijakan global diperkirakan akan mendukung sentimen risk-on di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, yang akan mendorong capital inflow ke pasar keuangan domestik.
“Oleh karena itu, kami memperkirakan nilai tukar rupiah berpotensi stabil di kisaran 15.000-15.300 per dolar AS pada akhir tahun 2024,” jabarnya.