c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

29 Oktober 2022

13:07 WIB

Tiga Fungsi APBN: Stabilisasi, Alokasi, dan Distribusi

APBN sebagai shock absorber, karena shock yang terjadi tak semuanya langsung diteruskan ke masyarakat. Sebagian shock yang besar, ditampung oleh APBN, hingga masyarakat hanya sedikit merasakan vibrasi

Tiga Fungsi APBN: Stabilisasi, Alokasi, dan Distribusi
Tiga Fungsi APBN: Stabilisasi, Alokasi, dan Distribusi
Ilustrasi. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Ketua KPK Firli Bahuri berkerjasama dalam menjaga penggunaan APBN. Dok. Antara

JAKARTA – Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai bagian dari keuangan negara, merupakan instrumen penting dan menentukan perekonomian nasional. Kas negara ini digunakan, diandalkan, dan dipakai dalam mencapai tujuan bernegara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, semua negara yang merdeka pasti akan menyusun keuangan negaranya, termasuk Indonesia. APBN lah yang menjadi instrumen kebijakan fiskal dalam mengelola berbagai situasi tantangan yang dihadapi negara.

“Di dalam konteks kita mengelola kebijakan fiskal melalui APBN itu sebetulnya guidance-nya sudah sangat jelas dari sisi peraturan perundang-undangan. Keuangan negara dan APBN dikelola di dalam rangka untuk menjalankan tiga fungsi yaitu stabilisasi, alokasi dan distribusi,” terangnya dalam keterangan resmi, Sabtu (29/10).

Dalam hal fungsi stabilisasi, menurut Sri Mulyani, jika ekonomi dan negara sedang menghadapi tantangan yang mengancam stabilitas negara, maka APBN harus digunakan, untuk meng-counter tantangan atau ancaman terhadap stabilisasi itu.

Nah, kalau stabilisasi, yang orang bayangkan adalah dari sisi keamanan/pertahanan, padahal juga bisa dari sisi ekonomi,” serunya.

Baca juga: Jokowi: APBN 2023 Fokus Enam Kebijakan Prioritas

Menurutnya, ekonomi bisa dihadapkan pada berbagai guncangan yang bisa mengancam stabilisasi. Umpamanya seperti yang terjadi pada tahun 2020 pandemi tiba-tiba ada virus covid-19. “Itu ancaman stabilitas di bidang ekonomi, kesehatan dan juga bisa saja menjadi sosial-politik,” lanjut Menkeu.

Bendahara Negara tersebut menambahkan, pada kondisi di mana pandemi dikatakan akan mulai selesai menurut WHO, ternyata muncul krisis baru yaitu kenaikan harga pangan, kenaikan harga-harga energi, dan geopolitik yang meningkat.

Hal-hal tersebut menimbulkan disrupsi supply secara global. Guncangan itu menyebabkan harga pangan dan harga energi melonjak sangat tinggi yang menyebabkan inflasi.

“APBN sebagai instrumen fiskal step-in lagi. Kalau inflasi tinggi biasanya, ya moneter dulu yang harus menstabilkan harga melalui demand management. Moneter dan fiskal harus bekerja sama. Di sinilah letaknya kenapa kita kemudian menyebutnya APBN sebagai shock absorber," sambungnya.

Ia menjelaskan, APBN sebagai shock absorber, karena shock yang terjadi di pangan dan komoditas tidak semuanya langsung disalurkan dan diteruskan ke masyarakat atau di-passthrough (melewati). Sebagian shock yang begitu besar itu, ditampung oleh APBN, lalu masyarakat hanya dapat sedikit vibrasinya.

Pemerintah sendiri menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, mewaspadai risiko global meski neraca perdagangan masih kembali mencatatkan surplus pada bulan September 2022 sebesar US$4,99 miliar, sehingga secara kumulatif sejak Januari 2022 mencapai US$39,87 miliar. 

"Ke depan, pemerintah bersama otoritas terkait akan mengantisipasi berbagai risiko global yang akan mempengaruhi neraca perdagangan dan perekonomian secara umum," ucapnya. 



Alokasi dan Distribusi

Pada fungsi alokasi dan distribusi, Sri Mulyani melanjutkan, APBN memiliki peran untuk bisa membuat ekonomi makin efisien dan tidak distortif. Isu yang saat ini mengemuka dan ada kaitannya dengan fungsi alokasi APBN adalah mengenai energy transition mechanism (ETM) yang terkait dengan penanganan climate change yang menjadi perhatian dunia saat ini.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan, jika perekonomian dan kegiatan manusia semuanya memproduksi CO2 terlalu banyak dan lebih banyak yang tidak peduli, itulah yang disebut sebagai market failure. 

Menurutnya hal tersebut, bisa membahayakan dunia dan tidak ada yang bisa mengoreksi hal itu. Di situlah letak APBN sebagai tadi fungsi alokasi, mengoreksi supaya tingkah laku manusia, memasukkan ancaman global tersebut sebagai faktor risiko.

"Caranya gimana? Ada pakai carbon tax, ada yang menggunakan subsidi, itu hanya bisa terjadi kalau policy fiskalnya mendukung. Salah satunya energy transition mechanism," ujar Menkeu.

Fungsi APBN yang ketiga yaitu distribusi. Hal ini terkait dengan pemerataan keadilan. Menurut Sri Mulyani, distribusi itu bukan berarti anggaran APBN Rp3.000 triliun dibagi-bagi begitu saja.

"Jadi APBN itu adalah tools untuk mengoreksi yang seharusnya bisa berjalan dengan sendirinya melalui market mechanism. Tapi ternyata market itu tidak bisa menjawab dan menyelesaikan semua masalah yang dihadapi sebuah negara dan perekonomian, seperti kemiskinan, stunting, adanya perbedaan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, dan daerah-daerah yang masih tertinggal," jelasnya.

Baca juga: Memahami Siklus APBN

Hati-Hati

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menentukan kebijakan fiskal di 2023. Kehati-hatian ini dibutuhkan agar Indonesia siap menghadapi ancaman resesi di tingkat global sekaligus dapat menjaga inflasi.

Menurut dia, antisipasi tersebut penting mengingat Indonesia menargetkan defisit dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah kembali di bawah 3% PDB pada 2023 nanti.

"Ancaman resesi global semestinya disikapi dengan kebijakan fiskal yang lebih berhati-hati dalam hal melakukan normalisasi kebijakan di tahun 2023," kata Faisal.

Ia menilai pelaksanaan kebijakan fiskal harus dilakukan secara hati-hati, juga agar tidak mengganggu kegiatan perekonomian dalam negeri dan mampu memperkuat daya tahan masyarakat terhadap krisis. 

"Semestinya dalam kondisi dimana ada ancaman tekanan global, kebijakan fiskal mestinya menjadi tameng supaya resesi itu tidak menular ke dalam negeri, sebagai shock absorber istilahnya," tuturnya. 

Salah satu contoh kebijakan fiskal yang bisa diterapkan adalah menggunakan skala prioritas dalam melepaskan insentif atau mengurangi insentif. Hal ini dijalankan dengan mempertimbangkan dampak lanjutan kepada sektor perpajakan.

"Seperti mengurangi insentif terhadap sektor yang relatif lebih kuat," ucap Faisal.

Selain itu, menurut dia, pengendalian inflasi juga perlu dilakukan berkoordinasi dengan pemangku kepentingan, terkait mengingat kebijakan yang kontraproduktif dapat menjadi boomerang atau justru mendorong inflasi.

"Seperti kemarin melepaskan subsidi atau tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, ini kan justru mendorong inflasi. Jangan ada kebijakan yang sama seperti itu, karena akan lebih menekan masyarakat menengah ke bawah, justru malah meningkatkan kemiskinan," sergahnya. 

Selanjutnya, ia mengingatkan perlu adanya upaya mendorong efisiensi dan mengurangi kebocoran yang terjadi dalam pembelanjaan anggaran pemerintah. Ini penting dilakukan agar pelaksanaan belanja menjadi lebih efisien dan tepat sasaran.

"Jadi jangan mengalokasikan dana yang besar tapi efektivitasnya rendah, karena banyak tidak efisien dalam implementasinya," serunya. 

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar