c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

29 Oktober 2025

20:57 WIB

Sorot APBN, Ini Saran Ekonom Untuk Pemerintah Soal Pinjaman Ke Pemda

Ekonom Josua Pardede mendorong pemerintah untuk membuat plafon tahunan guna memastikan APBN sebagai sumber pinjaman ke pemda tetap prudent.

Penulis: Siti Nur Arifa

<p id="isPasted">Sorot APBN, Ini Saran Ekonom Untuk Pemerintah Soal Pinjaman Ke Pemda</p>
<p id="isPasted">Sorot APBN, Ini Saran Ekonom Untuk Pemerintah Soal Pinjaman Ke Pemda</p>

Ilustrasi - Pemda sedang menghitung fiskal daerah. Dok SDPDN Kemendagri

JAKARTA - Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede ikut menanggapi kebijakan pinjaman pemerintah pusat untuk pemerintah daerah (Pemda) yang resmi diatur dalam PP 38/2025.

Bersumber dari APBN sebagai pengeluaraan pembiayaan, Josua memberikan sejumlah rekomendasi yang perlu ditempuh pemerintah agar pengelolaan APBN tetap prudent dalam pelaksanaan kebijakan tersebut, salah satunya dengan menetapkan plafon tertentu.

“Langkah pertama adalah menetapkan plafon tahunan dan lima tahunan untuk total portofolio pinjaman pemerintah pusat, dipatok sebagai bagian dari ruang pembiayaan dalam APBN serta disejajarkan dengan prioritas pembangunan nasional,” kata Josua di Jakarta, Rabu (29/10), dikutip dari Antara.

Lebih detail, dirinya merinci pemerintah perlu membuat batas akumulasi portofolio per segmen penerima yang diatur dalam PP 38/2025 baik Pemda, BUMN, maupun BUMD, serta batas eksposur per entitas.

Baca Juga: DPR Dukung PP 38/2025 Pinjaman Pusat ke Daerah: Bunga Lebih Murah dari Bank

Adapun rekomendasi kedua, yakni mengenai penetapan harga yang mencerminkan risiko. Menurutnya, bunga pinjaman sebaiknya menutup biaya dana pemerintah plus cadangan kerugian yang wajar, dengan tambahan biaya di muka untuk menutup ongkos pengelolaan.

Sebagaimana diatur bahwa bunga dan biaya dari pinjaman yang diberikan nantinya menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), Josua menilai pemanfaatan ketentuan ini penting agar skema tidak menjadi subsidi terselubung dan tetap adil bagi kas negara.

“Keringanan biaya dapat diberikan secara terarah hanya untuk proyek dengan manfaat publik yang jelas dan tercatat sebagai kebijakan anggaran yang eksplisit,” tambahnya.

Membeberkan rekomendasi ketiga, pemerintah perlu memastikan proyek yang dibiayai nantinya memiliki arus kas balik atau menghasilkan penghematan belanja yang terukur.

Spesifik, untuk Pemda, prioritas dapat diberikan pada proyek yang menambah pendapatan sah atau menekan biaya layanan dasar.

Sedangkan bagi BUMN dan BUMD, pemberian pinjaman harus disertai jaminan yang memadai, dengan pengecualian bahwa aset dari penyertaan modal daerah tidak boleh dijadikan agunan.

Tidak Mengganggu APBN
Lebih lanjut, Josua membeberkan rekomendasi keempat dalam membangun jalur pengamanan pembayaran sejak awal, di mana penerima pinjaman perlu menyiapkan rekening khusus penerimaan proyek dan dana cadangan layanan utang.

Dari langkah tersebut, kemudian Pemerintah perlu membangun mekanisme peringatan dini untuk mendeteksi penurunan rasio kemampuan bayar yang mendekati ambang batas.

“PP 38/2025 sendiri mewajibkan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan utang sedikitnya 2,5 serta menata seluruh proses penilaian kelayakan oleh Menteri Keuangan, angka ambang dan tata cara penilaian ini harus dipatuhi tanpa pengecualian,” jelas Josua.

Rekomendasi kelima, Josua mendorong agak implementasi pinjaman ini dilakukan dengan menyinkronkan skema yang berlaku dengan kondisi riil APBN agar tidak mengganggu belanja prioritas.

Baca Juga: CELIOS: Rencana Pinjaman Pusat Ke Daerah Jadi Ajang 'Jebakan Utang'

Sebagai catatan, laporan APBN KiTa menunjukkan penyerapan belanja kementerian/lembaga per akhir September baru sekitar 60% dan masih perlu akselerasi, sementara pembiayaan utang untuk menutup defisit diproyeksikan Rp731,5 triliun pada 2025.

“Ini berarti ruang fiskal harus dibagi cermat antara belanja yang langsung dirasakan masyarakat dan penyaluran pinjaman. Jangan sampai pinjaman justru menekan percepatan belanja yang sedang dikejar pemerintah,” urai Josua.

Keenam, Josua mengatakan pemerintah mengutamakan kolaborasi pembiayaan, di mana untuk proyek yang layak dibiayai perbankan atau pasar, pemerintah sebaiknya menjadi pelengkap yang mengurangi risiko awal dan bukan menggantikan seluruh pembiayaan.

Harapannya, dana APBN hanya menjadi pemicu dan tidak menyingkirkan peran swasta, sebagaimana tujuan PP untuk mendorong sektor produktif sekaligus menjaga risiko pada tingkat yang bisa ditanggung APBN.

Terakhir, pemerintah juga perlu memperkuat keterbukaan portofolio dengan mempublikasikan daftar pinjaman yang disetujui, kemajuan proyek, status pembayaran hingga tindakan korektif.

“PP mengatur penatausahaan, pelaporan, pemantauan, evaluasi, dan bahkan opsi penyelesaian masalah seperti pembatalan sebagian atau seluruh pinjaman bila terjadi penyimpangan. Seluruh kanal ini harus aktif dan dilaporkan berkala,” tutup Josua.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar