25 Mei 2023
18:20 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai, kondisi pasar keuangan global masih diliputi ketidakpastian yang tinggi, terutama berasal dari isu keuangan di Amerika Serikat. Sejauh ini, ia menyebut, suku bunga The Fed atau Fed Fund Rate/FFR sudah mencapai puncaknya dengan kecenderungan tetap.
BI pun menghitung kemungkinan The Fed untuk menaikkan suku bunga pada Juni mendatang sudah tidak terlalu besar. Hanya saja, masih terdapat potensi suku bunga di AS kembali naik karena penurunan inflasi di Negeri Paman Sam yang masih lambat.
“Kalau melihat inflasi di sana (AS), turunnya kok lambat banget, jadi kemungkinan The Fed masih akan stay for longer. Agak berbeda dengan sejumlah analis yang mengatakan kemungkinan (suku bunga) akan turun di akhir tahun,” terangnya dalam RDG-BI di Jakarta, Kamis (25/5).
Baca Juga: BI: Perlu Kalibrasi Kebijakan Di tengah Ketidakpastian Ekonomi Global
Per 3 Mei 2023, suku bunga acuan The Fed naik 0,25% menjadi kisaran 5-5,25%. Sementara, tingkat inflasi di AS bergerak turun dari level 5% pada April 2023 menjadi 4,9% per Mei 2023. Sebagai informasi, kenaikan suku bunga merupakan salah satu instrumen dalam membantu mencegah inflasi berlebihan dan menjaga stabilitas harga jangka panjang.
Kemudian, Perry memaparkan, kelanjutan negosiasi batasan utang atau debt ceiling antara pemerintah dan DPR di AS juga menjadi sentimen bagi keuangan global. Sejarah membuktikan bahwa negosiasi ini akan berujung pada kesepakatan antara kedua pihak.
Hanya saja, ia menggarisbawahi, kesepakatan tersebut bisa berakhir pada pemotongan anggaran atau budget cut. Hal ini menurut Perry yang dapat menyebabkan ketidakpastian juga.
“(Kondisi) ini yang kami masih harus lihat, diskusi (pemerintah-DPR AS) masih berlanjut kemungkinan sampai Juni. Ini terus kita lihat,” tegasnya.
Di lain pihak, BI juga menyebut, ketidakpastian hadir dari instabilitas geopolitik di beberapa negara lain. Apalagi kejadian di AS juga menghadirkan anomali lain berupa penguatan indeks dolar AS (DXY) yang bergerak di kisaran 102-104 poin saat ini, yang berhasil mendepresiasi nilai tukar di seluruh dunia.
“(Karena itu) kalimatnya BI Rate tetap, fokusnya adalah memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dan dampak rambatan pasar keuangan bisa dimitigasi,” ucapnya.
Meski begitu, dirinya bersyukur bahwa aliran masuk modal asing di pasar keuangan domestik juga berlanjut pada kuartal II 2023. Tecermin dari investasi portofolio yang hingga 23 Mei 2023 mencatat net inflows sebesar US$1 miliar.
Dalam paparannya, Perry menyebut, pertumbuhan ekonomi dunia 2023 lebih tinggi dari prakiraan semula secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan mencapai 2,7% (yoy), ditopang oleh pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang lebih kuat.
Baca Juga: AS Terancam Gagal Bayar Utang, OJK: Pengaruh Ke RI Minim
Ekonomi Tiongkok tumbuh lebih baik didorong oleh pembukaan ekonomi pascapandemi covid-19. Prospek ekonomi India juga meningkat didukung oleh permintaan domestik yang kuat.
“Sementara itu, pemulihan ekonomi negara maju, terutama Amerika Serikat (AS) tertahan sejalan dengan dampak kebijakan moneter ketat dan peningkatan risiko stabilitas sistem keuangan (SSK),” jabarnya.
Penurunan inflasi global berlanjut terutama dipengaruhi oleh proses desinflasi negara berkembang yang lebih cepat. Sedangkan penurunan inflasi negara maju lebih lambat akibat pasar tenaga kerja yang ketat.
Ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi dipengaruhi oleh dampak risiko SSK di negara maju. Begitu juga ketidakpastian penyelesaian permasalahan government debt ceiling di AS.
“Di tengah ketidakpastian pasar keuangan global tersebut, aliran masuk modal asing ke negara berkembang berlanjut seiring dengan kondisi dan prospek perekonomiannya yang lebih baik,” ungkapnya.