22 Mei 2023
15:42 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar menyatakan sektor jasa keuangan Indonesia tidak akan terlalu terpengaruh dengan kondisi keuangan Amerika Serikat (AS) yang tengah terancam gagal bayar utang.
Hal tersebut berdasarkan analisis dan kalkulasi awal yang dilakukan OJK menyangkut dampak lanjutan jika pemerintah AS tidak dapat membayar utang apabila Kongres AS tak menyetujui batasan utang atau debt ceiling.
Perlu diketahui, utang negeri Paman Sam kini telah menembus US$31,45 triliun. Artinya, telah mencapai batas utang yang disetujui pemerintah dan kongres sebelumnya.
Meski demikian, Mahendra menegaskan bahwa hingga saat ini, potensi risiko dan dampak keuangan AS tidak sampai mengganggu stabilitas jasa keuangan RI.
"Analisis awal yang kami lakukan adalah dampak dari kemungkinan tidak tercapainya kesepakatan berkaitan dengan batasan utang AS atau debt ceiling kepada sektor jasa keuangan maupun industri dan perusahaan-perusahaan jasa keuangan di Indonesia sangat minimal," kata Mahendra dalam Webinar "Memperkuat Ketahanan Nasional di Industri Jasa Keuangan", Senin (22/5).
Hal tersebut, menurut dia, didukung oleh minimnya kepemilikan obligasi AS dari seluruh institusi keuangan di Indonesia. Itupun sebagian besar dimiliki oleh perwakilan ataupun cabang dan anak perusahaan dari perusahaan-perusahaan multinasional.
"Sehingga, dampaknya dapat dikatakan lebih terbatas apabila worst case scenario itu terjadi kepada perkembangan satu-dua minggu ke depan yang sedang terjadi di AS," imbuhnya.
Penanganan Ancaman
Dalam kesempatan tersebut, Mahendra juga mengingatkan ancaman ketahanan nasional, termasuk ketahanan nasional dalam kaitan industri jasa keuangan, dapat berasal dari mana saja.
Oleh karena itu, dalam melihat berbagai risiko berkaitan ketahanan nasional, termasuk di dalamnya industri jasa keuangan, ia menilai harus dilakukan secara multidisiplin dan dilakukan tidak hanya dari satu sektor saja, sehingga bisa diperhitungkan seluruh risiko.
"Kita melihat contoh, di AS, bisa terjadi dari konteks kegagalan satu bank yang relatif tidak besar. Di AS, bisa membawa potensi dampak sistemik apabila tidak ditangani baik," terangnya.
Pernyataan Mahendra merujuk pada Silicon Valley Bank (SVB) yang sebenarnya merupakan bank regional dengan aset yang relatif kecil di AS, yakni hanya US$200 miliar, dibandingkan dengan jumlah aset perbankan AS yang bisa mencapai US$1,3 kuadriliun.
Mahendra mengatakan, risiko-risiko dari kejadian di sektor ekonomi dan keuangan seperti risiko dari peningkatan suku bunga yang berlanjut, risiko dari peningkatan kondisi-kondisi yang tidak diinginkan seperti inflasi ataupun kondisi pemberian kredit yang berlebihan dari satu sektor, akan langsung terlihat pengaruhnya.
Sementara, risiko persaingan geopolitik, risiko keamanan dunia, risiko perang di Ukraina, tidak langsung berpotensi mengancam industri jasa keuangan global.
"Oleh karena itu, kemampuan kita memahami berbagai hal perkembangan di dalam negeri, regional maupun global, dengan pisau analisis yang mempresentasikan berbagai displin dan ilmu, maupun pemahaman dan pengetahuan yang lengkap akan sangat membantu bagi kita dalam mengambil keputusan dan menganalisis situasi terhadap hal-hal yang dapat mengganggu ketahanan nasional dan khususnya Industri Jasa Keuangan," ujar Mahendra.