17 April 2024
12:20 WIB
Sinyal Fed Funds Rate Bertahan Tinggi Bikin Rupiah Tertekan Lagi
Rupiah masih berpotensi lanjut melemah terhadap dolar AS karena ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed (FFR) yang masih belum sesuai dengan pasar.
Penulis: Khairul Kahfi
Petugas menghitung uang dolar AS di Cash Pooling Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (23/6/2022). Antara Foto/Muhammad Adimaja
JAKARTA - Analis Pasar Uang Ariston Tjendra mengatakan, rupiah masih berpotensi lanjut melemah terhadap dolar AS karena ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed (FFR) yang masih belum sesuai dengan pasar. Pada pagi ini, indeks dolar AS masih terpantau di level tinggi di atas kisaran 106 poin.
Bertahannya penguatan dolar AS disebabkan pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell soal asesmen inflasi domestik AS yang masih belum terlihat kemajuan yang berarti sesuai target. Inflasi masih belum bisa turun segera ke target 2%.
“Selain konflik Timur Tengah yang memanas… Pasar bisa menyimpulkan bahwa The Fed bakal menunda kebijakan pemangkasannya (Fed Funds rate/FFR),” sebutnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Jakarta, Rabu (17/4).
Ariston pun memproyeksi, rupiah terhadap dolar AS berpotensi lanjut melemah ke arah 16.200-16.250, dengan potensi support terdekat di kisaran 16.100.
Mengutip Bloomberg, pada pukul 10.21 pagi ini greenback terpantau masih perkasa di hadapan rupiah Indonesia. Dolar AS lanjut menguat di level Rp16.222 atau naik 0,29% yang setara Rp46 dibanding sehari sebelumnya. Prediksinya, pergerakan dolar AS-rupiah sepanjang hari ini akan berada di rentang 16.220-16.722.
Baca Juga: Harga Emas Naik Terdongkrak Pernyataan Dovish Ketua The Fed
Di sisi lain, Ariston menilai, harga emas dunia masih berpotensi untuk alami kenaikan atau paling tidak berkutat di level tinggi. Katalis pendorongnya masih berasal dari tensi konflik Timur Tengah yang memanas.
“Tapi, isu pemangkasan suku bunga AS yang tertunda, bisa menahan penguatan harga emas yang dinilai dalam dolar tersebut,” sebutnya.
Terpisah, Wakil Ketua Dewan Gubernur The Fed Philip N Jefferson melaporkan, setahun terakhir, inflasi AS telah turun secara signifikan namun masih berada di atas target FOMC sebesar 2%. Pada Maret, inflasi pengeluaran konsumsi pribadi (personal consumption expenditures/PCE) sebesar 2,7% selama 12 bulan terakhir berdasarkan perkiraan staf The Fed.
Capaian itu lebih rendah ketimbang setahun sebelumnya yang sebesar 4,4 %. Adapun inflasi PCE inti, tidak termasuk komponen makanan dan energi yang bergejolak, mencapai 2,8 %; sementara setahun yang lalu sebesar 4,8%.
“Meskipun kita telah melihat kemajuan besar dalam menurunkan inflasi, upaya untuk memulihkan inflasi 2% secara berkelanjutan masih belum selesai,” kata Philip di Washington DC, Rabu waktu setempat (16/4).
Baca Juga: Domestik Masih Kondusif, BI Bisa Tahan BI Rate 6,00%
Pertumbuhan PDB riil pada kuartal IV/2023 adalah 3,4 %, yang Philip perkirakan pertumbuhannya akan melambat di kuartal I/2024 namun tetap solid. Seperti yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penjualan ritel yang solid pada Februari dan Maret 2024.
Data terbaru mengenai perolehan lapangan kerja dan inflasi lebih tinggi dari perkiraan. Perekonomian menambah rata-rata 276.000 pekerjaan non-pertanian per bulan selama Januari-Maret 2024.
Dia menilai, penambahan pekerja tersebut merupakan sebuah laju yang lebih cepat dibandingkan Maret lalu. “Dan data inflasi selama tiga bulan terakhir berada di atas angka terendah pada paruh kedua tahun lalu,” jelasnya.
Philip memperkirakan, inflasi akan terus menurun dengan suku bunga kebijakan yang tetap stabil pada tingkat saat ini. Ditambah pasar tenaga kerja akan tetap kuat, dengan permintaan dan pasokan tenaga kerja yang terus seimbang.
Hanya saja, dia menggarisbawahi, prospek perkiraan tersebut masih belum pasti. Terlebih jika data yang masuk menunjukkan bahwa inflasi lebih persisten dibandingkan perkiraannya saat ini, maka akan lebih tepat kebijakan moneter restriktif ini dipertahankan lebih lama.
“Saya berkomitmen penuh untuk mengembalikan inflasi ke 2%,” urainya.