c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

20 Maret 2024

12:33 WIB

Domestik Masih Kondusif, BI Bisa Tahan BI Rate 6,00%

Sejauh ini, kondisi inflasi dan nilai tukar menyiratkan tidak ada keperluan mendesak bagi BI untuk mengubah suku bunga acuannya.

Penulis: Khairul Kahfi

Domestik Masih Kondusif, BI Bisa Tahan BI Rate 6,00%
Domestik Masih Kondusif, BI Bisa Tahan BI Rate 6,00%
Karyawan memegang uang di BNI KC Mega Kuningan, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Antara Foto/Aprillio Akbar

JAKARTA - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB-UI menyebutkan BI perlu mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 6,00% pada Maret ini. Sejauh ini, kondisi inflasi dan nilai tukar menyiratkan tidak ada keperluan mendesak bagi BI untuk mengubah suku bunga acuannya. 

“Kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00% pada Rapat Dewan Gubernur Maret ini,” jelas Ekonom LPEM FEB-UI Teuku Riefky dalam keterangan resmi, Jakarta, Rabu (20/3).

Dia menjelaskan, inflasi umum meningkat ke 2,75% (yoy) pada Februari 2024 menyusul peningkatan harga bahan pangan akibat kombinasi tekanan dari sisi permintaan dan produksi. Meningkatnya intensitas El-Nino mendisrupsi kecukupan pasokan komoditas pangan.

Sementara pada periode Ramadan ini terjadi peningkatan permintaan komoditas pangan. “Inflasi umum yang meningkat ke 2,75% (yoy), sebagian besar dipengaruhi naiknya harga pangan akibat kombinasi tekanan dari sisi permintaan dan pasokan,” terangnya.

Lainnya, inflasi AS secara tidak terduga meningkat ke 3,2% (yoy) di Februari 2024. Hal ini menunjukkan tantangan yang semakin sulit dihadapi oleh the Fed dalam fase akhir untuk menurunkan angka inflasi. 

Lebih lanjut, tingkat pengangguran AS juga meningkat ke 3,9% di Februari 2024 dari 3,7% di bulan sebelumnya. 

“Kenaikan inflasi yang tidak terduga ini mendorong munculnya sentimen bahwa The Fed harus menunda penurunan suku bunga acuan dari titik tertingginya dalam 23 tahun terakhir,” urainya.

Sebelum rilis data inflasi terbaru, berbagai indikasi menunjukkan bahwa The Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuannya di Juni 2024. 

Akan tetapi, naiknya inflasi meningkatkan kemungkinan bahwa waktu yang tepat untuk The Fed memangkas suku bunga acuannya tertunda hingga September tahun ini. 

Perkembangan ini membuat situasi di AS semakin kompleks, menyusul pemerintahan Biden yang cenderung ingin menurunkan biaya pinjaman ke level prapandemi secepatnya menjelang periode pemilu di AS.

Bergesernya sentimen ke arah penundaan pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed memicu arus modal keluar dari berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak pertengahan Februari, Indonesia mengalami arus modal keluar dari pasar obligasi sebesar US$1,39 miliar. 

“Tetapi, akibat semakin rendahnya porsi kepemilikan asing, intervensi aktif oleh BI, dan permintaan domestik yang masih solid cenderung membatasi dampak (negatif) dari arus modal keluar terhadap imbal hasil surat utang pemerintah,” paparnya.

Riefky juga menggarisbawahi, rupiah cukup tertekan signifikan dalam beberapa minggu terakhir. Akibat peningkatan ketidakpastian finansial global seiring pemilihan waktu penurunan suku bunga oleh berbagai bank sentral global, terutama the Fed. 

Hingga 17 Maret, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 1,6% (ytd). Kondisi Rupiah ini cenderung memiliki performa lebih buruk dibandingkan beberapa negara peers seperti Rupee India, Peso Filipina, dan Yuan Tiongkok. 

Namun, tingkat cadangan devisa saat ini relatif cukup tinggi dan memiliki kapasitas untuk menyerap tekanan dari potensi guncangan di pasar modal dan nilai tukar.

“Terlepas dari tingginya tekanan terhadap Rupiah, beberapa minggu terakhir pergerakan Rupiah (masih) cenderung stabil,” jelasnya. 

Tetap Butuh Antisipasi
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyampaikan bahwa BI perlu mengantisipasi dampak dari keputusan dan sinyal The Fed pada pertemuan FOMC Maret 2024.

“Menjelang rapat FOMC pada 19-20 Maret 2024, ekspektasi pasar mengarah pada The Fed yang akan mempertahankan suku bunga acuannya (Fed Funds Rate/FFR) di kisaran 5,25-5,50%,” ungkap Josua terpisah.

Namun, ada ketertarikan yang besar terhadap sinyal-sinyal dari The Fed terkait waktu dan laju penurunan FFR yang diperkirakan akan terjadi tahun ini. 

Selain itu, pelaku pasar juga menantikan proyeksi ekonomi terbaru untuk mengukur apakah kekhawatiran mengenai 'kenaikan suku bunga' masih ada.

Indikator-indikator ekonomi AS menunjukkan, adanya pelemahan di pasar tenaga kerja. Namun demikian, ada kenaikan tak terduga pada tingkat inflasi konsumen dan produsen pada Februari. 

“Hal ini mengindikasikan perlambatan dalam perkembangan menuju disinflasi di AS, sehingga mengurangi kemungkinan penurunan suku bunga kebijakan dalam waktu dekat,” urainya.

Perkembangan ini berdampak negatif pada pasar keuangan global, dengan meningkatnya sentimen risk-off yang menyebabkan pelemahan Rupiah. 

“Untuk menjaga stabilitas, kami memperkirakan BI akan mempertahankan BI-Rate di level 6,00% pada RDG Maret 2024,” sebutnya.

Dari sisi domestik, kenaikan inflasi harga bergejolak dan penurunan surplus perdagangan membatasi potensi penurunan BI-Rate lebih awal. Per Februari-24, terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK), yang naik dari 0,04% (mom) menjadi 0,37% (mom). 

Secara tahunan, tingkat inflasi juga meningkat mencapai 2,75% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan 2,57% (yoy) di Januari 2024. “Kenaikan inflasi ini terutama didorong oleh pergerakan harga bahan makanan, terutama beras,” paparnya. 

Pada bulan yang sama, surplus perdagangan mengalami penurunan yang signifikan menjadi US$0,87 miliar, dari US$2,00 miliar pada Januari 2024. Penurunan ekspor disebabkan oleh penurunan permintaan dari Tiongkok selama liburan panjang Tahun Baru Imlek. 

Sementara impor meningkat karena meningkatnya pembelian minyak dan barang-barang konsumsi, terutama beras, untuk mengantisipasi permintaan yang lebih tinggi menjelang Ramadan.

“Sepanjang Februari hingga minggu kedua Maret 2024, Rupiah bergerak sideways dan berfluktuasi di kisaran Rp15.575-15.775 per dolar AS,” ucapnya.

Pihaknya memperkirakan, ruang penurunan suku bunga BI-Rate pada semester kedua tahun 2024 tetap terbuka. Dengan mempertimbangkan perkembangan terkini dari sisi global dan domestik.

Pendekatan The Fed yang berhati-hati terhadap penurunan suku bunga di 2024, serta tekanan inflasi domestik yang masih ada di paruh pertama tahun ini akibat El-Nino, mendukung potensi BI yang masih mempertahankan suku bunga BI rate pada semester I-2024.

“Secara keseluruhan, kami mempertahankan proyeksi kami bahwa BI-Rate akan turun 50bps menjadi 5,50% pada akhir tahun 2024,” ujarnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar