29 November 2024
19:05 WIB
Sesuaikan Kondisi Ekonomi Sekarang, Kadin Minta Pemerintah Tunda PPN 12%
Kadin Indonesia khawatir kenaikan tarif PPN menjadi 12% dapat mengerek harga bahan baku atau material, biaya jasa konstruksi, terutama proyek pembangunan, serta membuat lesu konsumsi masyarakat.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Khairul Kahfi
Ketua Umum Kadin Indonesia periode 2021-2026 Arsjad Rasjid meminta pemerintah menunda implementasi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, Jakarta, Jumat (29/11). ValidnewsID/Aurora KM Simanjuntak
JAKARTA - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia periode 2021-2026 Arsjad Rasjid meminta pemerintah menunda implementasi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025.
Arsjad mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat saat ini. Sebab, situasinya sudah berbeda dibandingkan saat memutuskan untuk menaikkan PPN pada 2021 lalu.
Dia juga menyampaikan, kondisi geopolitik dan ekonomi global juga turut memengaruhi perekonomian RI hari ini. Salah satunya ditandai dengan pasar ekspor global yang mengalami penurunan daya beli (buying power).
"Nah jadi itu pun berdampak, makanya kita menyuarakan untuk menunda PPN 12%," ujarnya dalam Konpers Rapimnas Kadin 2024 di Jakarta, Jumat (29/11).
Arsjad berpendapat, kenaikan PPN menjadi 12% juga akan berdampak ke dunia usaha dan masyarakat. Ia khawatir ketika pelaku usaha menaikkan harga barang, konsumen jadi menanggung akibatnya.
Baca Juga: Usai Pilkada, Sri Mulyani Panggil Bos Pengusaha Untuk Bahas PPN 12%
Karena itu, pihaknya berharap, pemerintah secara saksama dapat memperhatikan aspek-aspek tersebut supaya ekonomi Indonesia tidak lesu. Menurutnya, saat ini penting untuk menjaga laju perekonomian, apalagi pemerintah menargetkan untuk mencapai pertumbuhan sebesar 8%.
"Kami menyarankan kepada pemerintah untuk menunda PPN 12%, karena kalau PPN itu langsung (berdampak) kepada konsumen, langsung berkaitan pada dunia usaha dan masyarakat," tutur Arsjad.
Pada kesempatan sama, Ketua Umum Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) sekaligus Dewan Pertimbangan Kadin Andi Rukman N. Karumpa juga dengan gamblang menolak kenaikan PPN menjadi 12%.
Ia mengaku paham ketentuan soal PPN 12% sudah diatur dalam Undang-undang 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, ia tetap mengatakan, implementasi kebijakannya perlu disesuaikan dengan dinamika dalam negeri.
"Bukan lagi menunda, tapi kami menolak. Peraturan pemerintah memang harus dilaksanakan, tapi penerapannya harus dipertimbangkan," ujar Andi.
Dia pun memprediksi, kenaikan tarif PPN bakal berdampak ke konsumsi dan kenaikan harga barang dan jasa. Dia mencontohkan, biaya material atau bahan baku dan jasa konstruksi bisa makin mahal.
Baca Juga: Kemenkeu: Kenaikan Tarif PPN Sudah Melalui Kajian Ekonomi-Sosial
Andi pun mengaku cemas kenaikan pada keduanya, biaya material dan jasa konstruksi, bakal meningkatkan biaya proyek secara keseluruhan. Imbasnya, margin pelaku usaha makin tipis, terutama Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
"Kenaikan PPN 12% berdampak pada kenaikan biaya material dan jasa konstruksi, yang pada akhirnya meningkatkan biaya keseluruhan proyek," katanya.
Andi memaklumi, kenaikan tarif pajak ini memang menjadi salah satu instrumen fiskal pemerintah untuk mengerek penerimaan negara.
Di samping itu, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, pemerintah juga perlu menjaga penerimaan negara dan menguatkan daya saing. Meski demikian, ia bersikukuh penerapan PPN 12% perlu ditunda.
"Kami juga memahami kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun pelaksanaan harus mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini," tegas Andi.