21 November 2024
17:17 WIB
Kemenkeu: Kenaikan Tarif PPN Sudah Melalui Kajian Ekonomi-Sosial
Kemenkeu menyebut kebijakan penyesuaian tarif PPN 1% tersebut telah melalui pembahasan mendalam antara Pemerintah dengan DPR. Juga memperhatikan kajian ilmiah yang melibatkan akademisi dan praktisi
lustrasi.Pembeli memeriksa struk belanja yang mencatumkan PPN. ValidNews.ID/ Fin Harini
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, kenaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1%, sudah mempertimbangkan aspek ekonomi hingga sosial.
“Pada dasarnya, kebijakan penyesuaian tarif PPN 1% tersebut telah melalui pembahasan mendalam antara Pemerintah dengan DPR, dan pastinya telah mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain ekonomi, sosial, dan fiskal,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro seperti dikutip Antara, Kamis (21/11).
Deni menambahkan, dalam perumusan wacana menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% juga memperhatikan kajian ilmiah yang melibatkan akademisi dan praktisi. Kebijakan itu tertuang dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi covid-19.
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (13/11).
Dia mengatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya, dan pada saat yang sama, juga mampu berfungsi merespons berbagai krisis.
"Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN," tambahnya.
Dalam implementasinya nanti, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kata Sri Mulyani, akan berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat. "Sudah ada UU-nya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12%) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik," tuturnya.

Sumber Penerimaan Lain
Menyikapi hal ini, Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky berpendapat, alih-alih menaikkan PPN, pemerintah sebaiknya mencari sumber penerimaan selain dari pajak pertambahan nilai (PPN).
“Sikap yang perlu diambil pemerintah yaitu mengeksplore sumber penerimaan lain, selain menaikkan PPN menjadi 12%,” kata Riefky, Rabu.
Dia memahami, pemerintah memang memiliki urgensi meningkatkan penerimaan pada tahun depan, mengingat program-program pemerintahan baru yang kemungkinan bakal menambah nilai belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Tapi, apakah PPN ini kebijakan yang tepat? Kami rasa tidak. Ada beberapa strategi lain untuk meningkatkan penerimaan tanpa meningkatkan PPN,” tuturnya.
Dalam laporan bertajuk “Indonesia Economic Outlook 2025” yang dirilis awal November lalu, LPEM UI merekomendasikan empat strategi alternatif meningkatkan penerimaan. Di antaranya menurunkan tingkat informalitas, menaikkan keterbukaan perdagangan, perbaikan sistem administrasi, dan merealisasikan potensi penerimaan pajak dari aktivitas ekonomi digital.
Masih tingginya aktivitas informal di Indonesia, lanjutnya, juga membuat serapan PPN kurang optimal dan mendorong kenaikan beban perpajakan pada kelompok dan aktivitas ekonomi formal. Maka, pemerintah disarankan untuk mengatasi isu struktural tersebut.
Beberapa cara yang dapat dilakukan termasuk memberikan insentif untuk peralihan bisnis informal ke formal, memudahkan birokrasi, serta sosialisasi manfaat dari mendaftarkan kegiatan formal.
Terkait keterbukaan perdagangan, studi Qibthiyyah & Arrachman (2018) menunjukkan tingginya volume perdagangan internasional dari kegiatan impor dan ekspor, turut mendorong aktivitas domestik dan akhirnya berkontribusi positif terhadap serapan PPN.
Untuk menempuh strategi itu, pemerintah bisa menyederhanakan prosedur kepabeanan, memudahkan fasilitas transaksi perdagangan internasional, meningkatkan kualitas dan transparansi kebijakan perdagangan. Termasuk mendorong platform e-commerce untuk memfasilitasi perdagangan lintas batas guna memudahkan keterlibatan UMKM dalam kegiatan ekspor.
Kemudian, pemerintah juga bisa melakukan perbaikan pada sistem administrasi perpajakan. Berdasarkan catatan LPEM UI, aspek krusial dalam reformasi perpajakan di berbagai negara menekankan pada peningkatan administrasi perpajakan, dengan fokus pada peningkatan efisiensi administrasi.
Terakhir, menggali potensi pajak di sektor digital sebagaimana yang tengah diupayakan Kementerian Keuangan. Agar upaya ini berjalan efektif, LPEM UI, imbuhnya, menyarankan peninjauan dan adaptasi dari kebijakan perpajakan secara berkala agar selaras dengan karakteristik aktivitas ekonomi digital terkini.
Perumusan itu harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan industri untuk merancang regulasi praktis dan mempertimbangkan karakteristik khusus dari berbagai aktivitas ekonomi digital.
Harga Pangan
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro berpendapat, pemerintah perlu menyiapkan mitigasi kenaikan harga pangan bila tetap melanjutkan wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.
“Yang penting adalah mitigasi dampak PPN 12% kepada kelompok menengah ke bawah, terutama dampak kenaikan harga pangan, di mana konsumsi kelas bawah secara rasio itu memang terhadap makanan lebih tinggi,” kata Asmo, Rabu.
Berdasarkan hasil temuan Mandiri Spending Index, alokasi belanja kelompok menengah ke bawah terhadap makanan dan minuman meningkat signifikan, dari 10% pada tahun lalu menjadi 22% pada tahun ini. Salah satu faktor yang mendorong adalah kenaikan harga pangan, seperti beras, yang membuat masyarakat lebih mengutamakan belanja untuk kebutuhan pokok.
Sementara segmen menengah ke atas relatif memiliki keleluasaan terhadap alokasi belanja. Selama beberapa tahun terakhir, pasar obligasi, pasar ekuitas, maupun harga emas relatif stabil. Kondisi ini mengindikasikan segmen menengah ke atas cenderung lebih tahan terhadap dampak kenaikan PPN.
“Jadi, kelompok menengah ke atas itu sebenarnya masih punya keleluasaan. Maka dampak dari kenaikan PPN itu memang perlu dilihat untuk kelompok menengah bawah,” tuturnya.
Bila kebijakan PPN 12% tetap diimplementasikan, Asmo memprediksi akan terjadi efek inflasi yang lebih besar terhadap segmen menengah ke bawah. Maka dari itu, pemerintah perlu menyiapkan berbagai upaya bantalan, seperti subsidi perlindungan sosial (perlinsos) hingga mitigasi kenaikan harga pangan.
“Perlu disiapkan ekspansi bansos atau perlinsos, atau subsidi yang diperlebar untuk kelas menengah,” pungkasnya.