17 September 2024
20:23 WIB
SDM Dan Teknologi Harus Siap Sebelum Pembangkit Nuklir Beroperasi
Adopsi pembangkit nuklir atau PLTN di Indonesia jangan sampai sangat bergantung kepada teknologi, inovasi, dan SDM dari luar negeri.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Foto udara pembangkit listrik tenaga nuklir di Wuhan, Cina. Shutterstock/Wirestock Creators
JAKARTA - Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov memberi sejumlah catatan terhadap rencana pemerintah yang ingin mengoperasikan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) tahun 2032 mendatang.
Dalam diskusi bertajuk 'Penguatan BUMN Menuju Indonesia Emas 2045', Abra mengingatkan faktor sumber daya manusia (SDM) hingga kecakapan teknologi wajib dipastikan oleh pemerintah sebelum mengoperasikan PLTN.
Dia menyebut jangan sampai adopsi PLTN di Indonesia terlalu bergantung pada teknologi, inovasi, bahkan SDM dari luar negeri alias belum mandiri.
"Jadi kita bangun transisi yang hijau juga harus berlandaskan pada kemandirian dan kedaulatan energi. Ini juga penting," tegas Abra di Jakarta, Selasa (17/9).
Baca Juga: Pemerintah Siap Deklarasi Pembentukan Badan Nuklir
Dengan demikian, pemerintah semestinya menyiapkan terlebih dahulu soal SDM yang profesional, teknologi yang cakap, inovasi, maupun sumber pendanaan yang mumpuni.
Abra juga mengingatkan inisiasi pengembangan nuklir sebagai sumber energi kelistrikan di Indonesia jangan sampai mendistorsi upaya yang dilakukan untuk sumber energi terbarukan lainnya.
"Karena sebetulnya potensi energi terbarukan juga sudah cukup melimpah, kurang lebih ada 6.000 GW potensi sumber energi terbarukan," ucapnya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi menerangkan pemerintah bakal mendeklarasikan pembentukan Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO) sebagai organisasi yang mengurus persiapan pengembangan energi nuklir di hadapan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam waktu dekat.
Pembentukan NEPIO itu, sambung Eniya, bakal menjadi pondasi pengembangan nuklir sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik yang direncanakan terimplementasi pada 2032 mendatang.
"Isu terpenting di RUKN bahwa nuklir masuk di 2032 sebanyak 250 MW, tapaknya di mana, masih akan dibahas. NEPIO ini untuk implementasi karena sifatnya organisasi, melakukan pengawasan terhadap implementasi nuklir," tambah Eniya.
Lebih lanjut, Abra mengatakan pengembangan nuklir semestinya harus dimulai teknokratis dalam pembahasan di tingkat pemerintah. Dengan begitu, dapat dilihat proyeksi permintaan listrik ke depannya dengan mengacu pada target pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri.
Di lain sisi, saat ini masih terdapat permasalahan mismatch supply dan demand kelistrikan di Indonesia dari sumber energi baru dan terbarukan. Sehingga menurutnya, permasalahan itu harus diatasi terlebih dahulu sebelum mengomersilkan PLTN.
"Kalau sampai persoalan fundamental mismatch supply dan demand belum teratasi, tantangan yang masih terjadi sampai hari ini, ini justru nantinya akan beban. Pemerintah keluarkan investasi itu besar, EBT investasinya tidak sedikit," tutur Abra Talattov.
Baca Juga: BRIN Dalami Software Pengoperasian Reaktor Nuklir Untuk PLTN
Belum Masuk RUPTL
Pada kesempatan yang sama, Direktur Manajemen Risiko PT PLN Suroso Isnandar mengakui saat ini pengembangan PLTN belum termaktub dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Pasalnya, PLN memperkirakan kebutuhan listrik dari nuklir baru dimulai paling cepat tahun 2034 mendatang. Sedangkan RUPTL terbaru yang telah disusun adalah untuk tahun 2024-2033.
"Secara regulasi RUPTL itu 10 tahun, sehingga belum masuk RUPTL. Tapi kalau nanti RUPTL-nya panjang dikit, tahun depan akan kami masukkan," jelas Suroso.
Meski begitu, Suroso mengakui PLTN bakal menutup gap base loader yang ada. Sehingga, PLN juga bakal membantu perusahaan ataupun industri yang bakal mengeksekusi PLTN.
Secara realistis, pengembangan PLTN butuh waktu belasan tahun, seperti yang dilakukan oleh Tiongkok. Dengan kebutuhan yang baru dimulai tahun 2034, setidaknya PLTN bisa benar-benar beroperasi paling cepat pada 2036.
"Terakhir kami benchmark dengan China, paling tidak butuh belasan tahun. Dari keputusan kita go nuclear, kebutuhan 2034 itu balik lagi kita baru bisa 2036 atau 2038," pungkasnya.