02 Juni 2023
18:43 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhy menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut punya lebih banyak dampak buruk ketimbang manfaat ekonominya. Beleid itu berpotensi membahayakan rakyat sekitar pesisir hingga menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Apabila menggunakan cost and benefit analysist, Fahmy meyakini hasil penjualan sedimentasi pasir laut tak seberapa besar jika dibandingkan dengan kerusakan ekologi kelautan.
Untuk itu, dia menegaskan pemerintah harus segera membatalkan regulasi tersebut.
"Sesungguhnya kalau secara feasibility study berdasarkan cost and benefit analysist, itu (regulasi) sangat tidak layak karena biaya yang akan dikeluarkan lebih besar dari pendapatannya," tutur Fahmy kepada Validnews di Jakarta, Jumat (2/6).
Bahkan, Fahmy menilai PP Nomor 26 Tahun 2023 itu sarat akan kepentingan menjelang tahun politik 2024. Menurutnya, bukan tidak mungkin hasil penjualan sedimentasi pasir laut ke luar negeri itu akan disalurkan untuk operasional pemilu.
Baca Juga: Pemanfaatan Sedimentasi Pasir Laut Tergantung Keputusan Tim Kajian
Jika tujuannya memang ingin menyehatkan laut dengan menyedot sedimentasi pasir, semestinya pekerjaan itu diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda) atau BUMD.
Dia mengatakan, pemda dan BUMD bisa menyedot sedimentasi pasir laut untuk digunakan di dalam negeri dan bukan untuk diekspor.
"Tapi kalau diekspor dan yang ditunjuk adalah perusahaan swasta, saya yakin biasanya yang melakukan itu adalah pengusaha yang punya hubungan dengan pengambil keputusan," katanya.
Padahal, Megawati Soekarnoputri ketika menjabat sebagai RI 1 pada 20 tahun lalu telah menutup keran ekspor sedimentasi pasir laut karena merusak lingkungan, ekologi, membahayakan masyarakat pesisir, hingga menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Sekalipun Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan akan dibentuk tim kajian, Fahmy tidak yakin pengawasan akan dilakukan seserius itu. Dalam hal ini, pengusaha yang mendapat izin untuk ekspor bisa saja mengeruk pasir laut yang belum tersedimentasi.
"Tidak ada jaminan dia (pengusaha) melakukan penyedotan pada sedimentasi saja. Mereka pasti akan menyedot untuk meningkatkan produksi dalam rangka mencapai profit," imbuhnya.
Lebih lanjut, menurut Fahmy, pemerintah tidak pernah serius dalam hal pengawasan. Misalnya saja soal penebangan hutan, hingga kini nyaris habis karena pengawasan yang lemah.
Untuk itu, dia tidak yakin ada upaya untuk mengawasi penyedotan sedimentasi pasir laut.
"Apalagi penegakan hukum juga lebih buruk sehingga akhirnya penyedotan pasir laut dilakukan secara ugal-ugalan dan memberi dampak buruk bagi kelestarian lingkungan, membahayakan rakyat pesisir, dan menenggelamkan pulau-pulau," sebut dia.
Baca Juga: Bencana Hidrometeorologi, Pahami Abrasi Dan Ablasi
Dia mencontohkan di sekitaran Riau dan Batam, banyak pulau-pulau kecil yang akan tenggelam apabila pasir lautnya disedot. Penjualan yang rencananya dilakukan ke Singapura untuk melakukan reklamasi pun membuat negara itu mendapat lebih banyak daratan, sedangkan Indonesia kehilangan pulau-pulau kecil.
"Jadi daratan Singapura lebih luas, sementara daratan Indonesia mengkerut karena tenggelam. Artinya, ini akan berpengaruh terhadap penetapan batas wilayah," jabar Fahmy.
Karena itu, Fahmy menilai wajar saja apabila beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Greenpeace, tetap menolak PP Nomor 26 Tahun 2023 yang memperbolehkan ekspor pasir laut hasil sedimentasi karena pemerintah kerap membentuk tim kajian hanya sebagai gimmick.
Fahmy mengatakan bahwa upaya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono untuk membentuk tim kajian soal pengelolaan hasil sedimentasi pasir laut itu seolah-olah memperhatikan aspirasi, namun pada praktiknya hasil kajian tidak pernah digunakan sebagai bahan pertimbangan
"Mereka (LSM) menolak karena sudah sering dibohongi, ditunjuk tim hanya semacam gimmick yang hasil kajiannya tidak pernah digunakan," ucapnya.