31 Mei 2023
18:58 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA – Menanggapi ramainya isu soal PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan terbitnya beleid itu terbit akibat desakan ekonomi terhadap kepentingan reklamasi yang kian masif di dalam negeri.
Jika tidak ada regulasi yang mengatur pemanfaatan sedimentasi pasir laut, dia menyebut pulau-pulau akan diambil untuk digunakan sebagai reklamasi, hingga penyedotan pasir di dasar laut yang berakibat pada kerusakan lingkungan.
Untuk itu, ia menggarisbawahi bahwa di dalam PP Nomor 26 Tahun 2023, hasil sedimentasi pasir laut bisa digunakan dengan persyaratan harus membentuk tim kajian yang terdiri dari Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, KKP, perguruan tinggi, ahli, bahkan hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM).
"Ini (persyaratan) tertuang dalam PP dan nantinya juga akan dituangkan dalam peraturan turunannya lewat Peraturan Menteri yang saat ini sedang dipersiapkan, belum jadi sama sekali tetapi beritanya sudah jadi trend," tegas Menteri Trenggono dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (31/5).
Pemanfaatan pasir hasil sedimentasi pun, sambungnya, akan bergantung pada rekomendasi tim kajian. Seandainya pasir hasil sedimentasi di suatu wilayah tidak bisa digunakan, maka izin tidak akan diterbitkan.
"Di Surabaya mau reklamasi 1.000 hektare belum saya kasih izin, di IKN banyak sekali di sampingnya, Batam juga banyak. Tapi syaratnya, harus dari pasir hasil sedimentasi," imbuh dia.
Baca Juga: Bencana Hidrometeorologi, Pahami Abrasi Dan Ablasi
Menurut dia, pada dasarnya memang proyek reklamasi harus menggunakan pasir laut hasil sedimentasi. Apalagi, ia memperkirakan ada sekitar 23 miliar kubik sedimentasi pasir setiap tahunnya di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk reklamasi.
Trenggono pun tak menutup kemungkinan soal ekspor pasir laut hasil sedimentasi dengan catatan apabila kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi dan mendapat lampu hijau dari tim kajian.
"Jadi penentunya bukan dari PP 23/2023 ini, tapi dari tim kajian, yakni ada unsur KLHK, Kementerian ESDM, KKP, BRIN, WALHI. Jika semua unsur itu mengatakan boleh, baru saya izinkan," katanya.
Pernyataan itu pun sejalan dengan isi PP Nomor 23 Pasal 9 Ayat (2) butir (d) yang berbunyi pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut dapat digunakan untuk ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut, Menteri Trenggono mengungkapkan saat ini pihaknya tengah merancang aplikasi Ocean Accounting. Lewat aplikasi itu, setiap permintaan reklamasi akan melalui perhitungan terlebih dahulu soal manfaat ekologi dibandingkan ekonominya.
"Akan dihitung antara ekologi dan ekonomi apakah berimbang atau tidak. Jika jomplang, misalnya ekologi lebih rusak dibanding ekonomi, tidak kita izinkan," tandas Trenggono.
Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan menilai PP 26/2023 dilatar belakangi oleh pertimbangan eksploitatif dan berorientasi bisnis. Ia bilang, kegiatan penambangan pasir selama ini sudah berlangsung untuk kepentingan dalam negeri, diduga PP ini untuk melegalisasi ekspor pasir laut.
Menurutnya, beleid ini bertolak belakang dengan komitmen MKP untuk menjadikan ekologi dan lingkungan sebagai panglima.
"Ada semacam "kamuflase" dalam PP tersebut yang mengedepankan pengelolaan sedimentasi laut padahal ada indikasi-indikasi yang akan ditambang justru yang berpotensi sebagai pasir laut," katanya beberapa waktu lalu lewat keterangan resmi.
Ia menambahkan, saat ini isu yang terbesar terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil adalah justru abrasi sebagai akibat perubahan iklim yang telah berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat maupun kerusakan sarana dan prasarana.
Apalagi, lanjutnya, biaya untuk menanggulangi ini saja tidak mampu oleh daerah dan negara. Dengan regulasi ini maka dapat dipastikan Abrasi akan semakin besar dan masif terjadi.
Lebih lanjut, pengendalian hasil sedimentasi di laut adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut.
"Justru yang harus dikendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan sedimentasi tersebut yakni aktifitas dari hulu terutama kegiatan pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan," kata Abdi.