28 Agustus 2024
08:00 WIB
RI Tak Bisa Tentukan Harga CPO Dunia, GAPKI: Pangsa Pasar Kurang
Meski Indonesia sudah menjadi pemain sawit dunia sebagai produsen dan eksportir terbesar, namun kinerjanya belum bisa sampai menentukan harga CPO dunia.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Pembicara dalam Press Tour Belitung 2024 dengan tema Kontribusi Sawit Untuk APBN dan Perekonomian, di Belitung, Selasa (27/8). ValidNewsID/ Aurora KM Simanjuntak
BELITUNG - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkapkan, meski Indonesia saat ini merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar, namun belum bisa menjadi pemain sawit dunia untuk menentukan harga di tingkat internasional.
Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan, alasannya adalah pangsa pasar ekspor dari negara-negara produsen CPO hanya 33% dari minyak nabati. Adapun negara yang dimaksud meliputi Indonesia, Malaysia, Amerika Latin dan Afrika.
Posisi tersebut tidak cukup kuat sampai bisa mengendalikan harga CPO dunia. Dia menuturkan, apabila pangsanya di atas 50%, barulah Indonesia bisa ikut menentukan harga CPO di tingkat internasional.
"Kalau kita sawit ini lebih dari 50% (pangsa pasarnya), mungkin kita bisa memengaruhi harga internasional. Apapun yang kita lakukan pasti akan berpengaruh," ujarnya dalam acara Kontribusi Sawit Untuk APBN dan Perekonomian, di Belitung, Selasa (27/8).
Baca Juga: ESDM Tetapkan HIP BBN Bioetanol Agustus 2024 Sebesar Rp15.010
Memang, RI adalah produsen sekaligus eksportir terbesar CPO untuk pasar global. Namun, Eddy kembali menekankan, pangsa pasarnya yang hanya sebesar 33% itu masih tergolong rendah.
Sementara sisanya, sebesar 67% pangsa pasar global menyerap komoditas minyak nabati selain CPO. Contohnya seperti minyak bunga matahari, rapeseed, dan minyak kedelai.
"Sekarang kita tidak bisa (menentukan harga CPO dunia) karena baru 33%, walaupun (Indonesia) itu sudah tertinggi saat ini, lalu ada minyak kedelai di bawah 30% (pangsanya), kemudian minyak-minyak yang lain," kata Ketum GAPKI.
Sejalan dengan itu, Eddy pun menuturkan negara-negara tadi bernasib serupa. Meski menjadi eksportir sekaligus produsen, tetapi negaranya belum bisa menentukan harga CPO di tingkat internasional.
Dia mencontohkan, misalnya negara tetangga Malaysia. Negeri Jiran itu bahkan sudah memiliki bursa CPO, namun secara keseluruhan kinerjanya belum cukup memadai untuk turut menentukan harga internasional.
"Walaupun Malaysia itu punya bursa, dia juga tidak bisa mengendalikan harga (CPO), karena itu adalah pertemuan antara supply dan demand, sehingga terbentuk harga di situ, bukan mereka bisa menetapkan harga, tidak," ucap Eddy.
Layaknya hukum permintaan dan penawaran, apabila supply sedikit tapi demand meningkat, maka yang terjadi adalah kenaikan harga. Hal tersebut juga berlaku untuk kondisi harga komoditas CPO dunia.
Baca Juga: Kemenperin Susun Roadmap Sawit Indonesia Emas 2045
Eddy memberikan contoh lagi, pada 2022 harga komoditas minyak nabati di pasar global melonjak tajam, termasuk CPO. Penyebab utamanya adalah pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina yang yang notabene pemasok minyak nabati, terutama dari biji bunga matahari.
"Waktu itu importir minyak nabati khawatir apabila biji bunga matahari tidak bisa keluar dari Rusia maupun Ukraina. Akhirnya melonjaklah harga, termasuk harga minyak sawit naik luar biasa," terangnya.
Saat harga minyak dunia naik karena perang Rusia-Ukraina, Indonesia sebagai negara produsen pun membatasi ekspor minyak sawitnya guna memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu. Saat itu, pemerintah menerapkan domestic market obligation (DMO) bagi eksportir CPO.
Supply dan demand terhadap suatu komoditas ikut menjadi indikator penentu harga. Oleh karena itu, Eddy kembali menekankan apabila pangsa pasar CPO di atas 50%, yang berarti bisa menguasai pasar global jauh lebih luas dan permintaannya pun lebih tinggi ketimbang sekarang, barulah bisa ikut menentukan harga CPO dunia.
"Apabila kita memang nanti bisa pangsa pasar kita sawit itu lebih dari 50%, baru kita bisa mengendalikan harga, maksudnya kita bisa mainkan harganya. Sekarang kita tidak bisa karena baru 33%," tutup Ketum GAPKI.