c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

12 November 2025

08:00 WIB

PUSKEP UI: PLTSa Bukan Satu-Satunya Alat Sulap Sampah Jadi Listrik

Ketimbang membangun PLTSa, ada baiknya sampah-sampah dikelola menjadi bahan bakar campuran (co-firing) pada PLTU milik PT PLN.

Penulis: Yoseph Krishna

<p id="isPasted">PUSKEP UI: PLTSa Bukan Satu-Satunya Alat Sulap Sampah Jadi Listrik</p>
<p id="isPasted">PUSKEP UI: PLTSa Bukan Satu-Satunya Alat Sulap Sampah Jadi Listrik</p>

Foto udara sejumlah truk membuang sampah di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (10/7/2024). Antara Foto/Sulthony Hasanuddin

JAKARTA - Pemerintah belakangan ini tengah menggenjot proyek pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) sebagai salah satu senjata untuk menangani masalah sampah perkotaan yang semakin mengkhawatirkan.

Sekalipun niatnya mulia, ada jalan terjal yang harus dilalui untuk menyukseskan agenda tersebut. Tingginya investasi menjadi salah satu tantangan dalam melancarkan proyek PLTSa.

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) meramal kebutuhan investasi untuk satu proyek PLTSa berada di kisaran Rp2,3 triliun-Rp3,2 triliun, tergantung pada lokasi, kapasitas sampah, hingga teknologi yang digunkan.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ketahanan Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (PUSKEP UI) Ali Ahmudi Achyak mengungkapkan sejatinya pengelolaan sampah menjadi energi listrik bisa dilakukan lewat cara lain di luar PLTSa.

Baca Juga: RI Punya Potensi 272 GW Listrik Dari Sampah Tak Terkelola

Institut Teknologi PLN, ungkap Ali, punya sebuah program yang mampu menyulap sampah menjadi bahan bakar campuran (co-firing) pada PLTU batu bara milik PT PLN.

"Ada program pengolahan dan pengelolaan sampah untuk RDF ya, untuk jadi pelet. Nah peletnya itu nanti digunakan PLN untuk co-firing," jelasnya saat dihubungi Validnews, Selasa (11/11).

Dia menjabarkan, sampah-sampah organik dapat diolah menjadi Solid Recovered Fuel (SRF) atau bahan bakar padat yang dipulihkan, serta Refuse-Derived Fuel (RDF), yakni bahan bakar alternatif yang dibuat dari olahan sampah organik yang mudah terbakar.

"Lebih gampang RDF, berbasis masyarakat dan teknologi sederhana. Sampah itu tinggal dikeringkan, lalu dihancurkan, kemudian dicetak menjadi pelet," kata Ali.

Pengolahan sampah organik menjadi bahan bakar co-firing PLTU batu bara juga disebutnya lebih bermanfaat daripada membangun pembangkit listrik baru. Apalagi, masyarakat bisa berperan langsung dalam pengolahan sampah untuk kemudian dijual kepada PT PLN.

Jadi, ada potensi pendapatan baru bagi masyarakat di sekitar PLTU yang mau mengolah sampah menjadi RDF karena sudah pasti bakal diserap oleh PT PLN yang membutuhkan biomassa untuk co-firing PLTU.

"PLN juga dapat manfaat karena dia butuh biomassa untuk co-firing. Dengan itu, akan sangat terbantu karena mencari biomassa tidak gampang. Mau nebang-nebang hutan tidak boleh, kalau menanam kan butuh lima tahun ya, tiga tahun baru bisa panen, paling bagus," jabar Ali.

Peuyeumisasi
Ali Ahmudi Achyak sebagai salah satu akademisi di IT PLN menerangkan saat ini ada teknologi yang dinamakan peuyeumisasi, yakni dengan memanfaatkan bioreaktor kecil berbentuk keramba untuk mengumpulkan sampah-sampah yang akan dikelola.

"IT PLN itu punya teknologi sendiri namanya peuyeumisasi, bio drying lah. Peuyeumisasi itu begini, seperti kita membuat peuyeum, sampah itu kita tempatkan di satu tempat tertentu yang kita buat namanya bioreaktor kecil lah," tutur dia.

Keramba-keramba dari bambu itu ditempatkan di wilayah tertentu, mulai dari RT, RW, hingga desa. Lalu, sampah-sampah yang telah terkumpul dicampurkan dengan bioaktivator atau cairan kimia yang dibuat secara mandiri.

Baca Juga: Dilema Energi Listrik Dari Sampah

Dengan bioaktivator itu, kandungan air dari sampah bisa menyusut sampai level 50%. Paralel, tingkat kalori sampah bisa meningkat dan mikroorganismenya bisa terkendali sehingga tidak menimbulkan bau yang tak sedap.

"Itu menjadi solusi pertama tanpa harus membuat pembangkit listrik baru karena biayanya kan besar. Nah, itu yang harus dipikirkan pemerintah, saran saya ya sudah adopsi saja teknologi IT PLN itu dikembangkan di seluruh Indonesia," beber Ali.

Menurut Ali, pengolahan sampah menjadi bahan bakar campuran untuk co-firing merupakan win-win solution. Persoalan sampah bisa tertangani dengan baik dan di lain sisi, PT PLN tak perlu repot-repot mencari biomassa untuk co-firing.

"Ini kan ekonomi sirkuler ya, masyarakat dapat income karena bisa menjual pelet dan PLN dapat solusi sumber biomassa yang dekat dengan PLTU-nya, masyarakat sekitar PLTU," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar