20 Agustus 2025
20:39 WIB
Produk RI Masih Perlu Harmonisasi Sertifikasi Halal Untuk Masuk Pasar UEA
Meski relatif mudah dibandingkan akses ke pasar alternatif lain, produk RI masih harus menyelaraskan kepatuhan sertifikasi halal dengan standar di UEA.
Penulis: Siti Nur Arifa
Label Halal Indonesia. Sumber: BPJPH
JAKARTA - Uni Emirat Arab jadi salah satu pasar alternatif Indonesia yang memiliki hambatan dagang non tarif relatif lebih mudah, bila dibandingkan dengan negara mitra lain seperti Uni Eropa dan Jepang.
Kemudahan tersebut disebabkan persyaratan labelling yang sederhana dan tidak adanya kewajiban sertifikasi lingkungan atau uji laboratorium yang kompleks, sehingga membuat akses terhadap pasar negara ini dapat dijangkau oleh industri domestik.
Meski demikian, masih terdapat PR dalam sertifikasi halal yang masih perlu diharmonisasi antara standar Indonesia dengan UEA.
"Ada beberapa hal misalkan untuk kepatuhan halal ini memang perlu didorong untuk adanya harmonisasi, sehingga kita dapat melakukan sertifikasi yang lebih mudah jika misalkan ini diakui oleh negara UAE itu sendiri," ujar Peneliti Senior LPEM FEB UI Christina Ruth Elisabeth dalam Seminar daring Core bertajuk: Menakar Daya Saing Indonesia di Era Tarif Baru, Rabu (20/8).
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Sertifikat Halal Bentuk Kepastian Hukum Produk
Meski demikian, Ruth juga mengungkap beberapa kebijakan non tarif lain yang diterapkan oleh UEA sama seperti Jepang dan Uni Eropa yakni desain keberlanjutan dan praktik industri hijau.
Kebijakan ini baru mulai diterapkan sejak tahun 2020, namun lebih bersifat sukarela dan tidak wajib di mana hanya beberapa pembeli besar di UEA yang mengajukan kebijakan tersebut.
Non Tarif Menimbulkan Biaya
Lebih lanjut, Ruth menggarisbawahi meski negara mitra alternatif selama ini banyak dibidik untuk menggantikan pasar AS karena adanya iming-iming kesepakatan tarif 0%, namun pada akhirnya kebijakan non tarif yang dimiliki tetap akan menimbulkan biaya tambahan bagi eksportir.
"Non tarif ini sendiri akan menciptakan biaya kepatuhan, jadi kalau kita lihat akan ada biaya variable ataupun biaya tetap yang muncul kalau eksportir itu harus memenuhi standar yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor," jelasnya.
Baca Juga: Lagi, Kediri Sukses Ekspor 20 Ton Nanas Ke Uni Emirat Arab
Nantinya, biaya tersebut tetap akan terasa signifikan bagi para eksportir khususnya dalam skala UKM (Usaha Kecil Menengah). Bahkan, biaya yang dimaksud dikhawatirkan lebih besar daripada biaya tarif sendiri.
"ini yang kita lihat bahwa sebenarnya biaya daripada non tarif itu sendiri relatif lebih tinggi dibandingkan biaya tarif," tambah Ruth.