05 April 2023
15:10 WIB
JAKARTA – Perusahaan sawit nasional siap membantu petani swadaya untuk memperoleh sertifikasi sawit berkelanjutan atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dipersyaratkan pasar internasional.
Director Apical Indonesia Operations Peter Setiabudi mengatakan, permintaan akan minyak sawit berkelanjutan terus meningkat, namun petani swadaya menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai praktek keberlanjutan karena keterbatasan keahlian dan sumber daya.
"Untuk itu sangat penting bagi petani swadaya untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan untuk bersaing di pasar serta berkontribusi pada upaya keberlanjutan industri kelapa sawit," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (5/4), seperti dilansir Antara.
Peter mengatakan, pihaknya melalui Program Smallholder Inclusion for Better Livelihood & Empowerment (SMILE) atau Inklusi Petani untuk Kesejahteraan dan Pemberdayaan yang Lebih Baik berupaya menjembatani kesenjangan tersebut.
Melalui program tersebut perusahaan memberikan pengetahuan dan pelatihan serta lokakarya untuk meningkatkan pengetahuan teknis petani swadaya serta membantu para petani swadaya dalam mencapai sertifikasi RSPO.
"Sejak diluncurkan pada tahun 2020, program ini telah memberikan dampak positif bagi kehidupan petani di Indonesia," katanya.
Baca Juga: CIPS Dukung RSPO-ISPO Harmonisasi Ketertelusuran Sawit Indonesia
Program SMILE, tambahnya, telah berhasil memberikan petani kecil akses pada pelatihan praktik pertanian berkelanjutan dan meningkatkan hasil panen mereka.
Menurut Head of Sustainability Asian Agri Ivan Novrizaldie pada 2022, Program SMILE telah berhasil mengaudit dan mensertifikasi sebanyak 390 petani swadaya yang terdiri dari 239 petani berasal dari Sumatera Utara dan 151 petani berasal dari Jambi.
Pada 2023, program SMILE telah melewati fase pertama yang mana sebanyak 238 petani swadaya di Riau telah diaudit pada Februari 2023. Saat ini, para petani swadaya tersebut masih menunggu proses penerbitan sertifikat RSPO.
Selain itu, tambahnya, untuk fase kedua sebagai berikut menargetkan lebih banyak petani swadaya bergabung dengan program ini hingga lebih dari 2.300 petani. Selanjutnya menargetkan untuk mendukung 1.284 petani swadaya dalam mendapatkan sertifikat RSPO.
Ketua Koperasi Konsumen Tebing Tinggi Pangkatan Sejahtera (KKTTPS), Desa Tebing Tinggi, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara Khairul Anam menyatakan program ini membawa banyak manfaat sejak pihaknya menerima sertifikasi RSPO pertamanya pada 2022.
"Produktivitas kebun yang lebih baik, praktik pengelolaan perkebunan yang lebih baik, pasokan yang konsisten, serta menjadikan petani turut terlibat membantu melindungi lingkungan untuk meningkatkan taraf hidup mereka," ujarnya.
RSPO-ISPO Dukung Ketelusuran
Harmonisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dapat mendukung traceability atau ketertelusuran minyak sawit Indonesia.
“Ada dua masalah utama dalam industri kelapa sawit Indonesia, yaitu status dan legalitas kepemilikan tanah, serta transformasi praktik petani kecil. RSPO dan ISPO memiliki cara berbeda untuk mengatasinya melalui Principles and Criteria mereka,” jelas Peneliti Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir.
RSPO, yang didirikan pada April 2004, merupakan sertifikasi berkelanjutan milik swasta untuk industri minyak sawit global. Sementara itu ISPO, yang diluncurkan pada 2011, merupakan sertifikasi pemerintah dengan dukungan kuat dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).
Selain itu, lanjut Faisol, permasalahan lainnya meliputi adanya beberapa data yang berbeda, praktik perkebunan di tanah air yang diwariskan dari budaya kolonial Belanda, pengakuan tanah adat/ulayat secara nasional.
Petani kecil yang memiliki atau mengoperasikan hampir separuh lahan budidaya kelapa sawit di seluruh nusantara juga memainkan peran yang sangat penting dalam transformasi industri melalui sertifikasi.
Meskipun ISPO dan RSPO pada dasarnya memiliki pendekatan yang tidak terlalu berbeda dalam mengikutsertakan lebih banyak petani kecil dalam sertifikasi mereka, penerapannya di lapangan berbeda karena kemampuan auditor/surveyor dalam menginterpretasikan Principles and Criteria masing-masing.
Harmonisasi kedua skema sertifikasi ini akan memberikan ketertelusuran rantai pasokan yang komprehensif dan kuat yang akan bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan industri (pemerintah, perusahaan, petani kecil, dan LSM) dalam memastikan keberlanjutan produk minyak sawit Indonesia.
Harmonisasi keduanya juga merupakan upaya merespons kampanye negatif terhadap minyak sawit Indonesia di pasar ekspor, khususnya pasar Global North. Untuk melakukannya, pertama-tama kedua sertifikasi harus menyelaraskan standar mereka (Principles and Criteria) untuk lebih mengakomodasi dan mencerminkan peraturan Indonesia dan norma dan prinsip yang diakui secara global yang mengatur keberlanjutan minyak sawit.
Tuntutan untuk ketertelusuran muncul dari meningkatnya permintaan dari konsumen akan bukti keberlanjutan dalam produk pertanian dan makanan yang mereka konsumsi. Kesadaran untuk menerapkan prinsip keberlanjutan di dalam keseharian membuat prinsip ini menjadi aspek mendasar dari setiap skema sertifikasi berkelanjutan di sektor pertanian pangan, termasuk minyak sawit.
Baca Juga: Industri Hilir Sawit Harapkan Pemerintah Antisipasi Hambatan Ekspor
Ketertelusuran dapat memverifikasi klaim keberlanjutan tertentu yang dibuat oleh perusahaan atau skema sertifikasi mana pun, membantu memastikan praktik pertanian yang baik dan menghormati masyarakat dan lingkungan di sepanjang rantai pasokan.
Penelitian CIPS terbaru merekomendasikan, ada beberapa perubahan terhadap Permentan Nomor 38/2020 yang dapat dilakukan untuk mengakomodasi lebih banyak petani swadaya dan meningkatkan serapan mereka ke dalam sertifikasi ISPO, seperti membuat standar yang dapat disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing daerah penghasil minyak sawit, dan membuka kemungkinan untuk harmonisasi lebih lanjut dengan standar RSPO global yang diakui di pasar minyak sawit global.
Pertama, dalam konteks legalitas lahan, pengelolaan dan kepatuhan terhadap peraturan, ISPO dapat mengikuti fleksibilitas standar RSPO dengan mengakui surat pernyataan/sumpah dari kepala desa sebagai bukti kepemilikan tanah.
Sementara jika petani kecil tidak membawa sertifikat tanah (SHM) saat audit sertifikasi, mereka dapat diizinkan untuk menggunakan surat dari Dinas Perkebunan setempat selama audit jika dokumen STDB dan SPPL mereka masih dalam proses.
Kedua, Pasal 11 Ayat 2 mengatur bahwa petani kecil dapat mengajukan sertifikasi ISPO secara individu atau kelompok (Gapoktan, koperasi). Namun dalam Prinsip 2 tentang penerapan praktik pertanian yang baik, petani kecil dianggap tidak memenuhi syarat untuk sertifikasi jika dia tidak dapat menunjukkan bahwa dia adalah anggota dari/mendirikan koperasi atau kelompok petani kecil lainnya.
Jika pemerintah bertujuan untuk mengorganisir praktik petani kelapa sawit di dalam negeri menjadi koperasi daripada individu untuk tujuan ketertelusuran, klausul ini harus konsisten dengan Principles and Criteria dari RSPO.