c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

03 Maret 2023

19:47 WIB

CIPS Dukung RSPO-ISPO Harmonisasi Ketertelusuran Sawit Indonesia

CIPS menilai masih sangat mungkin untuk menyelaraskan proses sertifikasi RSPO dan ISPO mengacu persyaratan dokumen untuk audit sertifikasi

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

CIPS Dukung RSPO-ISPO Harmonisasi Ketertelusuran Sawit Indonesia
CIPS Dukung RSPO-ISPO Harmonisasi Ketertelusuran Sawit Indonesia
Pekerja mengangkut kelapa sawit hasil panen di Desa Pucok Lueng, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Sabtu ( 4/2/2023). Antara Foto/Syifa Yulinnas

JAKARTA - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, skema Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tumpang tindih dan kontraproduktif terhadap kelapa sawit Indonesia. Karena itu, perlu harmonisasi kedua skema ini untuk dapat meningkatkan ketertelusuran (traceability) kelapa sawit Indonesia.

“Dua skema sertifikasi ini menunjukkan adanya tumpang tindih antara pasar dan negara, dalam lanskap kelapa sawit Indonesia. Hal ini menambah kerumitan dalam memastikan ketertelusuran,” jelas Peneliti CIPS Mukhammad Faisol Amir, Jakarta, Jumat (3/3).

Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam Standar Pangan Internasional atau Codex Alimentarius mendefinisikan ketertelusuran, sebagai kemampuan untuk mengikuti pergerakan pangan melalui tahap produksi, pemrosesan, dan distribusi tertentu. 

Urgensi ketertelusuran menjadi semakin besar, seiring meningkatnya permintaan konsumen akan bukti keberlanjutan dalam produk pertanian dan pangan yang mereka konsumsi. 

Pada akhirnya, ketertelusuran menjadi aspek mendasar dari setiap skema sertifikasi berkelanjutan, termasuk di sektor kelapa sawit.

Baca Juga: Dirjenbun: Realisasi Peremajaan Sawit Rakyat Masih Rendah

Saat ini, Indonesia memiliki dua skema sertifikasi kelapa sawit, yaitu RSPO dan ISPO. RSPO yang didirikan pada April 2004 merupakan sertifikasi berkelanjutan global pertama untuk komoditas kelapa sawit. 

Sertifikasi RSPO adalah bentuk tata kelola global yang melibatkan WWF, Unilever, Migros (perusahaan ritel terbesar di Swiss), AAK (salah satu produsen minyak dan lemak nabati terbesar di dunia), dan Malaysian Palm Oil Association (MPOA). 

RSPO menyatukan pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri yang berbeda, yaitu produsen, pengolah atau pedagang, produsen barang konsumen, pengecer, bank/investor, serta LSM lingkungan dan sosial. 

RSPO juga memantau kepatuhan-kepatuhan pihak ketiga terhadap Standar RSPO, terutama yang berkaitan dengan kinerja lahan, aspek sosial dan lingkungan.

Sementara ISPO, yang diluncurkan pada 2011, merupakan skema pemerintah dengan dukungan kuat dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Dalam praktiknya, ISPO menggabungkan beberapa peraturan pemerintah tentang produksi kelapa sawit menjadi satu instrumen. 

“Jika mengacu pada persyaratan dokumen untuk audit sertifikasi, sangat mungkin untuk menyelaraskan proses sertifikasi RSPO dan ISPO,” ungkap Faisol.

ISPO sudah memperbarui standarnya dan terbuka untuk memasukkan beberapa elemen prinsip yang sudah ada dalam RSPO ke dalam Permentan Nomor 38/2020 tentang Sertifikasi ISPO. Seperti konsep High Conservation Value (HCV) dan ketertelusuran rantai pasokan.

Penelitian CIPS terbaru merekomendasikan, ada beberapa perubahan terhadap Permentan 38/2020 yang dapat dilakukan. Untuk mengakomodasi lebih banyak petani swadaya dan meningkatkan serapan mereka ke dalam sertifikasi ISPO. 

“Seperti membuat standar yang dapat disesuaikan dengan konteks lokal masing-masing daerah penghasil minyak sawit, dan membuka kemungkinan untuk harmonisasi lebih lanjut dengan standar RSPO global yang diakui di pasar minyak sawit global,” terangnya.

Baca Juga: Merunut Tantangan Keberlanjutan Di Industri Sawit

Pertama, ISPO dapat mengikuti fleksibilitas standar RSPO dalam konteks legalitas lahan, pengelolaan dan kepatuhan terhadap peraturan. Dengan mengakui surat pernyataan/sumpah dari kepala desa sebagai bukti kepemilikan tanah. 

“Sementara, jika petani kecil tidak membawa sertifikat tanah (SHM) saat audit sertifikasi, mereka dapat diizinkan untuk menggunakan surat dari Dinas Perkebunan setempat selama audit jika dokumen STDB dan SPPL mereka masih dalam proses,” sebutnya. 

Kedua, Pasal 11 Ayat 2 mengatur bahwa petani kecil dapat mengajukan sertifikasi ISPO secara individu atau kelompok (Gapoktan, koperasi). 

Namun, dalam Prinsip 2 tentang penerapan praktik pertanian yang baik, petani kecil dianggap tidak memenuhi syarat untuk sertifikasi, jika tidak dapat menunjukkan bahwa dia adalah anggota dari/mendirikan koperasi atau kelompok petani kecil lainnya. 

“Jika pemerintah bertujuan untuk mengorganisir praktik petani kelapa sawit di dalam negeri menjadi koperasi daripada individu untuk tujuan ketertelusuran, klausul ini harus konsisten dengan RSPO Principles and Criteria (P&C),” sebutnya.

CIPS kembali menekankan, harmonisasi RSPO dan ISPO akan meningkatkan ketertelusuran dari lahan hingga produk akhir yang dikonsumsi oleh konsumen (farm to fork). Hingga kini, RSPO masih menjadikan ketertelusuran dari pabrik pengolahan Tandan Buah Segar (mill) dapat dilengkapi dengan ISPO yang ketertelusuran dimulai sejak di lahan sebagai persyaratan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar