29 Maret 2023
08:37 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Kalangan industri hilir sawit tanah air mengharapkan pemerintah menciptakan kebijakan dan dukungan, terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyatakan industri hilir sawit akan menghadapi tantangan berat baik di dalam dan luar negeri sebagai dampak resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat.
"Saat ini masih ada hambatan dagang kepada produk hilir sawit," ujar dia di Jakarta, Selasa (28/03), dilansir dari Antara.
Baca Juga: Nilai Ekspor Oleokimia 2022 Diperkirakan Capai US$5,96 Miliar
Saat ini, lanjutnya, Indonesia masih menunggu hasil gugatan kebijakan RED II kepada Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) yang ditangani oleh Dispute Settlement Body WTO melalui pendaftaran dengan kode WT/DS 593.
Proses penyelesaian sengketa DS 593 menghadapi sejumlah kendala antara lain kekosongan hakim juri/arbitrator di appellate body atau badan banding.
Minimnya hakim juri ini, lanjutnya, akibat blokade penunjukan arbitrator oleh Amerika Serikat semenjak 2017.
Kesulitan Tembus Eropa
Sementara itu, Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat, ekspor produk oleokimia ke Uni Eropa dikenai bea masuk anti dumping dengan kisaran 15% hingga 46%.
"Tarif ini sudah mulai diberlakukan pada Desember 2022 akibatnya anggota Apolin kesulitan menembus pasar Eropa," ujarnya.
Seiring pemulihan ekonomi, tambahnya, volume ekspor oleokimia mencapai 4,2 juta ton pada 2022 dengan negara tujuan utama ekspor adalah India, Tiongkok, dan Eropa. Nilainya mencapai US$5,4 miliar atau sekitar Rp83 triliun.
Sementara itu, ujar Rapolo, ekspor oleokimia ke Eropa pada 2022 sebesar US$1 miliar. Produk fatty acid menyumbang US$330 juta.
"Ini sebuah pencapaian bersama terutama keberpihakan pemerintah yang mendukung hilirisasi di Indonesia,” ujarnya.
Baca Juga: GIMNI: Pengembangan Riset Dan Inovasi Produk Hilir Sawit Terbuka Lebar
Dengan hambatan tarif ini, lanjutnya, pihaknya sudah menyampaikan kepada kementerian terkait.
"Untuk langkah ke WTO, ini harus dikaji bersama antara pelaku usaha dengan pemerintah,” katanya.
Terkait hal itu Ketua Umum Gimni Sahat Sinaga mengusulkan kebijakan penundaan Bea Keluar minyak sawit mentah (BK CPO) diberlakukan untuk menjaga daya saing industri sawit nasional di pasar global.
"Kalau bea keluar tetap jalan, diperkirakan ekspor sawit akan macet total. Harga tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Pasar ekspor juga lesu. Makanya, ekspor butuh insentif supaya daya saing kuat di pasar global," ujarnya.