21 Juli 2025
11:20 WIB
Perubahan Iklim Buat Belanja Rumah Tangga Melambung
Beberapa lonjakan harga pangan akibat perubahan iklim bersifat sementara, tetapi lonjakan harga kopi dan daging sapi akan berlangsung lama.
Editor: Khairul Kahfi
Petani mencabut gulma di lahan sawah miliknya yang mengalami kekeringan di Balongan, Indramayu, Jawa Barat, Senin (12/8/2024). Antara Foto/Dedhez Anggara
JAKARTA - Harga selada Australia melonjak sebesar 300%, sementara harga minyak zaitun Eropa naik 50% dan sayuran AS naik 80%. Para peneliti dari Pusat Superkomputer Barcelona dan Bank Sentral Eropa telah menelusuri kembali hubungan lonjakan harga tersebut dengan cuaca ekstrem yang mereka sebut terkait dengan perubahan iklim.
Dikutip dari Bloomberg, kelompok tersebut menganalisis 16 peristiwa cuaca di seluruh dunia antara tahun 2022 dan 2024. Menurut analisis yang dipublikasikan dalam jurnal peer-review Environmental Research Letters pada Senin pekan lalu di Eropa, banyak di antaranya sangat tidak biasa sehingga suatu wilayah belum pernah mengalami hal serupa sebelum tahun 2020.
"Kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya akan semakin umum di seluruh dunia," kata para penulis studi tersebut. “Pada saat yang sama, rekor baru untuk kondisi ekstrem akan terus tercipta, jauh lebih tinggi daripada kondisi yang saat ini diadaptasi oleh produksi pertanian dan sistem ekonomi."
Baca Juga: Waspadai El Nino, Kemendag Pantau Harga Bahan Pangan
Perubahan iklim membawa suhu yang lebih tinggi dan curah hujan ekstrem, yang dapat menurunkan hasil panen dan membuat harga panen menjadi lebih mahal. Tagihan makanan rumah tangga di Inggris, misalnya, meningkat sebesar £361 atau US$484 (atau Rp7,94 juta dengan kurs Rp16.410 per US$) pada tahun 2022 dan 2023 akibat perubahan iklim, menurut perkiraan Unit Intelijen Energi dan Iklim nirlaba. Staf ECIU, Tom Lancaster, adalah salah satu penulis studi baru ini.
Konsumen di seluruh dunia mengatakan mereka merasakan dampak perubahan iklim pada tagihan belanjaan mereka, membuat makanan menjadi tidak terjangkau bagi sebagian orang, dan menimbulkan tantangan bagi para bankir sentral yang berusaha mengendalikan inflasi.
Berikut adalah beberapa kenaikan harga yang diidentifikasi oleh para peneliti:
Lonjakan Harga Sayuran AS
Pada tahun 2022, California mengalami periode tiga tahun terkering yang pernah tercatat, meninggalkan hampir satu juta hektare lahan pertanian yang belum ditanami dan mengakibatkan kerugian pendapatan awal panen hampir US$2 miliar pada tahun itu saja.
Arizona, yang menanam sebagian besar pasokan selada musim dingin AS, juga mengalami penurunan jumlah air yang diterima negara bagian tersebut dari Sungai Colorado, akibat kekurangan air akibat kekeringan di wilayah sungai tersebut.
Kondisi di dua negara bagian pertanian utama AS ini, ditambah dengan Badai Ian yang melanda Florida, berkontribusi pada kenaikan harga sayuran di negara tersebut lebih dari 80% dibandingkan tahun sebelumnya.
Gelombang Panas yang Meluas di Asia
Gelombang panas memanggang Asia tahun lalu hingga mencapai suhu setinggi 46C. Peristiwa ini membuat pertanian terganggu, menyebabkan harga sayuran di Tiongkok naik lebih dari 40% antara bulan Juni dan September.
Kondisi panas dan kering juga membuat harga kubis Korea Selatan hampir 70% lebih mahal dibandingkan tahun sebelumnya, menurut laporan media lokal. Kubis napa menjadi bahan baku kimchi, hidangan pokok lokal, dan pemerintah telah memanfaatkan stok nasional untuk meningkatkan pasokan.
Harga Selada Australia Melonjak 300%
Australia Timur menghadapi banjir ekstrem yang memecahkan rekor pada awal 2022, yang segera diperkirakan menjadi banjir termahal yang pernah terjadi di Australia dan bencana termahal kelima. Kelangkaan selada yang diakibatkannya menyebabkan pembeli mengeluhkan harga sekitar A$12 atua $7,81, setara dengan Rp128.162 per bonggol selada gunung es.
Sebelumnya, selada tersebut dihargai sekitar A$2,80 per bonggol atau Rp45.948, menurut Guardian, yang menunjukkan kenaikan harga lebih dari 300%. Jaringan makanan cepat saji KFC bahkan mulai mengganti kubis dalam burgernya.
Apakah Inflasi Iklim Bersifat Permanen?
Harga cenderung merespons segera setelah satu atau dua bulan setelah terjadinya panas atau kekeringan ekstrem, kata Max Kotz, penulis utama studi dan peneliti pascadoktoral di Barcelona Supercomputing Center. Ia dan penulis lainnya juga mengamati seberapa tidak lazimnya peristiwa cuaca di setiap wilayah, berdasarkan distribusi ukuran seperti suhu dari waktu ke waktu.
Mereka menemukan bahwa panas, kekeringan, dan banjir terjadi dengan intensitas dan frekuensi yang meningkat. El Niño, pola iklim yang terjadi dari tahun 2023 hingga 2024, kemungkinan juga memengaruhi cuaca ekstrem yang diamati, kata para penulis.
Guncangan harga pangan semacam ini biasanya bersifat jangka pendek, karena harga yang tinggi mendorong peningkatan produksi, yang pada akhirnya menurunkan harga, kata Andrew Stevenson, analis iklim senior di Bloomberg Intelligence.
Namun, produk seperti kopi dan sapi merupakan pengecualian, karena membutuhkan kondisi tertentu seperti iklim tropis atau lahan penggembalaan yang luas sehingga membatasi tempat mereka dapat ditanam atau dikembangbiakkan.
Kontrak berjangka kopi dan sapi, kontrak yang mewakili harga jangka pendek di pasar tersebut, telah melonjak harganya sejak tahun 2020 — berbeda dengan kontrak berjangka untuk tanaman seperti jagung yang lebih mudah ditanam.
Baca Juga: Peneliti CIPS Ungkap Solusi Mahalnya Harga Pangan
Stevenson menambahkan, tarif baru AS dapat semakin menekan petani di luar negeri. "Hal ini menempatkan produsen pada posisi yang tidak nyaman karena harga daging sapi terlalu mahal untuk dijual di dalam negeri tetapi tidak cukup mahal untuk dijual dengan tarif 50%," tambahnya.
Cuaca ekstrem diperkirakan akan terus berlanjut, dan studi ini merekomendasikan agar negara-negara mempertimbangkan kebijakan yang akan membantu konsumen mengelola kenaikan harga pangan.
Namun, pada akhirnya, pemangkasan emisi gas rumah kaca dan pengendalian pemanasan global akan menjadi kunci untuk mengurangi risiko inflasi harga pangan, kata para penulis. Prakiraan iklim juga dapat memberikan peringatan dini, dan pertanian dapat menerapkan adaptasi seperti irigasi, meskipun kedua pendekatan tersebut memiliki keterbatasan yang serius.