18 Desember 2023
19:50 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengakui permintaan seafood dunia akan terus meningkat hingga tahun 2030 mendatang.
Mengutip riset yang dilakukan Skyquest, Sakti menyebut demand seafood pada tahun 2021 mencapai US$310,75 miliar, lalu menjadi US$338,47 miliar pada tahun 2022. Pada tahun 2030, permintaan seafood pun diproyeksi menyentuh US$730 miliar.
Sayangnya, Indonesia sebagai negara kepulauan selama ini hanya menjadi penonton dari tingginya permintaan seafood dunia. Menteri Sakti mengakui, Indonesia yang berstatus negara maritim dengan 108.000 km garis pantai belum bisa mengoptimalkan potensi tersebut.
"Kita negara maritim tapi belum bisa memaksimalkan potensi itu, sementara kita punya ruang yang luar biasa, CAGR-nya 8,9%. Ini harus direnungkan dan kemudian bagaimana untuk tata kelolanya," sebutnya dalam diskusi bertajuk Pembangunan Perikanan Budi Daya Berbasis Ekonomi Biru, Senin (18/12).
Karena itu, KKP tiga tahun belakangan telah menerbitkan beberapa peraturan, salah satunya ialah PP Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur untuk menjaga populasi perikanan di laut Indonesia.
Menteri Sakti menerangkan terbitnya beleid itu tak lepas dari banyaknya ikan yang punah karena penangkapannya tidak dikelola dengan baik.
"Kita mencoba untuk belajar tata cara mengelola perikanan dengan baik agar generasi mendatang mendapat manfaat dari sumber daya alam kelautan kita," jelas Sakti.
Baca Juga: Indonesia Siap Geber Ekspor Seafood Ke Spanyol
Regulasi tersebut pun diluncurkan untuk menjaga ekologi kelautan Nusantara. Pasalnya, ada banyak jenis kapal yang berlayar, mulai dari kapal perikanan, kapal niaga, hingga kapal logistik.
"Jangan-jangan 5-10 tahun lagi tidak ada cerita soal ikan cakalang, jangan-jangan 5-10 tahun lagi tidak ada cerita lagi soal baby tuna, semuanya sudah habis. Kira-kira itu esensi PP Nomor 11 Tahun 2023 diterbitkan," kata dia.
Dalam rangka optimalisasi potensi demand seafood global, Menteri Sakti juga akan memanfaatkan budi daya perikanan berkelanjutan yang juga menjadi inisiatif ketiga dari ekonomi biru.
Pemanfaatan budi daya perikanan telah diimplementasikan lewat kerja sama dengan Evergreen Group beberapa waktu lalu untuk membangun budi daya udang terintegrasi.
Sakti mengatakan perusahaan asal Tiongkok itu punya catatan penjualan komoditas udang sebanyak 220 ribu ton per tahun dengan omzet US$4 miliar atau sekitar Rp60 triliun.
"Penjualan perusahaan ini untuk udang 220 ribu ton satu tahun, itu baru satu komoditas dan dia ada beberapa komoditas," sambungnya.
Tak hanya itu, Evergreen Group yang berdiri sejak 1991 juga telah bekerja sama untuk menggarap riset dengan Yellow Sea Fisheries Research Institute. Kerja sama Evergreen dan Yellow Sea, terang Sakti, berhasil menciptakan indukan udang vaname dengan beribu variasi.
"Sementara kita belum punya kemampuan seperti mereka dan cara budi daya kita masih sangat tradisional," tutur dia.
Masih Tradisional
Soal produktivitas, Evergreen mampu memproduksi sekitar 40 ton per hektare. Sedangkan Indonesia dengan luasan 247.803 hektare baru mencatat produktivitas budi daya perikanan 0,6 ton per hektare.
"Artinya 1 ton per hektare pun tidak bisa tercapai karena budi dayanya masih tradisional," terangnya.
Sakti menambahkan budi daya tradisional yang ia maksud adalah mengambil air dari laut untuk budi daya udang, kotoran di buang ke laut, lalu kembali mengambil air dari laut.
Secara sederhana, air laut yang digunakan untuk budi daya produk perikanan sudah tercemar banyak bakteri. Hasilnya, panen yang baik hanya dirasakan paling banyak lima kali dan pada panen keenam mulai banyak udang yang penyakitan.
Baca Juga: KKP Rancang Aturan Turunan Penangkapan Ikan Terukur
Hasil budi daya tersebut ia katakan tidak akan laku di negara-negara maju. Hal itu yang menyebabkan ekspor budi daya perikanan hanya menyasar Amerika Serikat dan sebagian kecil ke China.
"Negara maju soal ini sangat ketat, standard budi daya yang benar seperti apa, lalu budi daya yang baik seperti apa. Kualitas kita tidak pernah masuk standard dan tidak pernah kita ekspor ke Eropa karena misalnya kadar air terlau tinggi dan seterusnya," imbuh Menteri Sakti.
Semestinya, kawasan budi daya memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah guna memastikan produk yang dihasilkan bebas dari bakteri. IPAL sendiri sudah diterapkan di Kebumen, Jawa Tengah dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain.
"Kepala Dinas, Bupati, dan lain sebagainya, harus mencontoh di Kebumen karena di situ ada IPAL. Sisa IPAL baru bisa dialirkan ke laut karena dipastikan bebas dari bakteri," tandas Sakti Wahyu Trenggono.