31 Oktober 2025
11:45 WIB
Perkuat Perbankan Syariah RI, Regulator Terbitkan 2 POJK Baru
Regulator menerbitkan dua Peraturan OJK (POJK) terbaru, yakni POJK 20/2025 dan POJK 21/2025, untuk memperkuat ketahanan dan daya saing industri perbankan syariah nasional. Buat apa saja?
Penulis: Fitriana Monica Sari
Ilustrasi - Nasabah dan pegawai sedang melakukan transaksi keuangan di kantor cabang BTN Syariah. Antara-HO BTN
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan dua Peraturan OJK (POJK) terbaru yang ditujukan memperkuat ketahanan dan daya saing industri perbankan syariah nasional.
Pertama, POJK 20/2025 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas (Liquidity Coverage Ratio/LCR) dan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio/NSFR) bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Kedua, POJK 21/2025 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pengungkit (Leverage Ratio) bagi BUS.
"Kedua POJK tersebut menjadi langkah penting dalam memperkuat struktur permodalan, likuiditas, dan pendanaan jangka panjang BUS dan UUS agar semakin tangguh, efisien, serta sejalan dengan standar internasional Basel III dan Islamic Financial Services Board (IFSB)," ujar Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK M. Ismail Riyadi dalam keterangan resmi, Jakarta, Jumat (31/10).
Baca Juga: OJK Ungkap Sejumlah Tantangan Yang Dihadapi Industri Keuangan Syariah
POJK 20/2025 Perkuat Pengelolaan Likuiditas
Lebih lanjut, dia menjelaskan, melalui POJK 20/2025, OJK memperkuat pengelolaan likuiditas jangka pendek dan kestabilan pendanaan jangka panjang pada industri perbankan syariah dengan mewajibkan Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) untuk senantiasa memelihara rasio Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) minimal sebesar 100% dengan penerapan secara bertahap.
"Ketentuan ini disusun untuk memastikan ketersediaan likuiditas jangka pendek yang memadai serta pendanaan jangka panjang yang stabil, sehingga BUS dan UUS memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengantisipasi kecukupan likuiditas yang dapat timbul akibat dinamika ekonomi dan volatilitas pasar keuangan," bebernya.
Lewat peraturan ini, Ismail lanjutkan, OJK mewajibkan BUS dan UUS untuk menghitung kecukupan likuiditas dan pemantauan pendanaan stabil bersih secara berkala, baik pada tingkat individu maupun konsolidasi, guna memastikan risiko likuiditas dikelola secara terukur dan transparan.
Pelaporan serta publikasi atas rasio-rasio tersebut akan dilaksanakan secara bertahap mulai 2026 hingga 2028, sejalan dengan kesiapan industri dan harmonisasi sistem pelaporan keuangan syariah.
POJK ini dirancang dengan mengacu pada standar global, yakni Basel III: The Liquidity Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Toolsserta The Net Stable Funding Ratio, dan memperhatikan Guidance Note GN-6 dari Islamic Financial Services Board (IFSB).
"Penerapan prinsip-prinsip tersebut memastikan bahwa sistem keuangan syariah Indonesia selaras dengan praktik terbaik internasional (best practices), sekaligus memperkuat kredibilitas dan daya saing BUS dan UUS di tingkat global," terangnya.
Baca Juga: Didominasi Pasar Modal, OJK: Market Share Aset Keuangan Syariah 11,47%
Dengan penerapan POJK ini, Ismail menuturkan, BUS dan UUS diharapkan mampu mengelola likuiditas dan pendanaan secara lebih disiplin, mengoptimalkan komposisi aset dan liabilitas, serta memperkuat kemampuan dalam menghadapi multiple scenario tanpa mengganggu fungsi intermediasi.
Pada saat yang sama, penguatan manajemen likuiditas dan pendanaan ini juga menjadi bagian dari implementasi Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023–2027.
Khususnya, dalam Pilar I mengenai penguatan struktur dan ketahanan industri perbankan syariah, yang bertujuan membangun ekosistem perbankan syariah yang tangguh, efisien, dan berdaya saing tinggi secara internasional. Serta, Pilar V, yaitu penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan perbankan syariah.
POJK 21/2025 Perkuat Ketahanan Modal BUS
Sementara itu, Ismail menguraikan bahwa POJK 21/2025 bertujuan untuk memperkuat ketahanan struktur permodalan BUS, dengan mensyaratkan indikator tambahan berupa leverage ratio sesuai standar internasional terkini.
Leverage ratio membantu peningkatan basic awareness industri dalam mengembangkan bisnis secara proporsional terhadap kapasitas permodalannya, tanpa menghitung benefit dari pembobotan risiko aset (risk-weighted assets) dan mitigasi risiko terhadap aset.
"Dengan kehadiran leverage ratio, diharapkan BUS semakin mampu mengantisipasi dampak deleveraging pada multiple scenario," tutur dia.
Menurut Ismail, penerbitan POJK ini merupakan implementasi pengukuran permodalan sesuai standar internasional terkini, yaitu Basel III tahun 2014 dan 2017, serta Islamic Financial Services Board (IFSB)-23 tahun 2021.
Baca Juga: OJK: Naik Hampir 10%, Total Aset Perbankan Syariah Capai Rp980 T
Di samping itu, lanjutnya POJK ini merupakan salah satu implementasi Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah (RP3SI) 2023-2027, terutama pada Pilar I mengenai penguatan struktur dan ketahanan industri perbankan syariah.
Melalui POJK ini, BUS diwajibkan untuk memelihara leverage ratio setiap waktu dengan threshold minimum sebesar 3%, dengan kewajiban pelaporan pertama kali mulai berlaku untuk posisi akhir kuartal I/2026 dan kewajiban publikasi mulai dari September 2026.
POJK ini mulai berlaku bagi BUS sejak tanggal diundangkan, yaitu pada 17 September 2025. Bagi BUS yang tidak mampu memenuhi threshold, dapat mengajukan rencana tindak kepada OJK untuk memperbaikinya. Kemudian, bagi BUS yang tidak mematuhi ketentuan ini dapat dikenai sanksi administratif baik denda maupun nondenda.
"Dengan terbitnya POJK Leverage Ratio bagi BUS, OJK mendukung terciptanya struktur permodalan BUS yang kuat, sehingga mampu menjadi pondasi bagi sistem perbankan syariah yang sehat, berkembang, dan berdaya saing global serta selaras dengan perkembangan standar internasional," pungkas Ismail.