c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

03 Agustus 2024

14:08 WIB

Peringkat RI Turun Sebagai Negara Penghasil Kakao Dunia, Ada Apa?

Setidaknya ada delapan kendala yang diidentifikasi Kementerian Pertanian sebagai penyebab turunnya peringkat Indonesia  dari peringkat tiga negara penghasil kakao dunia.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Peringkat RI Turun Sebagai Negara Penghasil Kakao Dunia, Ada Apa?</p>
<p id="isPasted">Peringkat RI Turun Sebagai Negara Penghasil Kakao Dunia, Ada Apa?</p>

Petani memetik buah kakao yang membusuk dari pohonnya di Desa Takosang, Mamuju, Sulawesi Barat, Kamis (20/5/2021). ANTARA FOTO/Akbar Tado

JAKARTA - Indonesia tidak lagi masuk dalam Top 3 negara penghasil biji kakao dunia. Berdasarkan International Cocoa Organization (ICCO) pada 2022-2023, Indonesia berada di posisi ke-7 negara produsen biji kakao.

Sebelumnya, Indonesia menjadi produsen biji kakao terbesar ke-3 dengan volume produksi mencapai 667.000 ton. Kemudian pada 2022-2023, produksinya anjlok menjadi hanya 180.000 ton.

Sementara untuk kategori penghasil komoditas kakao olahan, Indonesia menduduki ranking ke-3 di dunia, setelah Belanda dan Pantai Gading.

Melihat tantangan menurunnya produksi kakao RI, Kementerian Pertanian (Kementan) menilai, ada beberapa faktor yang menghambat pertumbuhan produksi kakao. Dirjen Perkebunan Kementan, Andi Nur Alamsyah menyebutkan, sedikitnya ada 8 faktor penyebab anjloknya produksi kakao.

"Produktivitas rata-rata kakao 715 kg/ha, masih jauh dari potensinya, karena pemeliharaan tanaman yang kurang optimal dan belum sepenuhnya menerapkan good agricultural practice atau GAP," ujarnya kepada Validnews, Sabtu (3/8).

Baca Juga: Ikhtiar Mengembalikan Kejayaan Kakao Nusantara

Andi pun memaparkan 8 faktor yang menghambat pertumbuhan produksi kakao. Pertama, tingkat adopsi teknologi atau GAP relatif rendah. Kedua, penggunaan benih kakao yang masih banyak digunakan tidak berasal dari sumber benih yang resmi dan tidak diketahui standar mutunya.

Ketiga, harga yang fluktuatif karena lemahnya kemitraan sehingga petani tidak memiliki posisi tawar yang kuat.

Keempat, perubahan iklim, seperti kenaikan suhu udara, pergeseran musim dan adanya iklim ekstrim El Nino dan La Nina. Itu menyebabkan kekeringan, memacu peningkatan serangan OPT dan menurunkan produktivitas.

Kelima, sumber daya manusia (SDM) pekebun atau kapasitas petani belum optimal. Andi menerangkan, sekitar 40% petani kakao memiliki tingkat pendidikan rendah atau bahkan putus sekolah.

Keenam, kelembagaan yang masih lemah dalam kemitraan maupun lembaganya sendiri, hal ini melemahkan daya saing, efisiensi usaha, serta fasilitas alat dan permodalan petani.

Ketujuh, keterbatasan modal usaha, petani-petani kakao masih merupakan petani kecil dengan lahan rata-rata 0,2 ha. Kedelapan, rendahnya daya saing produk karena belum konsistennya mutu biji kakao yang diproduksi oleh petani.

"Ini beberapa kendala yang dicermati menjadi faktor penghambat pertumbuhan produksi kakao," kata Dirjen Perkebunan Kementan.

Masalah Peremajaan Kakao dan Impor
Andi juga menyampaikan, kakao Indonesia kondisinya sangat beragam. Ia menyoroti, bahwa 99,63% lahan kakao diusahakan oleh perkebunan rakyat dengan kepemilikan lahan kurang lebih 1,0 ha.

Ia mengungkapkan, kondisi pertanaman kakao nasional 20,43% di antaranya merupakan tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak (TTM/TR). Jika sudah begini, pemerintah harus melakukan peremajaan (replanting). Namun, ia mengeklaim pundi-pundi negara tidak mencukupi untuk melakukan replanting untuk lahan seluas itu.

"TTM/TR harus dilakukan peremajaan, sedangkan kemampuan APBN hanya 3,10% dari luas total TTM/TR yang perlu diremajakan," imbuh Andi.

Baca Juga: Diatur BPDPKS, Asosiasi Optimistis Produktivitas Kakao Meningkat

Di samping itu, Kementan melihat kakao olahan made in Indonesia justru mengalami peningkatan, karena tumbuhnya investasi di industri kakao RI. Saat ini, terdapat 11 industri pengolahan kakao domestik.

Andi mengatakan, kapasitas terpasang industri kakao tersebut mencapai 739.250 ton/tahun. Sayangnya, bahan baku biji kakao yang digunakan untuk menghasilkan kakao olahan mayoritas diimpor dari negara lain.

Ia pun mengakui, hal tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah RI untuk meningkatkan produksi kakao nasional.

"32% bahan bakunya di-supply oleh biji kakao lokal dan sebanyak 68% dipenuhi oleh impor," ungkap Andi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar