01 Agustus 2024
21:00 WIB
Ikhtiar Mengembalikan Kejayaan Kakao Nusantara
Bukan lagi produsen ketiga terbesar di dunia untuk kakao, Indonesia kini berada di urutan ke-7. Penurunan produksi terancam alih fungsi lahan.
Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma, Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Petani memetik buah kakao di Kebun Cokelat Desa Ekasari, Jembrana, Bali, Rabu (23/2/2022). Antara Foto/Fikri Yusuf
JAKARTA – Pertengahan Juli lalu, International Cocoa Organization (ICCO) merilis Laporan Pasar Kakao untuk Juni 2024. Salah satu kesimpulan utama dari laporan ini adalah sebanyak 81% tanaman kakao di Ghana, wilayah penghasil kakao terbesar kedua di dunia, terinfeksi Penyakit Tunas Kakao Bengkak (Cocoa Swollen Shoot Disease/CSSVD).
Pada saat laporan ini dibuat, CSSVD juga menyebar di Pantai Gading, dan wilayah dengan prevalensi penyakit tertinggi belum diumumkan kepada publik oleh pihak berwenang Pantai Gading.
Ghana dan Pantai Gading bersama-sama menghasilkan sekitar 60% kakao dunia. Padahal, sebelum muncul laporan tersebut, dunia sudah kekurangan pasokan kakao, yang membuat harga meroket dan membuat industri pangan tak lagi mencicip manisnya bisnis coklat, produk turunan kakao.
Soal harga, juga sama tak enaknya kabar didengar. Dilansir dari Food Chain Magazine, di awal 2024, harga kakao melonjak hingga lebih dari US$11.000 per metrik ton—angka yang hampir tiga kali lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata sejak tahun 1980an.
Pergolakan ini dipicu oleh kombinasi penuaan pohon kakao, penyakit, dan pola cuaca yang berfluktuasi, khususnya di Pantai Gading dan Ghana. Negara-negara ini mengalami anjloknya produksi akibat penyakit busuk buah dan curah hujan yang tidak teratur. Bisa ditebak, kondisi ini mendorong pasar ke dalam kondisi yang bergejolak, di mana harga bergantung pada perdagangan spekulatif dan pergerakan rantai pasokan yang reaktif.
Confectionery News merilis artikel yang memperkirakan harga kakao akan tetap tinggi hingga akhir 2024, dan memukul industri coklat dan permen dunia.
Kurang manisnya bisnis cokelat juga didata Laporan ICCO lewat laporan yang sama. Organisasi kakao dunia itu menegaskan, meskipun saat ini terjadi kekurangan biji kakao secara global, tidak tepat jika dikatakan bahwa semua negara produsen mengalami penurunan produksi pada musim yang sedang berlangsung.
Di luar Afrika Barat, produksi dan ekspor dari negara-negara di benua Amerika, seperti Ekuador, meningkat. Negara ini meraup keuntungan dari tingginya harga kakao internasional dan melakukan investasi pada produksi kakao.
Lalu, bagaimana dengan kakao di Tanah Air? Apakah petani dan pelaku usaha ikut menangguk keuntungan. Sayangnya, Indonesia telah mencatatkan penurunan produksi kakao berturut-turut belakangan ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat setidaknya sejak 2019 produksi kakao Indonesia terus menyusut. Di 2019, produksinya mencapai 774,2 ribu ton, lalu turun ke 720,6 ribu ton di 2020. Produksi semakin turun ke angka 688,21 ribu ton di 2021, berkurang menjadi 650,6 ribu ton di 2022, dan 641,7 ribu ton di 2023.
Indonesia pun harus melepas kebanggaan sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia pada 2019/2020 dan tahun-tahun sebelumnya. Di periode 2021/2022, Indonesia harus puas berada di posisi ke-7 produsen terbesar kakao dunia.
Luas lahan yang menyusut menjadi salah satu penyebab, selain turunnya produktivitas akibat tanaman tua dan aneka penyakit. BPS mencatat luas perkebunan kakao hanya tersisa 1,42 juta hektare di 2022, dari 1,61 juta hektare di 2018 akibat alih fungsi ke komoditas lain yang dianggap memberi keuntungan lebih.
Masalah penurunan produksi kakao sudah lama diidentifikasi pemerintah. Tecermin dari program Gerakan Nasional Peningkatan Mutu dan Produksi Kakao (Gernas Kakao) yang dimulai tahun 2008, dengan anggaran Rp1 triliun selama tiga tahun.
Dilansir dari Antara, program itu pun diperpanjang dengan anggaran yagn lebih besar. Kamis (14/5/2015), Jusuf Kalla, Wakil Presiden saat itu, menyebut anggaran Rp1,2 triliun agar program bisa diimplementasikan lebih luas. Langkah ini untuk mendukung target pemerintah produksi kakao naik hingga 50% pada 2020.
“Dari semua komoditi dunia yang harganya turun, hanya kakao yang naik. Dan dari tiga negara terbesar penghasil kakao di dunia, Indonesia yang paling stabil. Ini artinya, kita punya potensi penting di bidang ini,” ujarnya.
Nyatanya, program besutan pemerintah itu dianggap kurang mumpuni. Alih-alih naik 50% seperti target pemerintah, produksi kakao justru melesu.
Pemerintah pun mengeluarkan jurus lain. Teranyar, muncul rencana memasukkan pengelolaan kakao ke dalam Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
BPDPKS sendiri pada dasarnya merupakan badan yang bertugas mengelola komoditas kelapa sawit lewat berbagai program, yakni peremajaan sawit rakyat, pengembangan sarana dan prasarana, penelitian dan pengembangan, pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar nabati, dan lain sebagainya.
Dengan penambahan komoditas kelolaan itu, nama BPDPKS pun juga bakal berubah menjadi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Rencana tersebut digadang-gadang jadi strategi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kakao dan mengembalikan masa kejayaan komoditas kakao.

Perbaikan Tata Kelola
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera menjelaskan alasan pemerintah memasukkan pengelolaan kakao ke dalam BPDPKS. Kepada Validnews, Dida menerangkan rencana itu menjadi langkah perbaikan tata kelola komoditas kakao.
Apalagi saat ini, industri hilir dari kakao sudah mulai berkembang dengan rerata kapasitas produksi di kisaran 600-800 ribu ton per tahun. Tetapi, karena adanya penurunan produksi di sektor hulu, impor kakao terpaksa dilakukan untuk memenuhi kapasitas di sektor hilir.
”Saat ini kapasitas industri (hilir) kakao sekitar 600-800 ribu ton. Karena produksinya menurun, akhirnya kita impor kakao. Nah, sekarang ini harga kakao lagi tinggi, kita kehilangan kesempatan. Untuk percepatan membangkitkan lagi perkebunan kakao, dimasukkanlah ke dalam lingkup BPDPKS,” jelas Dida saat berbincang via telepon dengan Validnews, Rabu (31/7).
Di tempat berbeda, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengklaim usulan kelembagaan kakao serta kelapa pertama kali dicetuskan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam sebuah sesi rapat kabinet beberapa waktu lalu.
Febri mengatakan, adanya kelembagaan diharapkan bisa meningkatkan produksi perkebunan kakao, kemudian bisa memberi dampak juga terhadap nilai tambah setelah hilirisasi. Akan tetapi, karena kelembagaannya masih baru, belum ada iuran yang ditarik dan belum ada dana yang dikelola.
"Makanya dia (kakao) diikutkan ke BPDPKS. Maka waktu itu rapat kabinetnya dibentuk kedeputian kakao dan kelapa, jadi kami dukung itu,” terangnya saat disambangi Validnews di Kantor Kemenperin.
Lebih lanjut, Dida Gardera menjelaskan adanya sederet hal yang tengah pemerintah rapihkan.
”Kita tidak melihat siap atau tidaknya. Kalau tidak siap ya kita siapkan. Intinya kakao ini perlu didukung, konsep teknisnya seperti apa itu sedang dalam pembahasan internal,” paparnya.
Artinya, rencana memasukkan pengelolaan kakao ke dalam tubuh BPDPKS itu masih dalam pembahasan. Dirinya pun tak bisa memprediksi kapan hal itu bisa terlaksana. Persiapan yang dilakukan oleh pemerintah utamanya mengenai sisi regulasi, program peremajaan kakao, hingga pada skema pembiayaan kepada perkebunan kakao.
“Jadi, belum ada keputusan, masih kita diskusikan internal,” tandas Dida.
Tahapan pembahasan itu dijelaskannya lebih intens dilakukan di masing-masing kementerian/lembaga untuk kemudian didiskusikan dalam satu meja bersama guna menyepakati common goals pengelolaan kakao nasional.
Awas Melenceng dari Tujuan
Beberapa pihak masih menyimpan kekhawatiran soal pelaksanaan rencana ini. Pasalnya, BPDPKS dinilai belum begitu sukses mengelola perkebunan kelapa sawit.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso menjelaskan BPDPKS pada dasarnya punya tugas mengumpulkan dana dari perkebunan kelapa sawit, utamanya dari ekspor. Dengan dana yang tidak sedikit, salah satu tujuan BPDPKS ialah untuk meremajakan sawit rakyat.
Sayang beribu sayang, Dwi menilai dalam pelaksanaannya, dana kelolaan BPDPKS itu sangat sedikit yang digelontorkan untuk meremajakan kelapa sawit. Dana tersebut kebanyakan justru digunakan untuk subsidi biosolar atau jauh melenceng dari tujuan awal.
”Jadi kalau digabungkan berarti menjadi satu kesatuan. Kalau kemudian dananya digulirkan lagi hanya untuk program subsidi biodiesel, lalu apa manfaatnya? Saya khawatir tujuan awalnya untuk peremajaan kakao juga tidak tercover,” jabar Dwi ketika dihubungi Validnews dari Jakarta, Senin (29/7).
Dijelaskannya, setiap komoditas perkebunan punya karakteristiknya masing-masing, termasuk kakao. Lain halnya dengan kelapa sawit yang didominasi oleh perusahaan raksasa, sebanyak 90% perkebunan kakao justru merupakan kelolaan petani atau perkebunan rakyat.
Karena itu, dia menilai, ada baiknya subsidi itu dialihkan untuk peremajaan kebun kakao. Saat ini, komoditas kakao sangat membutuhkan uluran tangan dari pemerintah.
Eks-Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengamini kinerja BPDPKS belum seefektif yang diharapkan. Senada dengan Dwi Andreas, Anton mengakui dana yang dikelola BPDPKS dari perkebunan kelapa sawit lebih banyak digunakan untuk biodiesel dan dikuasai oleh konglomerat.
Kondisi itu, sambung Anton, membuat target-target BPDPKS banyak yang tidak tercapai, khususnya terkait replanting kebun kelapa sawit.
”Misalnya uang BPDPKS larinya ke mana coba banyaknya? Masa tidak tahu? Ke Biodiesel. Biodiesel punya siapa? Konglomerat,” imbuhnya sambil tertawa saat dihubungi Validnews, Rabu (31/7).
Tanpa bermaksud mengabaikan dampak positif biodiesel, dia menjelaskan pengelolaan dana tersebut bakal jauh lebih bermanfaat jika disalurkan kepada para petani.
”Biodiesel memang nantinya untuk masyarakat juga, tapi di sana sudah ada pengambilan keuntungan dong. Bukan berarti biodiesel tidak bermanfaat, bermanfaat. Tetapi, manfaatnya akan lebih kalau untuk jutaan orang, jutaan petani kakao. Jangan sawit saja, apalagi kalau sawitnya lari ke biodiesel sebagian besar, aduh sayang banget berapa itu yang mendapat keuntungan," papar Anton.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Arief Zamroni secara umum mendukung langkah pemerintah memasukkan pengelolaan kakao ke dalam BPDPKS dalam rangka mengembalikan era kejayaan komoditas tersebut.
Namun demikian, Arief mengungkapkan hingga kini pihaknya tak pernah mendapat undangan dari pemerintah guna membicarakan hal tersebut. Padahal, APKAI punya sederet catatan yang penting untuk mewujudkan misi pemerintah guna membenahi komoditas kakao.
"Saya belum pernah diundang secara khusus obrolin itu, belum ada. Malah yang bukan petani yang diajak ngobrol, saya tidak tahu itu,” ungkapnya saat berbincang dengan Validnews, Selasa (30/7).
Karenanya, Arief mengingatkan jangan sampai pemerintah mengulangi kesalahan yang terjadi pada Gernas Kakao yang dilancarkan dahulu kala. Pasalnya, ada satu catatan besar mengenai pengelolaan kakao yang dilakukan oleh lembaga yang tidak berkompeten, di tengah sedikitnya keberhasilan program Gernas Kakao era 2010-2011 silam.
”Yang kita lakukan di 2010-2011 itu sudah cukup berhasil, tapi ada catatan itu bisa terulang lagi, salah satunya kan dikelola oleh lembaga atau badan yang tidak kompeten. Itu terjadi dulu,” terang Arief.
Pemerintah tak boleh abai terhadap status kakao Indonesia yang semakin ke sini semakin memprihatinkan. Perhatian penuh pemerintah diperlukan untuk mengatasi tantangan yang menghambat pengembangan hulu industri kakao, mulai dari menuanya tanaman kakao, alih fungsi lahan perkebunan, hingga menurunnya produktvitas akibat kondisi cuaca.
Di atas kertas, APKAI total lahan perkebunan kakao Indonesia sebenarnya mencapai 1,3 juta hektare. Tetapi di lapangan, kemungkinan bisa lebih kecil 307 hektare atau di kisaran 1 juta hektare. Alih fungsi lahan terhadap lahan kakao, minim pelaporan.
Libatkan Petani di Hilir
Menilik kenyataan di atas, pada dasarnya, Dwi Andreas Santoso menilai rencana membenahi tata kelola komoditas kakao merupakan ide yang cemerlang. Rencana itu bakal sangat membantu petani kakao yang mengalami kesulitan terkait proses lanjutan atau pascapanen.
"Kakao ini yang terpenting pascapanen, itu fermentasi, itu yang terpenting. Itu juga yang menentukan harga kakao yang dijual petani bisa meningkat atau tidak, proses fermentasinya seperti apa. Jadi kalau dari sisi petani perlu terkait dengan itu,” kata Dwi.
Namun demikian, dia menyerukan agar lebih baik petani juga mengelola industri hilir dari kakao mengingat 90% perkebunan kakao merupakan perkebunan rakyat.
Pengelolaan industri hilir oleh petani bisa dlakukan dalam bentuk koperasi maupun organisasi lainnya. Dengan begitu, petani bakal lebih berkapasitas dan dengan sendirinya punya keinginan memperbaiki produktivitas.
"Itu bisa didorong oleh pemerintah. Katakanlah setiap 10 ribu hektare kebun atau berapa, mereka memiliki industri hilirnya sendiri,” sambungnya.
Pemerintah bisa mendorong hilirisasi perkebunan yang dieksekusi langsung oleh para petani. Dwi menyebutkan hal itu bakal lebih efektif untuk membenahi tata kelola komoditas kakao.
"Walau banyak sekali contoh yang dibantu pemerintah itu hancur-hancur, tapi bisa diuji coba lah. Dalam arti, pemerintah membantu petani berserikat dan berkelompok, lalu pemerintah bantu mendirikan industri hilirnya yang sahamnya diserahkan sepenuhnya pada petani,” pungkasnya.