15 April 2024
18:47 WIB
Perang Iran-Israel Beri Tekanan Tambahan Pada IHSG
Dibanding perang Iran-Israel, pemodal lebih memandang sentimen masih tingginya tingkat suku bunga bank sentral dunia yang justru cenderung menekan kinerja IHSG saat ini
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
Pegawai melintas di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Global (IHSG) di Gedung Bursa Efek, Jakarta, Kamis (28/3/2024). ValidNewsID/Darryl Ramadhan
JAKARTA - Ekonom Eisenhower Fellowships Bambang Brodjonegoro menilai, perang Iran-Israel akan memberikan tekanan pada pasar modal Indonesia. Namun, tekanan paling besar tetap akan datang dari tingginya tingkat suku bunga bank sentral dunia yang memicu aliran modal keluar dan menekan kinerja IHSG.
“Jadi setiap kali ada keputusan The Fed yang dianggap tidak sejalan dengan ekspetasi market, maka akan terjadi semacam capital outflow,” jelasnya dalam diskusi daring Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI yang Validnews pantau di Jakarta, Senin (15/4).
Selain saham, aliran modal ke luar negeri juga terjadi pada instrumen Surat Berharga Negara (SBN) RI yang dimiliki investor asing.
Jika didalami, investor saham asing di pasar modal Indonesia terbagi ke investor jangka panjang (long term), serta traders yang bergerak hit and run mencari profit.
Adapun, kondisi bergejolak seperti saat ini akan dominan dilakukan traders saham hit and run karena cepat-cepat mengamankan dananya ke safe haven, seperti dolar AS maupun surat berharga pemerintah AS (US Treasury). Keduanya dipandang sebagai tempat investasi yang paling aman di tengah terpaan risiko gejolak dunia.
“Saya melihat, memang akan ada tekanan (perang Iran-Israel) terhadap IHSG, tapi tekanan itu juga dibagi dengan dampak dari tingkat bunga (bank sentral dunia) yang tetap tinggi,” jelasnya.
Singkatnya, melonjaknya tensi perang Iran-Israel akan membuat investor portofolio beralih mencari instrumen dolar AS dan SBN AS, sebagai aset safe haven atau investasi berisiko rendah. Hal ini akan semakin menekan kondisi IHSG maupun rupiah yang tengah melemah saat ini.
Soal stabilitas rupiah, Kepala BRIN 2019-2021 ini pun optimistis Bank Indonesia tengah berupaya keras melakukan proses penyelamatan mata uang garuda yang melemah hari-hari ini. Lewat segenap intervensi moneter untuk meredam fluktuasi rupiah agar tidak bergerak terlalu tajam.
“Tapi dari sejak kapan pun, BI tidak dalam posisi untuk mengejar target apapun, karena itu akan costy dari segi pemakaian cadangan devisanya,” urainya.
Kalau mau ditilik lebih jauh, fenomena menguatnya greenback terjadi kepada semua mata uang dunia. Hal ini terjadi lagi-lagi karena keputusan The Fed yang menahan, tidak memotong, dan menurunkan suku bunganya sampai rapat Federal Reserve berikutnya.
“Itu yang membuat market agak kecewa,” sebutnya.
Dirinya kembali menyampaikan, Indonesia patut mewaspadai pelebaran defisit neraca berjalan akibat neraca perdagangan yang surplusnya menipis serta defisit neraca jasa yang kemungkinan melebar. Ditambah seretnya arus modal masuk (inflow) untuk mengompensasi defisit tersebut.
“Agak susah, karena yang terjadi adalah capital outflow (arus modal keluar).
Baca Juga: Membengkak, Portofolio Asing Kabur Dari RI Rp8,07 T Pekan Ini
Dalam paparannya, Bambang mengungkapkan, keputusan The Fed menahan posisi suku bunganya sangat dapat dipahami karena tingkat inflasi di Negeri Paman Sam masih di atas target. Demikian juga yang terjadi pada keputusan bank sentral Jepang.
Dirinya pribadi juga masih tetap teguh dengan prediksi penurunan Fed Fund Rate (FFR) yang tidak mungkin terjadi sebelum pertengahan 2024 ini.
“Kemungkinannya, The Fed tidak akan menurunkan tingkat bunga cepat-cepat. Hari ini kenapa rupiah mengalami pelemahan sebelum ada isu Iran-Israel? Itu lebih karena dolar AS menguat terhadap semua mata uang… Karena semua pihak kecele karena menyangka The Fed akan segera melakukan pemotongan suku bunga,” urainya.
Bambang pun belum bisa memprediksi potensi melemahnya mata uang rupiah bakal bergerak sejauh apa. Karena secara eksternal saja, Indonesia akan menghadapi tantangan serius yang bisa membuat rupiah menjadi kembali tertekan.
Situasinya pun akan cukup rumit, karena BI tidak mungkin menggunakan sejumlah besar cadev sebagai intervensi moneter untuk menahan laju fluktuasi nilai tukar rupiah-dolar AS. Karena, akibatnya akan fatal.
“Bahkan kalau pun BI menaikkan suku bunga, barangkali efeknya tidak akan terlalu kuat (menjaga rupiah). Karena memang kejadiannya adalah dolar AS menguat terhadap semua mata uang sebagai akibat tingkat bunga yang tinggi, ditambah (perang) Iran-Israel ini, investor seperti biasa akan ke safe haven,” sebutnya.
Rupiah Melemah Ke 16.000
Sebelumnya, Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto menjelaskan, pelemahan rupiah Indonesia terhadap dolar AS yang sudah menembus level 16.000 terjadi karena mekanisme transaksi yang terjadi di pasar luar negeri, seperti di pasar non-deliverable forward (NDF) Singapura.
Sebenarnya, lanjut Myrdal, rupiah Indonesia terhadap dolar AS masih belum menyentuh level 16.000 di pasar Foreign Exchange (FX) domestik karena masih menghadapi libur panjang Idulfitri 2024.
“Rupiah terlihat melemah karena posisi dolar AS yang tengah menguat secara global maupun regional Asia. Tercermin dari posisi variabel indeks Dollar DXY yang posisinya terus menanjak,” katanya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Sabtu (13/4).
Penguatan indeks Dollar DXY tersebut merupakan gambaran dari perpindahan arus dana di pasar keuangan internasional yang mengarah pada pergerakan pelaku pasar global, baik di pasar saham maupun obligasi, karena ingin memindahkan aset investasinya ke pasar Amerika Serikat.
Utamanya pasar obligasi AS yang terlihat lebih menarik saat yield dari surat utangnya terus dan terlihat meningkat saat ekspektasi penurunan bunga the Fed semakin tidak pasti (uncertain).
Dia mengungkapkan, pergerakan rupiah Indonesia-dolar AS di pasar FX lokal baru akan dibuka pada Selasa (16/4) nanti. Secara fundamental, tren permintaan dolar AS di dalam negeri memang dalam tren yang meningkat.
Baca Juga: Ada Long Weekend, Asing Lanjut Lepas Portofolio Lokal Rp1,36 T
Salah satunya disebabkan kebutuhan impor BBM maupun bahan pangan yang secara permintaan kebutuhannya meningkat. Dalam menghadapi faktor musiman lebaran maupun harga komoditas global untuk energi maupun pangan saat ini tengah menanjak.
“Wajar kalau kita melihat posisi surplus neraca dagang Indonesia pada Februari 2024 anjlok ke level di bawah US$1 miliar,” paparnya.
Sementara, kebutuhan lain dolar AS di dalam negeri untuk aksi investor asing yang ingin melakukan outflow dengan melakukan profit taking, maupun pemberian distribusi dividen yang juga tengah berlangsung saat ini.
“Jadi, wajar kalau di pasar FX luar negeri, posisi dolar AS-rupiah Indonesia saat ini sudah break ke level di atas 16.000,” sebutnya.
Myrdal pun memproyeksi, posisi dolar AS-rupiah Indonesia pada pada Selasa (16/4) kemungkinan akan bergerak menyesuaikan dengan tren penguatan dolar AS secara global. Di mana investor global akan melakukan aksi outflow dengan profit taking di pasar obligasi domestik.
Adapun obligasi seri benchmark, seperti FR0100 maupun FR0101, beserta yang seri tenor pendek akan menjadi seri favorit yang akan dijual oleh investor global, baik dari sisi investor fund manager maupun dari pihak Central Bank negara lain yang menaruh uangnya di pasar obligasi Indonesia.
Jika ditelisik, investor fund manager akan melakukan aksi safe haven measures maupun arbitrage investment. Sedangkan, investor bank sentral negara lain akan berusaha menarik dolar AS di Indonesia untuk mengisi suplai dolar AS sebagai kebutuhan intervensi nilai tukarnya.
“Di sisi lain, pelaku pasar seperti importir BBM maupun pangan, serta importir korporat untuk pemenuhan bahan baku produksi juga akan langsung tancap gas meminta dolar AS bagi kebutuhan rutinnya pada hari pertama pembukaan perdagangan selepas libur panjang,” urainya.
Upaya Intervensi Segera
Dengan kondisi tersebut, Myrdal menyampaikan, Bank Indonesia kemungkinan akan melakukan aksi intervensi. Agar sebisa mungkin menahan volatilitas drastis dari pergerakan rupiah Indonesia terhadap dolar AS.
Pelemahan rupiah terhadap dolar AS kelihatannya akan ditahan untuk tidak melemah ke level psikologis di atas 16.000 pada Selasa nanti juga. “BI akan kembali mengandalkan cadangan devisanya untuk melakukan intervensi di pasar Spot Rupiah, DNDF, maupun pasar sekunder obligasi domestik,” sebutnya.
Secara realitas, posisi suplai dolar AS di dalam negeri saat ini juga tengah menurun. Seiring dengan surplus neraca dagang yang menurun dengan nilai defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang berangsur melebar dan tren outflow pasar obligasi yang terus terjadi.
Kalaupun ada inflow, kemungkinan pelaku pasar keuangan akan masuk ke pasar instrumen keuangan BI, seperti SRBI maupun SVBI, dan SUVBI, serta pasar saham. Porsi net inflow instrumen tersebut ke pasar keuangan nasional tidak sebesar net outflow di pasar surat utang negara domestik.
“Instrumen keuangan BI bertenor pendek kurang dari setahun menawarkan imbal hasil relatif menarik. Sementara, pasar saham domestik terlihat menarik, terutama emiten sektor komoditas pangan, perkebunan, batubara dan mining yang valuasinya terlihat lebih atraktif karena permintaan maupun harga komoditas meningkat di pasaran global,” terangnya.