c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

03 September 2024

12:17 WIB

Penurunan PMI Manufaktur Agustus 2024 Cerminkan Lemahnya Permintaan Dalam Negeri

Penurunan PMI Manufaktur Agustus 2024 menunjukkan sisi permintaan barang-barang industri di dalam negeri sedang alami pelemahan.  

Penulis: Khairul Kahfi

<p>Penurunan PMI Manufaktur Agustus 2024 Cerminkan Lemahnya Permintaan Dalam Negeri</p>
<p>Penurunan PMI Manufaktur Agustus 2024 Cerminkan Lemahnya Permintaan Dalam Negeri</p>

Ilustrasi. Sejumlah pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di salah satu pabrik garmen di Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (15/1/2023). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA - Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menekankan, kelanjutan penurunan PMI Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 merupakan anomali. 

Pasalnya, manufaktur semestinya makin bergeliat saat ini untuk menyiapkan pasokan produksi barang jadi menjelang Natal dan Tahun Baru di kuartal IV/2024, begitu pula menyemarakkan event Pilkada. 

Kondisi ini menunjukkan sisi permintaan barang-barang industri di dalam negeri sedang alami pelemahan. Hal ini pun diperkuat dengan daya beli masyarakat tanah air yang sedang tertekan dengan mengurangi belanja manufaktur.

“Kelas menengahnya juga sedang mengalami tekanan sehingga banyak yang lebih hemat belanja barang-barang seperti elektronik, sparepart atau otomotif, kendaraan bermotor, bahkan properti, dan fokus untuk pemenuhan kebutuhan pokok,” katanya dalam media briefing yang dipantau daring, Jakarta, Senin (2/9).

Baca Juga: Ekonom: Penurunan Inflasi Inti Tunjukkan Pelemahan Daya Beli

Sebelumnya, PMI Manufaktur Indonesia kembali terperosok ke level 48,9 poin pada Agustus 2024. Capaian ini lebih rendah dari angka PMI manufaktur pada Juli 2024 yang sebesar 49,3 poin.

Selain itu, Bhima juga khawatir penurunan PMI Manufaktur RI akan berdampak negatif pada sisi ketenagaan kerja, terlebih sektor ini berkontribusi cukup besar pada pekerja formal nasional. Sementara ini, porsi pekerja kelas menengah di sektor formal juga mulai mengalami penurunan dibandingkan sektor lainnya.

Kalaupun ada kesempatan kerja yang terbuka, sambungnya, didominasi oleh kesempatan kerja di sektor informal dengan upah yang jauh lebih kecil. Begitu pula, pekerja lepas (gig economy) yang menghadapi banyak risiko seperti jaminan sosial dan jaminan pekerjaan yang  lebih rendah daripada pekerja sektor formal. 

Kondisi industri manufaktur yang goyang ini, juga akan berpengaruh kepada rantai pasok pembelian bahan baku khususnya komoditas, baik mentah maupun olahan primer yang ada di dalam negeri. 

“Nah, kita melihat juga beberapa harga komoditas energi turun, kemudian komoditas seperti sawit bahkan nikel juga itu harganya juga masih sangat rendah,” ujarnya.

Dia pun khawatir, kelanjutan pelemahan PMI manufaktur akan memberikan tekanan bagi ekonomi tanah air.

“(Kesulitan) pertama mencapai pertumbuhan ekonomi 5%. Kedua, industri manufaktur kontribusinya 30% dari penerimaan pajak, sehingga kalau terganggu dia akan berpengaruh kepada capaian rasio pajak maupun penerimaan pajak,” jabarnya. 

Di samping itu, industri manufaktur RI juga disinyalir mengantisipasi adanya lonjakan tarif PPN 12% tahun depan. Dengan mengukur kesiapan konsumen, khususnya kelas menengah ke bawah, apakah masih bisa menyanggupi kegiatan belanja dengan banyaknya pungutan dan iuran. 

BPS mencatat, pembayaran pajak/iuran kelas menengah RI cenderung meningkat pada 2019-2024, dari kisaran 3,48% menjadi 4,53% dari pengeluarannya. Karena itu, dia meminta pemerintah ikut mencermati hal tersebut terhadap masyarakat maupun dunia usaha. 

“Efek dari pajak yang agresif ke kelas menengah itu bisa berdampak juga ke PMI Manufaktur yang (akan) semakin loyo,” jelasnya. 

Baca Juga: Terperosok Lagi, PMI Manufaktur RI Agustus 2024 Jatuh Ke Level 48,9

Dirinya berharap, pemerintah dapat merespons dengan cepat kondisi ini secara tepat. Lantaran, bisa berdampak pada soft landing ekonomi Indonesia atau pelambatan ekonomi meski belum sampai pada tahap krisis dengan tanda pelambatan pertumbuhan ekonomi.

“Bahkan, tumbuhnya (perekonomian) bisa di bawah 5% untuk tahun 2025, kalau kondisi ini tidak diintervensi oleh kebijakan pemerintah,” ucapnya. 

Menimpali itu, Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menyampaikan, deflasi kelompok makanan, minuman dan tembakau per Agustus 2024 mengonfirmasi pelemahan PMI manufaktur di saat bersamaan. Sekali lagi, hal ini merupakan dampak dari pelemahan daya beli masyarakat hari ini.

“Walaupun deflasinya membaik, dari 0,18% menjadi 0,03% (mtm)… bisa kita bilang dari sisi permintaannya, kemudian kalau kita lihat dari sisi supply-nya pun, bisa dibilang juga sangat terbatas ya,” jelas Huda. 

Dia menambahkan, mengacu Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) BI, kondisi pengguna kapasitas industri RI di kuartal II/2024 yang sebesar 73,70% terlihat ada penurunan ketimbang kuartal II/2023 yang sebesar 74,88%. Meski capaian ini sedikit lebih tinggi dari kuartal I/2023 yang berkisar 74,88%.

“Nah ini bisa jadi salah satunya memang (dampak) pelemahan daya beli. Kita melihat ada semacam domino effect dari pelemahan daya beli, terutama dari kelas menengah dan sebagainya terhadap kondisi PMI (manufaktur),” urainya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar