c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

03 September 2024

11:40 WIB

Ekonom: Penurunan Inflasi Inti Tunjukkan Pelemahan Daya Beli

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyampaikan, pergerakan inflasi inti RI yang cenderung bergerak rendah menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat di dalam negeri saat ini.

Penulis: Khairul Kahfi

<p>Ekonom: Penurunan Inflasi Inti Tunjukkan Pelemahan Daya Beli</p>
<p>Ekonom: Penurunan Inflasi Inti Tunjukkan Pelemahan Daya Beli</p>

Calon konsumen memilih minuman kemasan di sebuah pusat perbelanjaan, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (5/7/2024). Antara Foto/Sulthony Hasanuddin

JAKARTA - Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyampaikan, pergerakan inflasi inti RI yang cenderung bergerak rendah menunjukkan pelemahan daya beli masyarakat di dalam negeri saat ini. Dia menyorot pergerakan inflasi inti RI yang cenderung menciut sebelum pandemi covid-19 berlangsung dan saat ini.

Dia mencatat, pergerakan inflasi inti Indonesia sebelum kejadian pandemi berkisar 3-4%-an. Capaian inflasi inti ini cenderung mengecil di 2023 dengan hanya 1,8% (yoy), bahkan hingga Agustus 2024 hanya sekitar 1,52% (ytd).

“Ini menjadi salah satu indikator berarti ada yang bermasalah sebenarnya dari sisi permintaan,” katanya dalam media briefing yang dipantau daring, Jakarta, Senin (2/9) malam.

Sebelumnya, BPS menjelaskan, kondisi deflasi dalam empat bulan terakhir tidak mengindikasikan pelemahan daya beli masyarakat Indonesia. Adapun deflasi terjadi akibat menurunnya harga pangan karena kenaikan produksi atau dari sisi suplai.

Menanggapi itu juga, Bhima mengakui bahwa kondisi deflasi tersebut menandai penurunan harga bahan makanan di dalam negeri. Kendati, analisis deflasi akibat perbaikan sisi suplai yang  terjaga dari sebelumnya dengan harga yang cenderung tinggi, belum tuntas memperkuat asumsi ketahanan daya beli masyarakat.

Baca Juga: BPS: Deflasi Mei-Agustus 2024 Beruntun Akibat Pasokan Pangan Melimpah

“Harga-harga pangan yang mulai menurun itu tidak sepenuhnya analisis yang utuh (daya beli masyarakat terjaga). Maka harus dilihat dari inflasi inti,” sebutnya.

Sementara itu, Director of Public Policy Celios Media Wahyudi Askar menambahkan, biasanya penurunan harga yang disebabkan oleh suplai berlebih tidak mencerminkan adanya masalah di sisi permintaan. Namun, kondisi ini lebih menunjukkan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan yang sementara.

Karena itu, pengukuran kekuatan daya beli lainnya bisa menggunakan indikator makroekonomi, seperti peningkatan tingkat pengangguran maupun stagnasi pertumbuhan upah RI. Kedua indikator ini, menurutnya, dapat memperlihatkan situasi konsumen yang merasa kurang optimis terhadap kondisi ekonomi dengan mengurangi pengeluarannya. 

“Saat ini, pertumbuhan upah di Indonesia sangat kecil,” jelas Media.

Pihaknya pun menekankan, jumlah korban PHK hingga Agustus 2024 telah melesat hingga 44.195 buruh. Lebih lanjut, penurunan kredit konsumsi yang dalam juga menjadi tanda masyarakat cenderung menahan belanja dan mengindikasikan penurunan daya beli. 

Karena itu, meski faktor kelebihan suplai penting, analisis terhadap indikator-indikator makroekonomi lainnya bisa menggambarkan relevansi pelemahan daya beli hari ini. Dalam kondisi tertentu, banyak masyarakat akhirnya mencari jalan lain di luar keuangan formal untuk memperkuat daya belinya, semisal judi online

“BPS juga bisa menggunakan indikator persentase masyarakat menggunakan pinjol ilegal atau keuangan informal (lain), untuk menunjukkan penurunan daya beli masyarakat,” paparnya. 

Baca Juga: BPS: Kelas Menengah RI Berisiko Turun Kelas Ke Kategori Rentan Miskin

Pihaknya mendata, penyaluran P2P lending ke sektor konsumtif semakin meningkat sejak dicatat pada 2021, dari 58% menjadi 68% per Juni 2024. Sifat konsumtif masyarakat menjadi incaran perusahaan pinjol, baik yang legal maupun ilegal.

Strategi Kebijakan Pemerintah Keliru
Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda menilai, pemerintah juga cenderung keliru dalam merespons kebijakan yang masyarakat butuhkan dalam situasi pelemahan daya beli. Yang berakibat pada kondisi makan tabungan alias mantab.

Seperti di 2022, saat itu pemerintah menempuh kebijakan menaikkan harga Pertalite sebagai BBM yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Selanjutnya, pemerintah menambah beban masyarakat dengan menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% dalam kurun waktu yang sama. 

Padahal, seharusnya pemerintah dapat berkonsentrasi menjaga daya beli masyarakat dalam masa pemulihan ekonomi pasca pagebluk. Di sisi lain, pemerintah juga belum berencana menunda penerapan kenaikan PPN menjadi 12% di 2025, yang pada akhirnya Huda sebut memunculkan fenomena extended inflation.

“Jadi sekarang masyarakat sudah mulai berpikir-pikir, ‘oh tahun depan itu (harga) akan naik dan sebagainya, inflasinya akan naik, kemudian ini akan menyebabkan permintaan barang-barang dari masyarakat itu menurun, terutama untuk kelas menengah,” jabar Huda.

Dirinya khawatir, situasi ini akan memperparah kondisi hidup kelas menengah RI yang rentan turun kelas menjadi aspiring middle class dan rentan miskin.

“Jadi memang ini saling berkaitan, didahului oleh daya beli yang melemah, yang ditandai dengan deflasi secara 4 bulan berturut-turut, terutama untuk (kelompok) makanan, minuman dan tembakau,” jelasnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar