12 Juli 2023
08:00 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Director Fiscal Research & Advisory DDTC Bawono Kristiaji optimistis realisasi penerimaan pajak 2023 yang ditargetkan sebesar Rp1.718 triliun akan tercapai. Mengingat, secara historis, tren pertumbuhan realisasi penerimaan pajak tahunan selama ini berada pada kisaran 7-8%.
Meski begitu, dirinya mengingatkan, bahwa pemerintah perlu tetap mewaspadai perlambatan ekonomi global, khususnya pelemahan harga komoditas yang akan berdampak signifikan pada performa PPh Badan sepanjang 2023.
“Jadi secara umum, optimistis tercapai. Jadi tiga tahun berturut-turut ya, mudah-mudahan nanti realisasinya bisa tembus dari 100%,” ujar Aji dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (11/7).
Informasi tambahan, Kemenkeu mencatat, tren penerimaan perpajakan dari tahun ke tahun menunjukkan kinerja yang terus meningkat. Pada 2021, penerimaan perpajakan tumbuh signifikan 20,4% atau kembali ke level prapandemi.
Tren positif tersebut pun terus berlanjut di 2022 dengan pertumbuhan perpajakan mencapai 31,4%. Sementara ini, penerimaan pajak selama semester I/2023 telah mencapai Rp970,2 triliun dan tumbuh 9,9% (yoy); atau terealisasi 56,5% dari target yang dipatok sebesar Rp1.718 triliun.
Baca Juga: Ditjen Pajak: Barang Endorsement Jadi Objek Pajak Natura
Selain itu, Aji juga mengapresiasi langkah pemerintah untuk mulai mengurangi ketergantungan sumber penerimaan dari sektor komoditas sumber daya alam yang rentan terfluktuasi, baik melalui hilirisasi SDA maupun optimalisasi sektor-sektor lainnya.
Di sisi lain, Aji menuturkan, bahwa strategi yang ditempuh pemerintah baik melalui reformasi administrasi maupun kebijakan perpajakan yang berlandaskan UU HPP sangat penting dalam mendorong peningkatan penerimaan di 2023. Karena terbukti penerapan UU HPP dapat meningkatkan realisasi penerimaan negara di sektor pajak.
Sementara dari sisi kebijakan, dirinya berharap, ketentuan teknis turunan UU HPP atau Peraturan Menteri Keuangan dari beberapa instrumen yang belum memiliki ketentuan teknis, dapat segera terbit.
Adapun beberapa kebijakan yang dinantikan ketentuan teknisnya antara lain mengenai anti penghindaran pajak; rencana penunjukan penyedia platform marketplace dalam e-commerce sebagai pemotong/pemungut pajak; serta ketentuan teknis pajak natura atau pajak atas fasilitas atau kenikmatan yang diberikan oleh perusahaan dalam bentuk barang kepada pegawai atau karyawan.
“Nah hal-hal itulah yang tentu kita tunggu, sehingga jika ketentuan ini terbit pasti baik dari sisi administrasi maupun dari sisi policy-nya bisa berjalan beriringan. (Agar) lebih kokoh penerimaan pajak kita di kemudian hari, terutama di tengah pelemahan harga komoditas,” papar Aji.
Baca Juga: Kemenkeu: Empat Jenis Pajak Akan Jaga Penerimaan Negara 2023
Hingga akhir Mei 2023, penerimaan pajak dari seluruh sektor utama tercatat masih tumbuh positif. Meskipun mayoritas penerimaan pajak sektor utama cenderung melambat dibandingkan periode sama di 2022.
Seperti halnya industri pengolahan dan perdagangan yang berkontribusi cukup besar terhadap penerimaan pajak, masing-masing hanya tumbuh sebesar 9,4% dan 9,3%. Pertumbuhan ini cukup kontras dibandingkan periode sama di 2022, yang masing-masingnya sempat tumbuh sebesar 50,9% dan 61,6%.
Sementara dari sektor pertambangan masih tumbuh positif sebesar 62,9%, meski melambat dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai 259,7%.
Optimalisasi Penerimaan Via Administrasi Cakap
Untuk itu, Aji menekankan, pemerintah juga mesti terus berupaya melakukan optimalisasi penerimaan pajak dengan menjaga rasio pajak terus meningkat secara bertahap.
Upaya tersebut dapat ditempuh antara lain dengan melakukan optimalisasi perluasan basis perpajakan melalui pengawasan wajib pajak (WP) sebagai tindak lanjut Program Pengungkapan Sukarela (PPS), serta implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP yang mulai wajib berlaku pada 1 Januari 2024.
Aji berpendapat, hal itu akan sangat bermanfaat untuk menutup celah compliance gap atau kesenjangan kepatuhan perpajakan di Indonesia. Di 2021, dari total 140 juta angkatan kerja di Indonesia, hanya 61,5 juta di antaranya yang mempunyai NPWP.
“Dengan adanya integrasi penggunaan NIK sebagai NPWP, ini memungkinkan sejak awal ada pemetaan (wajib pajak) atau masuk dulu dalam radar otoritas,” lanjutnya.
Di samping penggunaan NIK sebagai NPWP, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu saat ini juga tengah mempersiapkan implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan atau Core Tax Administration System (Core Tax System).
Adapun, pemberlakuan Core Tax System sebagai sebuah sistem teknologi informasi yang menyediakan dukungan terpadu bagi pelaksanaan tugas DJP telah tertuang di dalam Peraturan Presiden 40/2018. Aji sepakat, bahwa core tax system bisa mendorong penerimaan pajak melalui peningkatan kepatuhan.
Lebih lanjut, sistem pengelolaan pajak yang terdigitalisasi dapat memberikan banyak keunggulan. Mulai dari mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, penguatan kepastian hukum di bidang perpajakan, penguatan tata cara penegakan hukum di bidang perpajakan, serta pengenaan sanksi pajak yang lebih proporsional.
“Jadi dua instrumen ini, core tax system dan penggunaan NIK sebagai NPWP, menurut saya adalah terobosan administrasi yang paling penting dan akan menentukan keberhasilan penerapan pajak kita di tahun ini dan tahun mendatang,” pungkas Aji.