03 April 2025
16:07 WIB
Pengamat: Mimpi Trump Bisa Ancam Stabilitas Perdagangan Global
Dalam praktik yang diterapkan oleh Trump, fair trade bergeser menjadi fear trade, yakni perdagangan berbasis tekanan tarif, sanksi, dan ancaman pengucilan dari pasar.
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
Foto udara aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Kendari New Port, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (17/1/2025). AntaraFoto/Andry Denisah
JAKARTA - Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan langkah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengumumkan tarif resiprokal hingga 54% terhadap lebih dari 60 negara mitra dagang, termasuk Indonesia bukanlah sebagai bentuk fair trade atau perdagangan yang adil.
Pasalnya, sistem perdagangan global kini justru ditentukan oleh tarif sepihak, bukan aturan bersama.
"Mimpi Trump tentang keadilan dagang justru menciptakan ketidakadilan struktural baru yang sangat merugikan negara-negara berkembang," ujar Syafruddin dalam keterangan resmi, Kamis (3/4).
Ia menilai kebijakan tarif Trump tidak proporsional. Lantaran, Indonesia dikenai tarif 32%, padahal defisit perdagangannya dengan AS hanya sekitar US$18 miliar atau setara dengan Rp301,41 triliun (asumsi kurs Rp16.745 per dolar AS).
Jika dibandingkan dengan Vietnam yang memiliki defisit US$123 miliar namun dikenai tarif 46%, atau Tiongkok dengan defisit hampir US$300 miliar dan tarif 34%, kata Syafruddin, maka tarif yang dikenakan pada Indonesia tidak mencerminkan beban yang seimbang atau berbasis data.
"Ini menunjukkan bahwa kebijakan ini bukan lagi soal koreksi neraca dagang, melainkan strategi geopolitik untuk menekan negara-negara mitra agar tunduk pada kepentingan ekonomi domestik AS," tegas dia.
Baca Juga: Ini Strategi yang Harus Dilakukan Indonesia Hadapi Tarif Resiprokal Trump
Lebih lanjut, dalam literatur perdagangan internasional, Syafruddin menjelaskan, konsep fair trade merujuk pada sistem yang menjamin akses pasar adil, perlindungan hak pekerja, dan keberlanjutan lingkungan.
Namun dalam praktik yang diterapkan oleh Trump, fair trade bergeser menjadi fear trade, yakni perdagangan berbasis tekanan tarif, sanksi, dan ancaman pengucilan dari pasar.
"Banyak negara ASEAN kini berada dalam posisi sulit. Vietnam, Thailand, Kamboja, dan Indonesia terkena tarif antara 30–49%. Padahal, kawasan ini telah menjadi pilar penting dalam rantai pasok global, terutama pasca-pandemi. Ketimbang memperkuat kolaborasi, Trump justru menciptakan polarisasi," terangnya.
Bagi Indonesia, menurut Syafruddin, tarif 32% akan menurunkan daya saing ekspor secara drastis, terutama di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki.
"Produk-produk ini bergantung pada harga kompetitif di pasar AS. Tarif setinggi ini akan menaikkan harga jual, mendorong buyer berpaling ke negara lain, dan memicu risiko pemutusan hubungan kerja massal di dalam negeri," imbuhnya.
Padahal, sektor ekspor nonmigas adalah salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Jika kebijakan ini dibiarkan tanpa respons, maka Indonesia berisiko mengalami kontraksi ekspor yang berdampak langsung pada sektor riil.
Membangun Solusi
Merespon ancaman ini, Syafruddin menegaskan agar Indonesia tidak boleh hanya bersikap reaktif. Menurutnya, pemerintah perlu mengambil langkah proaktif dengan membangun koalisi dagang berbasis zero tariff bersama negara-negara berkembang lain, yang juga menjadi korban kebijakan Trump.
"Kita dapat menawarkan model perdagangan bebas yang benar-benar adil—tanpa diskriminasi, tanpa sanksi sepihak, dan berbasis prinsip resiprositas sejati," katanya.
Zero tarif antar negara Global South dapat menjadi motor baru integrasi ekonomi Selatan-Selatan, memperluas pasar, dan memperkuat posisi tawar dalam negosiasi global. Langkah ini jauh lebih strategis daripada menunggu kebaikan dari negara yang memaksakan ketentuan sepihak.
Selain itu, dia menilai kebijakan tarif Trump juga harus dibaca sebagai panggilan untuk reformasi ekspor nasional. Indonesia selama ini terlalu bergantung pada pasar tradisional, seperti AS dan Eropa. Saatnya mempercepat diversifikasi pasar ke Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
Pemerintah juga harus mendorong ekspor barang bernilai tambah tinggi agar tak lagi tergantung pada margin harga.
Baca Juga: Tarif Resiprokal, Solusi Ekstrem Trump Selamatkan AS Dari Kebangkrutan Fiskal
"Jika kita terus mengekspor produk mentah dan manufaktur murah, maka kita akan selalu rentan terhadap tekanan tarif dari negara-negara besar. Transformasi industri menuju ekspor berbasis inovasi dan teknologi adalah jalan keluar jangka panjang," beber dia.
Syafruddin kembali menegaskan bahwa apa yang Trump lakukan hari ini bukanlah fair trade, melainkan ini adalah bentuk distorsi kebijakan yang mengancam stabilitas perdagangan global.
"Jika dunia mengikuti jejak ini, maka WTO akan kehilangan relevansi dan proteksionisme akan menjadi norma baru," ujarnya.
Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh diam. Sebagai negara demokrasi besar dan anggota G20, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan sistem perdagangan yang adil, terbuka, dan inklusif, bukan berdasarkan rasa takut, tetapi atas dasar prinsip.
"Karena fair trade yang sejati bukan tentang menang sendiri, tetapi tentang tumbuh bersama," pungkas Syafruddin.