03 April 2025
13:58 WIB
Ini Strategi yang Harus Dilakukan Indonesia Hadapi Tarif Resiprokal Trump
Penasehat Ekonomi dan Industri Keuangan Wijayanto Samirin menyebut setidaknya ada tujuh langkah yang harus dilakukan dalam merespons kebijakan tarif resiprokal Trump.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Sejumlah truk trailer menunggu muatan peti kemas di lapangan penumpukan peti kemas (container yard) PT Terminal Petikemas Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (18/3/2025). AntaraFoto/Didik Suhartono
JAKARTA - Penasehat Ekonomi dan Industri Keuangan Wijayanto Samirin menyebut kebijakan tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump membuat target pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 yang menyasar angka 5% terasa semakin tidak realistis.
Perlu diketahui, pada Kamis pagi (3/4), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menambahkan tarif impor resiprokal untuk beberapa negara yang dianggap sebagai pelanggar terburuk (worst offenders), dan Indonesia masuk dalam daftar dengan penetapan tarif sebesar 32%.
Lumayan tingginya tarif tersebut dilatarbelakangi oleh penilaian AS yang menyebut bahwa Indonesia juga telah menetapkan tarif yang tinggi kepada AS, termasuk manipulasi mata uang dan hambatan perdagangan yang disebutkan mencapai 64%.
Baca Juga: Tarif Resiprokal, Solusi Ekstrem Trump Selamatkan AS Dari Kebangkrutan Fiskal
“Bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi akan terpengaruh di mana impian untuk tumbuh 5% tahun ini semakin tidak realistis. IHSG akan semakin volatile dan cenderung melemah, terutama untuk beberapa sektor berorientasi ekspor,” ujar Samirin, dalam keterangan tertulis yang diterima Validnews.
Sejalan dengan kondisi tersebut, Samirin menyebut rupiah akan tertekan dan cenderung melemah. Adapun upaya refinancing utang dan utang baru sebesar Rp800 triliun dan Rp700 triliun di tahun ini tidak akan mudah.
“Selain kebutuhan akan return yang lebih menarik, kita juga menghadapi pasar yang semakin berat. Mengingat ekspor kita ke AS didominasi oleh produk industri padat karya (sepatu, TPT, produk karet, alat listrik dan elektronik), maka tekanan PHK akan semakin kuat,” tambahnya.
7 Strategi yang Harus Dilakukan Indonesia
Samirin menegaskan, upaya negosiasi kepada AS saat ini bukan menjadi pilihan yang mungkin dilakukan, paling tidak dalam 1-2 tahun ke depan. Pasalnya, berbagai negara yang mempunyai lobbyist kuat di Washington DC seperti India, Vietnam dan Korea Selatan telah mencoba melakukan negosiasi namun gagal total.
“AS sedang dalam survival mood, apalagi kemampuan lobby kita sangat terbatas,” imbuh Samirin.
Karena itu, Samirin menyebut Indonesia harus lebih dulu mengambil langkah cepat dalam merespons tarif resiprokal yang dilayangkan Trump untuk jangka pendek.
Setidaknya ada tujuh langkah yang perlu diprioritaskan. Pertama, Indonesia perlu memperkuat cadangan devisa untuk menghadapi “perang mata uang” yang berkepanjangan. Selain itu kebijakan DHE perlu segera diterapkan dengan tuntas.
Kedua, Samirin menyebut pemerintah perlu melakukan rekalibrasi APBN, di mana program boros anggaran perlu dikurangi untuk memprioritaskan program jangka pendek yang berdampak langsung pada daya beli dan penciptaan lapangan kerja. Permintaan dari dalam negeri juga perlu distimulus untuk menggantikan permintaan dari luar negeri yang berpotensi menurun.
“Ketiga, pengetatan impor legal dan penghentian impor ilegal secara total. Selain mencederai produsen dalam negeri, ini juga membuat negara kehilangan potensi pendapatan,” imbuh Samirin.
Baca Juga: Rupiah Diperkirakan Alami Tekanan Berat Akibat Kebijakan Tarif AS
Keempat, perlu adanya penguatan industri jasa keuangan, terutama perbankan dan pasar modal untuk mampu berperan sebagai shock absorber dari semakin tingginya ketidakpastian ekonomi dunia. Samirin menambahkan, untuk langkah kelima Pemerintah juga perlu segera mengeluarkan kebijakan komprehensif yang konkrit dan realistis serta dinarasikan dengan baik.
“Berbagai kalangan masih belum melihat dengan jelas ke mana ekonomi negeri ini akan dibawa oleh Pemerintahan Prabowo,” ungkapnya.
Keenam, perlu ada penguatan kerja sama perdagangan dan investasi dengan berbagai negara dengan memanfaatkan sentimen “perasaan senasib”, termasuk dengan EU, ASEAN, India, Timur Tengah, bahkan Afrika dan Amerika latin.
"Perlu dibentuk tim negosiasi untuk berhadapan dengan AS apabila kondisi bernegosiasi sudah memungkinkan," ujar Samirin menyebut langkah terakhir.