16 Agustus 2025
14:52 WIB
Penerimaan RAPBN 2026 Naik Ditopang Perpajakan, Ekonom: Risiko Overestimasi
Jika realisasi penerimaan dari perpajakan tidak sesuai harapan, pemerintah dikhawatirkan melakukan pemangkasan belanja di tengah tahun.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Fin Harini
Para menteri dalam konferensi pers RAPBN dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Jakarta, Jumat (15/8).ValidNewsID/Erlinda PW
JAKARTA – Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai, peningkatan penerimaan negara dalam RAPBN 2026 yang ditopang perpajakan menunjukkan optimisme pemerintah terhadap kemampuan basis pajak nasional.
Namun, kondisi tersebut juga menjadi tantangan besar di mana target pajak yang terlalu tinggi bisa menjadi pedang bermata dua. Menurutnya, jika realisasi tidak sesuai harapan, pemerintah berisiko melakukan pemangkasan belanja di tengah tahun.
Baca Juga: Target Penerimaan 2026 Meningkat, Menkeu Tegaskan Tidak Ada Tarif Pajak Baru
“Sejarah menunjukkan bahwa overestimasi pajak kerap berakhir pada realisasi yang meleset. Dalam situasi seperti itu, APBN tidak lagi menjadi alat kontra-siklus, melainkan sekadar instrumen administratif yang mengikuti arus ekonomi,” ujar Syafruddin dalam pernyataan resmi, Sabtu (16/8).
Kondisi ini akan mengurangi daya dorong APBN terhadap ekonomi, terutama ketika sektor swasta masih berhati-hati di tengah risiko menghadapi ketidakpastian global akibat tensi dagang Amerika Serikat–Tiongkok dan gejolak harga komoditas.
Di tengah situasi tersebut, menurutnya Indonesia justru membutuhkan APBN yang ekspansif dan antisipatif.
PNBP Menurun, Sinyal Risiko Struktural
Sebagai catatan, dalam RAPBN 2026 penerimaan negara membidik angka Rp3.147 triliun atau tumbuh 9,8% dibanding outlook APBN 2025 yang sebesar Rp2.864,5 triliun. Peningkatan ini ditopang oleh target penerimaan perpajakan yang juga tumbuh sekitar 12,8% dari Rp2.387,3 triliun menjadi Rp2.692 triliun.
Di lain sisi, berbeda dengan perpajakan yang meningkat, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang juga menjadi komponen penerimaan justru menyusut sebesar 4,7% dari Rp477,2 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp455 triliun pada RAPBN 2026.
Syafruddin menilai, penurunan ini mencerminkan berkurangnya kontribusi sektor sumber daya alam serta penurunan dividen BUMN. Sementara, ketergantungan berlebihan pada pajak dapat mempersempit ruang fiskal.
Sebab ketika ekonomi melambat, penerimaan pajak akan ikut tertekan sementara PNBP tidak bisa diandalkan sebagai bantalan, sehingga kondisi ini menunjukkan perlunya strategi diversifikasi sumber penerimaan negara.
Baca Juga: Sri Mulyani: APBN Sumbang Investasi Rp530 Triliun Tahun 2026
“Ekonomi digital, optimalisasi royalti, hingga peningkatan efisiensi BUMN harus menjadi agenda serius. Tanpa langkah ini, APBN akan selalu rapuh menghadapi guncangan siklus ekonomi,” pungkasnya.
Sebelumnya, terkait target penerimaan yang meningkat dalam RAPBN 2026, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku tidak akan mencari sumber penerimaan melalui kebijakan tarif pajak baru.
Pihaknya mengaku akan mengandalkan pembenahan berupa reformasi internal seperti pemanfaatan coretax dan sinergi pertukaran data kementerian/lembaga, dengan meyakini Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai masih memiliki ruang untuk meningkatkan penerimaan.
“Lebih kepada reformasi di internal, jadi pertama coretax dan pertukaran data akan semakin diintensifkan. Karena kita melihat melalui Ditjen pajak dengan Ditjen Bea Cukai dari PNBP, kita masih melihat ruang untuk perbaikan,” imbuhnya dalam Konferensi Pers Nota Keuangan dan RAPBN 2026 di Jakarta, Jumat (15/8).