16 Februari 2024
20:20 WIB
Penulis: Erlinda Puspita
JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Azizah Fauzi menyatakan, kenaikan harga beras pada beberapa waktu ke belakang ini merupakan imbas berbagai faktor.
Kombinasi faktor-faktor yang menurutnya rumit tersebut adalah faktor cuaca hingga sarana dan prasarana yang belum memadai. Sehingga menurutnya, impor memiliki peranan yang penting dalam menstabilkan harga beras nasional dan pasokannya.
“Permasalahan beras ini telah menunjukkan betapa impor sebenarnya adalah cara wajar yang dapat membantu menstabilkan pasokan dan harga, di samping usaha peningkatan produktivitas sektor pertanian, modernisasi, riset, dan pengembangan, kemampuan sumber daya manusianya, serta reformasi regulasi,” tutur Azizah dalam keterangan resmi, Jumat (16/2).
Menurutnya, kombinasi strategi impor dan kebijakan yang berdasar pada kondisi pasar, mampu berkontribusi pada stabilisasi harga beras di Indonesia.
Baca Juga: Indef: Harga Beras Yang Terus Naik Bisa Tekan Daya Beli
Namun yang terjadi saat ini, Azizah menilai jika kebijakan impor beras masih restriktif. Kebijakan yang ada, dianggap membatasi daya saing serta dapat menciptakan monopoli yang bisa berdampak pada pasokan maupun harga.
“Penggunaan sistem kuota impor serta proses perizinan yang berlapis-lapis dan memerlukan keputusan banyak pihak, memperlambat respon terhadap kegentingan pasokan hingga harga kemudian melambung,” ujarnya.
Azizah juga menilai jika penggunaan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah untuk komoditas tertentu seperti beras, tidak efektif dalam melindungi konsumen dan petani dari fluktuasi harga, serta dalam memastikan ketersediaan pangan.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti rendahnya investasi dalam riset dan pengembangan, penyuluhan dan pengembangan SDM, telah menghambat peningkatan produktivitas sektor pertanian Indonesia.
Padahal kata Azizah, investasi dalam riset pertanian bisa menyelesaikan permasalahan beras dan pertanian di Indonesia saat ini.
“Padahal hal-hal tersebut penting untuk dapat menyelesaikan permasalahan hasil panen yang rendah, dan inefisiensi di sektor pertanian yang juga merupakan faktor tingginya harga komoditas pangan,” jelas Azizah.
Sebagai informasi, berdasarkan data prognosa neraca pangan 2024 milik Badan Pangan Nasional (Bapanas), komoditas beras di awal tahun 2024 memiliki stok carry over tahun 2023 atau stok awal tahun sebanyak 7,3 juta ton.
Sedangkan perkiraan produksi dalam negeri tahun ini sebanyak 31,94 juta ton dan rencana impor tahun ini sebanyak 2,4 juta ton. Sehingga total ketersediaan beras selama 2024 sebanyak 41,6 juta ton.
Sementara itu, kebutuhan beras nasional selama 2024 sebanyak 31,2 juta ton. Maka diperkirakan stok akhir tahun ini total sebanyak 10,46 juta ton.
Baca Juga: BPS: Suplai-Permintaan Tak Seimbang Bikin Harga Beras Masih Tinggi
Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia sudah mengimpor beras ke dalam negeri sebanyak hampir setengah juta ton, tepatnya 443.913.268 kg atau setara 443.913,26 ton selama Januari 2024. Importasi beras ini berasal dari sejumlah negara di Asia.
“Impor beras (Indonesia) pada Januari 2024 adalah senilai US$279,2 juta,” kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjawab pertanyaan wartawan usai melaporkan BRS Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2024, Jakarta, Kamis (15/2).
Beras impor tersebut terutama berasal dari Thailand sebesar 237.640,4 ton; Pakistan 129.781 ton; Myanmar 41.640 ton; Vietnam 32.342 ton; hingga Kamboja 2.500 ton. Adapun, negara-negara lainnya juga menyumbang impor beras secara minimal ke RI sebanyak 9,667 ton.
Secara nilai, impor beras asal Thailand dihargai US$153 juta; beras asal Pakistan dihargai US$79,3 juta; beras asal Myanmar dihargai US$23,98 juta. “(Dengan demikian), nilai impor beras (Januari 2024) turun sebesar 16,73% (month-to-month/mtm), tapi secara tahunan naik sebesar 135,12% (year-on-year/yoy),” jelasnya.